Ruben Abu Bakar, Muslim Australia yang Dulunya Ateis dan Mencoba Banyak Agama

Ruben Abu Bakar, Muslim Australia yang Dulunya Ateis dan Mencoba Banyak Agama

Ruben Abu Bakar, Muslim Australia yang Dulunya Ateis dan Mencoba Banyak Agama
Ilustrasi seseorang menyalakan lilin.

Suaramuslim.net – Kisahku ini berawal ketika masih tahun pertama kuliah. Aku mengalami banyak masalah pada tahun itu. Orang tuaku bercerai pada tahun itu. Temanku juga meninggal pada tahun itu. Aku benar-benar banyak masalah kala itu. Aku mengalami kecelakaan dua kali dalam sepekan. Bahkan itu bebarengan anjingku yang mati saat itu. Hari-hari itu begitu menyedihkan bagiku.

Di situlah muncul pertanyaan. Mengapa apa aku di sini? Apa tujuan hidup? Mengapa harus bangun pagi? Kenapa harus peduli dengan semua itu? Mengapa aku tidak duduk saja menonton TV? Kurasa aku terus bertanya tentang kehidupan ini. Dan ini menuntunku untuk memulau petulangan rohani.

Sebagai orang Australia, hal pertama yang ku teliti adalah Kristen. Aku punya beberapa teman Kristen. Aku ingat ketika pergi perkemahan gereja. Semua bernyanyi di sana. Aku merasa lucu saat itu. Aku tak tahu apa kata-katanya. Aku tak paham makna lagu-lagunya. Aku tak mengerti apapun yang aku nyanyikan. Suara mereka bagus tapi bagiku semua itu terasa aneh.

Semua orang saat itu mengatakan bahwa Tuhan menyayangi aku. Lalu aku berpikir? Apanya yang sayang? Anjingku saja mati. Jadi aku terus mendalami Kristen dan aku teliti seluruh aspeknya yang berbeda-beda. Jadi aku bicara tentang Katolik, Anglican Baptist, pendeta, pastur, dan banyak lainnya.

Setiap aku ke sana dan bertanya, mereka menjawab tidak dengan Bible. Mereka menjawab menurut pendapatnya sendiri. Mereka jawab, “Ini jawabannya, Saudaraku.” Mereka menjawab dengan pendapatnya masing-masing. Mereka asal menjawab.

Dan aku menyadari ada banyak interpretasi di dalam Kristen. Dan semua orang punya interpretasi yang berbeda. Pendeta dari satu gereja percaya satu aspek Kristen sementara yang lain berpendapat berbeda dengannya. Lalu aku berpikir, Bible itu satu kitab tapi banyak sekali interpretasinya. Dan itu membingungkan.

Orang tuaku juga makin lama tak percaya ajaran Kristen. Padahal dulunya, sejak kecil mereka dipaksa ke gereja. Tapi itu membingungkan mereka. Dan mereka sangat membenci semua ajaran Kristen pada akhirnya. Lama-kelamaan mereka tak percaya. Ayahku mengatakan kalau kamu mati, maka selesai sudah. Tak ada apa-apa setelah itu. Tak ada akhirat, tak ada Tuhan. Semua itu hanya omong kosong. Aku diajari menjadi ateis. Aku pun ikut semua perkataan ayahku itu.

Semua itu masih terjadi pada awal aku kuliah. Lalu aku kenal dengan teman yang bekerja di stasiun pengisian bahan bakar (SPBU). Aku kerja paruh waktu di situ dengan teman kuliahku tadi. Dia orang India dan beragama Hindu. Kami sering diskusi. Aku bertanya, “Kawan, itu siapa yang berkepala gajah? Mengapa dewa berkepala gajah?” Itu Ganesha katanya. Mengapa kamu tidak memilih kepala singa atau sesuatu yang lebih baik? Sebenarnya aku serius saat itu. Tapi karena suasananya sepi dan santai sambil menunggu pelanggan SPBU, kemudian debat itu setengah bercanda. Dan sekali lagi ini sulit dipahami.

