Oleh: Yusuf Maulana (penulis “Mufakat Firasat”)
Ada banyak kejadian sejarah yang kitab baca atau dengar. Kita terkadang larut hingga menetapkan satu pendapat terkait peristiwa itu. Padahal, pendapat kita acap kali bentukan dari penutur, misalnya guru atau dosen kesayangan. Para pendidik itu pun memetik simpulan kejadian sejarah dari narasi versi Pemerintah; ini sebagian besar dan mudahnya yang dilakukan. Sebagian kecil pendidik memilih melawan arus dengan memunculkan teori ataupun analisis sendiri.
Hari demi hari yang dipergilirkan sesungguhnya tak sepi dari petenis peristiwa yang bakal jadi sejarah. Di sinilah kita kadang tak menyadarinya. Soal teror demi teror dan kejadian ikutan yang menempatkan umat Islam harus cekatan dan repot mengklarifikasi, tak lain medan proses penyimpulan narasi. Narasi yang menang nantinya bakal mendominasi buku dan kurikulum sejarah. Ditulis dalam standar media sebagai fakta “sebenarnya”.
Maka, kejadian hari ini tak lain kontestasi menafsiri rentetan fakta yang dikemukakan di ruang publik. Tak melulu benar analisis dan simpulan aparat yang disokong media besar dan pengamat kampus. Tapi tak juga suara mereka patut disepelekan dengan anggapan pasti dan selalu pasti rekayasa. Di sisi lain, tidaklah bijak menyepelekan keraguan publik yang lugas menuding ada konspirasi dan rekayasa. Mungkin saja ada beberan fakta ala aparat yang niscaya diragukan. Mungkin juga karena ada temuan berbeda dari tim non-aparat yang dipercaya. Atau mungkin tak suka kerja aparat karena rekam jejak yang kerap perlihatkan pengabaian pada penegakan hukum.
Aparat punya hak mengajukan asumsi dan simpulan. Akademisi dan pengamat juga setali demikian. Media berhak wacanakan sikapnya. Publik juga tak boleh dibungkam. Asalkan ada argumentasi dan fakta memadai untuk dipertanggungjawabkan, absah saja lisan seseorang dengan enteng menuding ada penanganan “kurang beres” oleh aparat. Bom teroris kata aparat, jebakan kata sebagian yang apriori. Semua silaka bersuara asal punya landasan.
Meremehkan kemungkinan konspirasi jelas abai pada sejarah. Betapa seringnya kalangan garis keras dikerjai karena keluguan mereka dalam berjuang hingga pihak anti-Islam memperalatnya. Berjuang di hati mereka, yang terjadi semua saudara seimannya kena darah muncrat dalam stigma. Hanya saja, langsung apatis pada kerja apa raya juga tak elok. Menyandarkan pada praduga jelas tidak adil. Bicara itu harus dengan fakta otentik. Ini kewajiban selain juga kesabaran untuk melakukan tabayun pada informasi siapa saja.
Kalau ragu pada pihak yang sering “mengerjai” umat, hendaknya lisan tak langsung membual. Kumpulkan fakta dan bila perlu hadir di lapangan agar analisis tidak jatuh pada fitnah. Kalau orang lain mantap menuding kita teroris, lawan bukan dengan dalil atau stigma konspirasi asing atau apalah. Gali fakta yang aneh dan misterius lalu lalukan analisis dan verifikasi. Metode ini lebih memadai untuk mengklarifikasi ketimbang berepot dalam suara gaduh tapi minim data.
Data-data versi aparat pemerintah bisa saja benar kendati tak mustahil melenceng. Entah karena bias, tendensius, distorsi atau bahkan pembiaran semata menguatkan agenda pesanan. Ini memang abstrak buat dibuktikan. Makar canggih dibuat bukan dengan kepolosan berpikir. Ia sarat skenario dan berlapisan taktik. Karena itu, umat hendaknya dingin saban ada tudingan. Tak perlu langsung menandas kepastian adanya konspirasi jahat. Sebaliknya, hal-hal aneh dan ganjil segera diverifikasi. Tahan menuliskan di media sosial; berjuanglah membuktikan disebalik makar itu ada siapa.
Begitulah ketidaksadaran kita dalam ruang sejarah yang dihadirkan di tengah kita. Inilah lakon yang harus diperjuangkan. Menggulati kebenaran agar tak diselewengkan. Agar tak ada monopoli kebenaran atas nama apapun lantas halalkan cara melabeli kalangan yang serupa dengan pelaku kejahatan. Jadi, ruang sejarah dalam narasi di tengah kita memang tak boleh dibiarkan untuk ditulis sesuka hati oleh pihak lain, terlebih yang punya kuasa dan rekam jejak tak baik pada agama kita. Ruangan itu kontestasi pikiran sebenarnya. Dan ini terasa ketika pikiran untuk membuat analisis berbeda serasa diasingkan sebagai bagian terdakwa pula.
Kegagapan kita oleh canggihnya kerja lawan di sana, di sisi lain, jangan sampai hanya berhenti pada umpatan “rekayasa!” ataukah “dasar konspirasi!” Ini menggelikan di mata khalayak, yang semakna merendahkan posisi kita sebagai umat apolog dan tak punya dasar bila membela diri. Kita perlu buktikan bahwa tudingan kekanakan kita hanya karena kritis dan apriori pada asumsi dan simpulan kerja aparat bukan sebuah kebencian ataupun asal beda. Bukan karena kepentingan posisi terancam, melainkan karena tekad menjaga kebenaran dan keadilan. Itulah langkah agar sejarah hari ini tak berisikan penisbatan darah dan nyawa meregang tanpa salah oleh kalangan beragama sekawan kita. Justru kita harus buktikan yang terjadi kita diumpankan pihak lain; sebuah simpulan dengan argumentasi dan data berbobot. []
Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net