Ringgit Watucal – Ketika wayang menjadi jembatan Islam dan budaya

Suaramuslim.net“Jika lidah tak menjangkau hati, biarlah bayangan yang bicara.” [Catatan dari Sunan Kalijaga].

Bayang-bayang di balik kelir itu menari, disinari pelita minyak dan diiringi tembang lirih gending tua. Para penonton duduk bersila, matanya menyimak, telinganya dibuka oleh cerita. Tapi malam itu bukan tentang Arjuna yang tampan, bukan pula tentang Duryudana yang angkara. Malam itu adalah tentang Semar.

Semar dan bayang-bayang kekuasaan: Kisah dari tiga dewa yang turun ke tanah

Dalam lakon pewayangan yang ditata ulang oleh dua wali besar; Sunan Giri dan Sunan Kalijaga; tokoh Semar tidak muncul dari bawah, melainkan dari langit.

Ia adalah Batara Ismaya, saudara tua dari Batara Guru dan Batara Antaga (Togog); tiga bersaudara keturunan dewa. Tapi justru yang tertua, Batara Ismaya, turun ke bumi sebagai Semar, bukan dalam keagungan, tapi dalam kesederhanaan. Bukan dengan mahkota, melainkan dengan bokong lebar dan wajah buruk rupa.

Inilah ironi tertinggi dalam kisah pewayangan. Yang tertinggi justru memilih menjadi yang paling rendah.

Semar, yang secara spiritual lebih tua dari para dewa-dewa kahyangan, justru ditugaskan membimbing manusia, bukan dalam perang, tapi dalam kehidupan.

Ringgit Watucal: Ketika Islam menyelinap di balik lakon

Sunan Giri dan Sunan Kalijaga tahu, dakwah tak bisa memaksa. Harus menyelinap. Maka Ringgit Watucal dicipta.

Watucal, watu, batu; cal, bayangan, adalah metafora. Islam menyelinap dari batu ke bayang-bayang, dari yang kokoh ke yang lentur.

Wayang, yang dulu memuja dewa-dewa Hindu, kini menjadi panggung bagi nilai-nilai tauhid.

Pandawa tak lagi hanya kesatria. Mereka adalah manusia yang mencari jalan lurus. Kurawa adalah lambang hawa nafsu. Dan Semar adalah penuntun dengan jamus kalimosodo.

Jimat Kalimosodo: Ketika kalimat Tauhid menjadi kunci segala lakon

Jamus Kalimosodo; jimat paling sakti dalam dunia wayang, adalah lambang dari dua kalimat syahadat.

Dalam lakon pewayangan yang direvisi para wali, semua tokoh berebut jimat itu. Bukan karena kekuatan lahiriah, tapi karena jimat itu adalah kunci kekuasaan sejati: keikhlasan, ketundukan kepada Tuhan, dan akhlak yang bersih.

Dan hanya Semar yang mampu memegangnya. Karena hanya yang rendah hati yang bisa memikul kalimat suci. Hanya yang tidak haus kuasa yang pantas membimbing Pandawa.

Gending dan Gendingan: Seni yang bertauhid

Gending Lir-ilir, tembang Pucung, dan syair Asmaradana disusun bukan sekadar untuk menghibur, tapi membangkitkan.

“Ilir-ilir tandure wus sumilir…”

Adalah panggilan sunyi agar manusia bangkit dari kematian rohani. Bahwa iman yang layu harus disiram kembali. Bahwa Islam bukan datang menghapus budaya, tapi mengisi ruang yang kosong dalam makna.

Wayang tidak ditinggalkan, tapi diarahkan.

Disulap dari pemujaan menjadi pelajaran.

Dari dongeng menjadi dakwah.

Semar: Dewa tertua yang menyamar jadi rakyat

Semar bukan rakyat biasa. Ia adalah Dewa Tertua. Batara Ismaya yang memilih turun ke bumi, hidup sebagai pelayan, membimbing para kesatria.

Ia membimbing Pandawa, tapi tak pernah memerintah. Ia membawa Jamus Kalimosodo, tapi tak pernah menampakkannya sebagai senjata. Ia menyindir dengan jenaka. Menasihati dengan tawa. Menertawakan raja, tapi tetap menjaga rakyat.

Sunan Giri tahu, Semar adalah simbol Islam yang paling sempurna, karena:

• Berilmu, tapi tidak sombong

• Berkuasa, tapi tidak rakus

• Dihina, tapi tidak membalas

• Menertawakan kebodohan, tapi tak pernah merendahkan manusia

Dari Giri ke seluruh tanah Jawa

Dari balik kelir Ringgit Watucal, Islam merambat. Bukan dari benteng, bukan dari pedang. Tapi dari cerita yang membuat rakyat berpikir. Giri Kedaton, sebagai pusat ilmu dan strategi dakwah, memastikan bahwa setiap pertunjukan adalah pelajaran. Bahwa setiap lakon membawa makna. Bahwa setiap karakter adalah jembatan ke dalam nilai-nilai Islam. Sunan Giri

adalah editor kebudayaan. Sunan Kalijaga adalah kreator panggung.

Semar; yang diciptakan dari langit, diturunkan ke bumi; adalah simbol, bahwa kebenaran kadang disampaikan bukan oleh raja, tapi oleh pelayan yang tak dianggap.

Di situlah lakon Nusantara ditulis ulang.

Di balik kelir.

Dengan bayangan.

Dengan gamelan.

Dengan Semar sebagai cahaya dari balik tawa.

Karena Islam datang ke Jawa bukan untuk menghancurkan candi, tapi untuk menanam makna baru di panggung yang lama.

Siap lanjut ke Bab 8: Giri Kedaton dan politik kebangsaan?

Bab yang akan mengungkap bagaimana pusat spiritual ini memainkan peran penting dalam strategi pertahanan dan pembangunan negara baru: Demak.

Karya: Agus M. Maksum

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.