Suaramuslim.net – RUU sudah jadi UU. DPR sudah ketuk palu. Tok! Tok atau tuk? Sama aja. Yang pasti, revisi UU KPK No. 30/2002 sudah disahkan.
Terkait revisi UU KPK, muncul dua kubu. Kubu pemerintah-DPR vs kubu rakyat. Suara rakyat setidaknya diwakili lima pihak. Pertama, akademisi. Para dosen protes jauh-jauh hari sebelum RUU itu disahkan oleh DPR. Tapi gak digubris. Telinga pemerintah dan DPR sepertinya tak cukup ruang untuk mendengarkan.
Ketika DPR nekat mengesahkan hasil revisi UU KPK, giliran mahasiswa yang protes. Jika dosen protes melalui media, maka para mahasiswa turun ke jalan. Jumlahnya ribuan. Sejumlah ruang kuliah kabarnya kosong karena mahasiswa pindah belajar di jalanan. Demo marak di berbagai wilayah, baik di Jawa maupun luar Jawa. Terutama di depan gedung DPR Senayan. Kok gak di depan istana? Tanyakan saja sama mahasiswa.
Kedua, suara rakyat diwakili juga oleh KPK. Sejumlah pimpinan KPK merasa tidak diajak bicara. Mereka keberatan dengan revisi UU No. 30/2019 itu. Tapi, keluhan pimpinan KPK pun terabaikan. Da… Da…
Ketiga, NGO yang suara lantangnya diwakili ICW juga protes. Eh, ICW malah dituduh dapat bantuan dari KPK. Dan suara ICW pun lewat begitu saja. Seperti angin lalu. Ada seperti tiada.
Keempat, media mulai bersuara. Keluar dari tapa bratanya selama ini. Tempo dan Gatra mulai galak ketika menulis berita tentang revisi UU. Tampak kritis kepada pemerintah. Malah ada gambar Pinokio segala. Begitu juga dengan Kompas. Sudah mulai menengah. Meski kelihatan masih malu-malu.
Kelima, netizen. Jagad medsos ramai komentar, bahkan kecaman terhadap revisi UU KPK. Siapa pun yang mengusik KPK dianggap common enemy, atau musuh bersama. Dan nasib itu sekarang menimpa pemerintah dan DPR.
Bagi pemerintah dan DPR, revisi UU KPK itu untuk memperkuat, bukan melemahkan. Setidaknya ini yang dikatakan Moeldoko, ketua staf kepresidenan. Tapi, di sisi lain Moeldoko juga mengatakan bahwa tidak boleh di negara ini ada yang terlalu kuat. Ini bahaya. Kehadiran KPK bisa menghambat investasi. Lah, kok paradoks? Katanya memperkuat, kok bilang terlalu kuat, bahaya dan bisa menghambat investasi. Jika kutipan pendapat Moeldoko oleh salah satu media online itu benar, kita terpaksa geleng-geleng dan garuk-garuk kepala.
Di sisi lain, rakyat mengatakan bahwa revisi UU KPK itu memperlemah, mengamputasi, bahkan membunuh, lalu menguburkan KPK. Rakyat yang mana? Wualaaah bapak… Di atas sudah dijelasin siapa aja yang merepresentasikan suara rakyat. Yang pasti bukan anak-anak tanggung yang dikasih Rp35.000 untuk berangkat demo. Itu mah pasukan nasi bungkus pak.
Lalu, mana yang benar: pemerintah dan DPR, atau rakyat? Ini harus dibedah. Analisisnya mesti terukur.
Pertama, kita lihat substansi hasil revisi UU KPK. Terutama pasal 1, 12, 37 dan 40. Pasal 1 mengubah pegawai tetap KPK yang semula independen menjadi ASN (Aparat Sipil Negara). Standar kerja, arah loyalitas dan independensi antara pegawai KPK dengan ASN tentu beda. Kalau jadi ASN, kira-kira memperkuat atau memperlemah? Silakan Anda yang waras menjawab.