Lalu aku mendalami agama lainnya. Aku punya teman penganut Mormon. Aliran ini sebenarnya lebih menarik bagiku dibandingkan dengan hampir semua aliran Kristen lainnya. Nama gerejanya The Church of Latter Day Saints. Mereka lumayan ketat, tidak minum alkohol dan tidak minum kafein, Tapi anehnya mereka minum Cola. Tapi lagi-lagi ada ‘keyakinan membuta’ yang harus dijalani yang harus ku jalani sebelum memeluk keyakinan Mormon ini. Dan aku tak ingin membuta, aku ingin bukti.

Aku juga mendalami Yahudi. Karena namaku Ruben, bahkan ada yang mengira aku ini juga Yahudi. Di agama ini aku juga tidak menemukan apa yang ku cari. Lalu aku mempelajari Budha. Banyak orang kulit putih ikut ajaran ini. Aku sempat tertarik dengan agama ini. Tampaknya mereka bersatu dengan alam. Tapi semakin ku dalami, ini bukan ajaran Tuhan. Ini semata hanya cara hidup yang baik.

Lalu seorang teman Kristen bertanya, sudah berapa agama yang ku pelajari. Ku katakana semuanya, termasuk Taoisme. Dia bertanya mengapa tidak mencoba Islam. Aku menyahut, “Mereka kan teroris. Aku tak mau mendalami agama itu. Mereka itu gila.”

Setelah beberapa waktu, aku penasaran dan pergi ke masjid dan masuk sambil melangkahi karpet salat dengan sepatuku. Bahkan ada seseorang sedang sujud dan aku hampir menginjak kepalanya. Aku terus saja berjalan di dalamnya dengan rasa penasaran. Aku tak tahu apapun tentang agama ini.

Lalu ada pengurus masjid berpakian gamis lebar dan jenggot lebat menghampiriku. Dalam hati, aku sempat ketakutan. Aku menganggap orang seperti biasanya membajak pesawat terbang. Aku pasti mati sebentar lagi di tangan orang ini. Kok ada kulit putih di tengah Leb-Land (Lebanon Land, sebutan komunitas muslim asal Arab yang banyak migrasi dan menetap di Australia).

Ternyata dia malah menyapaku dengan sopan, “Selamat siang Kawan, apa kabarmu?” Kalau ada kamera yang merekam momen itu, pasti sangat sempurna bagaimana pertama kali aku bertemu muslim yang sering dianggap teroris itu dan ternyata sangat ramah.

Ku ketahui kemudian bahwa nama dia Abu Hamzah. Aku sangat terkejut dengan sikap ramahnya. Dia mengajakku ngobrol, sedangkan teman-temannya menyiapkan secengkir teh dan biskuit. Gara-gara teh itu aku jadi sering ke toilet karena mereka terus menambah teh dan biskuitnya. Aku tak pernah melihat hal seperti ini. Sampai-sampai aku mengira, aku akan sering ke situ karena banyak biskuitnya.

Di situ aku banyak bertanya kepada Abu Hamzah. Semua pertanyaanku ini sering kutanyakan ke pendeta, pastur, dan kawan-kawanku selama ini. Dan ini bukan pertanyaan mudah. Semua pertanyaanku ku anggap sulit. Karena selama tidak ada yang bisa menjawabnya dan tidak ada yang bisa memuaskanku.

Dan luar biasa, setiap kali menjawab, mereka tidak asal menjawab. Teman muslim ini membuka Al Quran dan menunjukkan halaman yang dimaksud sambil menyuruh aku membacanya langsung. Selalu begitu.

Aku bertanya mengapa wanita harus berhijab? Mengapa pria muslim boleh beristri empat, mengapa wanita tidak boleh bersuami empat? Mereka selalu menjawab dengan Al Quran. Bukan jawaban pribadi. Aku pun sempat terpojok. Hebat sekali agama ini. Semua sudah ku tanyakan dan selalu ada jawabannya. Aku telah beberapa kali berkunjung ke sana dan mengajukan banyak pertanyaan. Aku sempat mengujinya, mengapa kamu tidak menjawab dengan jawabanmu sendiri. Dia menjawab, “Aku tak boleh mengemukakan jawabanku sendiri, karena jawaban ini ada firman Tuhan.” Inilah yang mengena di hatiku.

Aku pun meminta satu Al Quran dan ku bawa pulang. Aku terus membacanya selama di rumah. Aku tidak sedang membaca kisah. Yang kurasakan adalah ini perintah seseorang, yang sedang memberiku panduan. Lalu aku suatu malam itu aku merenung seorang diri. Aku berkata pada diriku sendiri. Inilah momennya. Aku akan memilih agama yang benar.

Aku menyalakan lilin dan membuka gorden dan jendela. Aku ingin nuansa rohani yang istimewa. Saat ini musim panas di Melbourne. Aku duduk di tengah kesunyian malam. Aku sudah mengalami banyak bukti spiritual, aku membaca Al Quran dengan bukti bahwa gunung itu sebagai penyangga Bumi, bagaimana proses penciptaan manusia dari embrio, dst.

Semua bukti itu sangat menakjubkan. Tapi aku ingin mendapat satu dorongan saja. Satu saja. Ibarat saya sudah di tebing untuk terjun dan satu butuh satu dorongan saja. Aku membaca Al Quran dan aku berhenti. Aku berkata, “Allah, inilah waktuku. Inilah aku akan masuk Islam. Yang aku butuhkan adalah satu tanda. Tak usah yang besar. Mungkin kilat kecil saja. Tak harus rumahku roboh. Engkau adalah pencipta bumi. Ayolah ya Allah.”

Aku tetap duduk menunggu tanda itu. Aku menunggu lilinku menyemburkan api besar setinggi empat meter seperti di film. Aku tetap duduk sambil tengok kanan kiri mungkin ada tanda lainnya. Setelah lama, tak ada tanda apa-apa. Aku kecewa.

Aku berkata, “Aku masih di sini ya Allah. Tak kemana-mana. Aku mohon tunjukkan tandaMu.” Setelah lama, Akhirnya aku berkata, “Mungkin Engkau sibuk Tuhan. Aku beri Engkau kesempatan lain.” Aku mencoba lagi di lain hari. Tetap saja tak ada tanda apapun. Aku makin kecewa. Aku hampir putus semangat.

Aku pun kembali membuka Al Quran. Beberapa ayat ku baca hingga ayat Al Baqarah 164. Subhanallah.

Ayat ini seolah mengatakan, “Untuk kalian yang meminta petunjuk, tidakkah telah cukup kami tunjukkan? Lihatlah sekelilingmu. Lihatlah matahari, bintang, dan air. Itulah tanda-tanda orang mau memahami.” Lalu aku tutup kepalaku dengan selimut. Betapa sombongnya aku. Aku menginginkan tanda-tanda Tuhan untukku sendiri. Padahal tanda-tanda Tuhan sudah ada sejak lama di sekelilingku. Selama enam bulan saya melakukan ini.

Esoknya aku memutuskan untuk masuk Islam. Aku datang ke masjid malam hari sekitar pukul 7 atau 8. Aku kaget, banyak sekali orang di sana. Sekitar seribu orang. Ternyata itu hari pertama Ramadhan, dan menjelang Teraweh.

Di hadapan banyak orang itu aku harus membaca syahadat dalam bahasa Arab. Aku sangat ketakutan. Takut salah ucap. Begitu selesai, rasanya lega. Lalu banyak yang menyalami aku sambil merangkulku. Aku belum pernah dipeluk begitu banyak pria sebelumnya. Rasanya luar biasa.

Channel Youtube: Islam Bersatulah

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment