Rilis Empat Tuntutan Rakyat, FUI Jatim: Tolong Jangan Represif Kepada Ulama dan Aktivis Muslim

Rilis Empat Tuntutan Rakyat, FUI Jatim: Tolong Jangan Represif Kepada Ulama dan Aktivis Muslim

Rilis Empat Tuntutan Rakyat, FUI Jatim: Tolong Jangan Represif Kepada Ulama dan Aktivis Muslim
Konferensi Pers Forum Ummat Islam Jatim di Surabaya, Ahad 2 Juni 2019. KH Ali Qarrar (sorban putih), Prof. Daniel M Rosyid (tengah), KH Thoha Maksum (mengenakan jas) dan Ust Sudarno Hadi. (Foto: Suaramuslim.net)

SURABAYA (Suaramuslim.net) – Mencermati dinamika politik nasional pasca pemilu serentak 2019, Forum Ummat Islam (FUI) Jawa Timur berpandangan bahwa kehidupan bersama dalam kebinekaan telah mengalami gangguan serius karena rakyat muslim sebagai pewaris terbesar NKRI diposisikan sebagai musuh negara, anti Pancasila, radikal dan intoleran.

FUI Jatim menyebut gelagat perpecahan yang kini terjadi merupakan hasil narasi membenturkan antara rakyat muslim dan anggota masyarakat beragama lain di Indonesia. Padahal rakyat Jawa Timur sebagai mayoritas selama 50 tahun lebih telah berhasil membuktikan Indonesia sebagai negara yang aman dan damai dalam kebinekaan. Sehingga mereka menduga ada gerakan neokomunisme yang sedang beroperasi di Indonesia.

Selain itu, FUI Jatim juga menyoroti pilpres yang menurutnya sulit untuk dikatakan berlangsung secara jujur dan adil.

“Ditambah lagi peristiwa kerusuhan 21-22 Mei 2019 di Jakarta mengindikasikan pelanggaran HAM berat oleh aparat. Hal ini sudah dilaporkan oleh Komnas HAM, media nasional dan media asing,” ujar Daniel M Rosyid saat mengawali konferensi pers FUI Jatim di Surabaya, Ahad (2/6).

Forum yang terdiri dari 26 ormas dan kelompok Islam ini menuntut pemerintah dengan empat tuntutan sebagai berikut:

  1. Agar masyarakat beragama/berketuhanan Yang Maha Esa, TNI dan Polri, serta pemerintah semakin mewaspadai gerakan neokomunisme di Indonesia yang semakin terang-terangan mengkampanyekan paham anti-Tuhan secara terstruktur dan sistemik.
  2. Agar Mahkamah Konstitusi selaku pembela konstitusi mampu mengadili gugatan pilpres secara konsepsional dan substantif demi menegakkan kejujuran dan keadilan sebagai asas Pemilu, bukan sekadar menghitung selisih perolehan suara tanpa memperhatikan prosesnya.
  3. Agar pemerintah dan penyelenggara pemilu bertanggung jawab atas korban yang telah berjatuhan, baik yang sakit maupun wafat. Meminta Komnas HAM membentuk Tim Pencari Fakta untuk menemukan oknum, kelompok dan lembaga yang bertanggung jawab atas korban pemilu.
  4. Agar aparat kepolisian tidak bertindak represif dan tidak melakukan penangkapan para kiai, habaib, ustaz, dai, aktivis dan tokoh masyarakat yang memperjuangkan hak konstitusionalnya.

“Kepercayaan, kedamaian dan ketertiban masyarakat hanya dapat dipulihkan dan diperkuat dengan mengembalikan keadilan dan kejujuran dalam proses-proses demokrasi. Kami yakin, tugas-tugas demokrasi tidak selesai di bilik suara, tapi justru dimulai sesudah pemilu selesai,” pungkas Daniel selaku humas FUI Jatim.

Akar Masalah Adalah Ketidakadilan dan Ketidakjujuran

KH Ali Qarrar dari Aliansi Ulama Madura (AUMA) yang juga hadir sebagai narasumber menyebut pihaknya sangat mendukung tuntutan FUI Jatim.

“Kami di Madura sangat membutuhkan advokasi karena di Madura sedang terjadi urusan antara masyarakat dan kepolisian. Asal muasalnya sewaktu di aksi 22 Mei di Jakarta saya dikabarkan ditangkap dan dibunuh, warga mengamuk dan merusak kantor Polsek Tambilangan Sampang. Akhirnya beberapa orang ditangkap dan masih ada yang dikejar,” tutur Kiai Ali.

“Saya minta ke Polda Jatim agar warga yang sudah ditangkap tidak disiksa. Karena ada kabar yang sudah masuk Rumah Sakit. Kemudian yang masih di luar jangan ditangkapi tapi dipanggil melalui kiai atau kepala daerah. Kami sangat membutuhkan advokasi untuk meringankan beban ini,” imbuhnya.

Sementara itu, Ketua DDII Jatim, ustaz Sudarno Hadi dalam acara yang sama mengatakan, gerakan FUI Jatim ini harus murni dalam rangka nahyi anil munkar.

“Hancurnya negara bukan karena kalah perang saja. Banyak negeri dibinasakan Allah karena pemimpinnya bohong. Kalau kita diam melihat kecurangan, sama saja membiarkan NKRI ini binasa. Jangan sampai negeri yang merupakan warisan ulama ini berubah menjadi Negara Komunis Raya Indonesia,” jelasnya.

“Kita menuntut aparat agar mengayomi rakyat bukan melayani satu golongan. Menjadi pengayom rakyat bukan pesuruh partai. Tahun-tahun ini kita memasuki tahun penuh dengan kepalsuan. Rakyat pun menjadi bingung. Orang yang mengingatkan bahaya komunis malah ditangkap dan dipenjara, sementara yang menulis buku bangga jadi anak PKI malah jadi anggota DPR,” urainya.

Menutup konferensi pers, KH Thoha Maksum dari Bondowoso prihatin karena saat ini orang dengan mudah dituduh jadi pembuat makar, upaya pemberontakan kepada negara.

“Kita bergerak menyelamatkan bangsa negara NKRI justru dituduh melakukan makar. Sebenarnya siapa yang makar itu?” Tanyanya.

Saat ini, lanjutnya, yang diperlukan adalah penyelesaian masalah sampai ke akarnya. Pada aksi damai 21-22 Mei 2019, dari video yang beredar dan saksi mata kita melihat banyak aparat melakukan penyiksaan bahkan ada peserta aksi yang belum ketahuan tempatnya.

“Kalau sakit di Rumah Sakit mana? Kalau wafat di mana jenazahnya? Penyelesaian masalah dengan cara ini tidak akan menyelesaikan masalah. Justru harus dicari apa akarnya? Yaitu ketidakadilan dan ketidakjujuran. Jujur dan adil lah. Maka masalah akan selesai. Jika tidak, akan terus seperti ini. Saya khawatir setelah Aceh, Madura ikut mengajukan referendum. Kalau sudah terpecah belah seperti ini, bagaimana nasib negara kita?” Pungkasnya.

Reporter: Abdullah Ahmad
Editor: Muhammad Nashir

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment