Suaramuslim.net – Segala transaksi simpan pinjam dengan menetapkan bunga dalam jumlah tertentu jelas diharamkan oleh agama karena kegiatan tersebut tergolong riba. Namun di era digitalisasi saat ini, praktik riba agaknya semakin dipermudah.
Kemudahan pinjaman uang secara online secara tidak langsung membentuk pola budaya konsumtif baru di kalangan masyarakat milenial. Diakui memang, pengajuan kredit dahulu begitu susah. Calon nasabah harus menyertakan beberapa dokumen kelengkapan, melakukan wawancara kelayakan, hingga proses survei tempat tinggal.
Sebagian masyarakat bahkan ada yang merasa gengsi jika tiba-tiba rumahnya didatangi rentenir untuk menagih cicilan. Sayangnya, kondisi tersebut tak lagi terjadi ketika muncul teknologi digital. Kemunculan teknologi di ranah finansial (fintech) menjadi pemicu menjamurnya bisnis penyedia jasa pinjaman online. Faktor lain karena masifnya penggunaan internet yang disertai dengan teknologi informasi. Sehingga segala aktivitas manusia perlahan beralih ke ruang maya.
Mengacu informasi resmi dari website OJK (Otoritas Jasa Keuangan), ada 64 perusahaan fintech yang sudah terdaftar per Juni 2018. Rupanya angka ini masih terlalu kecil dibandingkan dengan fintech ilegal yang totalnya mencapai 227 entitas. Alih-alih ingin membantu masyarakat dalam bentuk pinjaman kredit, fintech bodong tersebut justru semakin memperburuk perokonomian nasabah.
Andai mau berpikir sejenak, pastilah kita pahami mengapa Allah subhanahu wa ta’ala mengharamkan riba bagi umat Islam. Hal ini semata-mata untuk kebaikan umat Islam, baik dari sisi sosial masyarakat, maupun perekonomian umat. Sudah banyak contoh kasus yang memperlihatkan bagaimana sistem riba telah mencekik perokonomian rakyat. Tak sedikit nasabah yang kehilangan seluruh harta bendanya karena tidak mampu menebus hutangnya dengan bunga berlipat ganda.
Momok rentenir juga berlaku di jasa pinjaman online. Persoalannya justru semakin rumit dan memakan cukup banyak korban. Melansir dari laman Detik (10/12), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menerima pengaduan ratusan korban pinjaman online. Alasannya beragam, mulai dari bunga yang mencekik hingga ancaman dan teror bertubi-tubi. Pengalaman Andika sebagai salah satu korban pinjaman online menjadi bukti nyata tentang konsekunsi buruk jika seseorang menjalankan praktik riba.
Dikutip dari laman nextren.grid.id (9/12), informasi tunggakan Andika disebarkan ke seluruh keluarga terdekatnya. Parahnya, setiap orang bisa meminjam kepada 15 penyedia jasa pinjaman online. Ini berati satu nasabah punya 15 aplikasi pinjaman online di ponsel pintarnya.
Menurut pengakuan para korban, mereka melakukan peminjaman ke belasan fintech karena merasa takut dengan cara penagihannya. Selain menyebarkan data pribadi, ada juga yang mengalami pelecehan seksual, ancaman, dan fitnah. Akibatnya, korban mengalami stres, kehilangan pekerjaan, hingga diceraikan pasangan.
Boleh dikatakan bahwa Indonesia sedang mengalami kejutan budaya (culture shock). Perubahan tatanan sosial dan budaya yang terjadi secara tiba-tiba seiring perkembangan jaman dan wawasan seringkali menyebabkan ketidaksiapan. Kasus percekcokan antara para ojek konvensional dengan perusahaan transportasi berbasis online menjadi contoh perubahan tren kebiasaan masyarakat masa kini.
Situasi tersebut lantas dimanfaatkan oleh para pebisnis untuk menjajaki usaha baru di bidang teknologi. Tidak terkecuali perusahaan P2P (peer to peer) berbasis fintech. Melalui aplikasi yang terpasang pada ponsel pintar, seseorang dapat dengan mudah mengajukan pinjaman fintech. Prosesnya pun hanya dalam waktu hitungan jam. Konsumen dibuat tak sadar bahwa apa yang dikerjakannya itu merupakan perbuatan riba yang sangat dibenci Allah subhanahu wa ta’ala.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan umatnya untuk hidup sederhana. Artinya, ketika seseorang menginginkan sesuatu namun belum mampu untuk membelinya, maka disuruh bersabar hingga datang rezeki. Kemampuan manusia untuk mengontrol nafsu akan menghantarkannya pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Kontributor: Siti Aisah