Pasal 12 soal penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Ada 13 kewenangan KPK yang hilang. 4 di penyelidikan, 1 di penyidikan dan 8 di penuntutan. KPK tak lagi bisa merekam pembicaraan, tak bisa minta instansi terkait melakukan pencekalan, tak bisa minta keterangan dari pihak bank, tak bisa minta bank melakukan blokir dan menghentikan transaksi. KPK juga tak bisa minta interpol melakukan pengejaran dan penangkapan tersangka yang ada di luar negeri. Juga tak bisa minta pihak kepolisian membantu tugas KPK melakukan penangkapan. Kira-kira ini memperkuat atau memperlemah?
Pasal 37, dalam melakukan penyadapan, penyitaan dan penggeledahan, KPK harus minta ijin kepada Dewan Pengawas. Ini Dewan Pengawas atau Dewan Perijinan? “Ijin pak, mau nyadap si anu.” Tak menutup kemungkinan nantinya DP juga minta ijin si anu. “Si anu, ijin, kami mau nyadap Anda.” Jadi lucu-lucuan. Silakan Anda analisis: ini memperkuat atau memperlemah KPK?
Hadirnya Dewan Pengawas di KPK akan melahirkan dua matahari kembar. Kedepan, besar kemungkinan antara Dewan Pengawas dan pimpinan KPK terjadi persaingan dalam mengambil keputusan.
Pasal 40, KPK berwenang menerbitkan SP3. Dalam waktu setahun belum ada keputusan atau ekskusi terhadap suatu kasus, Dewan Pengawas berhak intervensi. Kenapa gak diserahin aja kepemimpinan KPK kepada Dewan Pengawas? Double position dan double salary. Kok putus asa? Bukan! Ini membela Dewan Pengawas. Siapa tahu ada yang netes. Tes… Tes… Tes…
Kedua, kita lihat dalam proses RUU jadi UU. Cuma butuh waktu 13 hari. Presiden hanya butuh waktu tiga hari. Kesempatan 30 hari hanya digunakan tiga hari? Hebat bukan? Super cepat. Sementara sejumlah RUU yang sudah lama dibahas justru belum disahkan. Emang revisi UU KPK urgen? Barangkali sangat urgen. Karena DPR periode 2014-2019 mau berakhir. Di sisi lain pimpinan KPK-nya akan baru lagi. Banyak yang mau pensiun. Mosok urgen kok argumentasinya seperti itu. Kalau begitu, apa alasan yang kira-kira ilmiah? Serahkan saja sama pemerintah dan DPR.
Ketiga, ini terkait dengan pimpinan KPK. Periode 2019-2023 yang terpilih jadi ketua KPK adalah Firli Bahuri. Bagaimana track recordnya? Di kepolisian bagus. Kalau gak bagus gak mungkin jadi Kapolda Sumsel.
Bagaimana Firli di mata KPK sendiri? Mengingat ia adalah mantan deputi penindakan di KPK. Sayangnya, di mata para pimpinan KPK, bahkan juga penasihat dan para pegawai KPK, Firli dianggap punya catatan kurang baik. Ada tuduhan bahwa Firly telah melakukan pelanggaran etik yang sangat berat. Kabarnya, belum tuntas kasusnya, Firli ditarik dari institusinya dan dipromosikan menjadi Kapolda Sumsel. Ini jadi tantangan buat Firli.
Apakah tiga faktor di atas bisa dijadikan bukti bahwa pemerintah-DPR itu memperkuat KPK? Atau malah memperlemah KPK? Rakyat yang bisa menilai.
Demonstrasi besar-besaran mahasiswa yang terjadi beberapa hari terakhir ini adalah bagian dari hasil penilaian rakyat terhadap revisi UU KPK. Paham ente?
Dengan adanya protes para akademisi, KPK, ICW, media, netizen, dan terakhir adalah demonstrasi besar-besaran mahasiswa menunjukan bahwa rakyat tak ingin KPK lemah. Lemahnya KPK akan mendorong Indonesia terperangkap kembali ke tangan-tangan oligarki. Suksesnya revisi UU KPK dianggap sebagai kemenangan pihak oligarki. Karena itu, para mahasiswa turun ke jalan. Tujuannya? Ingin merebut kembali kemenangan itu dari oligarki.*
Jakarta, 24/9/2019
Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net