Sejarah Nabi Muhammad SAW di Kota Mekah

Sejarah Nabi Muhammad SAW di Kota Mekah

Sejarah Nabi Muhammad SAW di Kota Mekah

Suaramuslim.net – Mekah pada zaman kuno terletak di garis lalu lintas perdagangan antara Yaman (Arabia Selatan) dan Syam dekat lautan tengah. Kedua negara ini zaman dahulu telah mencapai peradaban yang tinggi dan dihubungkan oleh beberapa negeri-negeri kecil antara lain Mekah. Dipandang dari segi geografis, kota Mekah hampir terletak ditengah-tengah Jazirah Arabia. Oleh kareana itu kabilah-kabilah Arab dari segala penjuru tidaklah terlalu sulit mencapai Mekah, seperti halnya juga penduduk kota Mekah, tidaklah amat sukar bagi mereka bepergian ke negeri-negeri tetangganya seperti ke Syam, Hijrah dan Yaman. Tidaklah mengherankan, bilamana semangat dagang berkembang di kalangan penduduk Mekah.

Dalam kota Mekah itu terdapat rumah suci yang disebut Baitullah atau Ka’bah. Bangsa Arab pada umumnya memuliakan tempat suci ini. Pembinaan Baitullah ini menurut sejarah Islam dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS bersama puteranya Ismail AS.  Ismail AS kemudian menikah dengan penduduk Mekah dari suku Jurhum yang berasal dari Yaman dan terus menetap di kota ini turun temurun. Keturunan Nabi Ismail ini disebut Banu Ismail atau Adnaniyyun.

Pada waktu bendungan besar di Ma’rib di Arabia Selatan pecah dan menimbulkan mala petaka yang besar pada penduduknya, maka kabilah-kabilah Arab Selatan ini berbondong-bondong meninggalkan daerahnya menuju ke arah utara. Diantara mereka satu rombongan yang dipimpin oleh Harits bin ‘Amir yang bergelar Khuza’ah berpindah menuju Mekah, mereka berhasil mengalahkan penduduk Mekah (suku Jurhum) dan seterusnya menjadi penguasa atas negeri ini turun temurun.

Dalam masa pemerintahan Khuza’ah inilah banu Israil berkembangbiak dan dengan berangsur-angsur mereka meninggalkan negeri ini bertebaran ke pelosok-pelosok Jazirah Arab. Hanya yang tinggal di kota ini dari Banu Ismail ialah suku Quraisy. Mereka sama sekali tak punya kekuasaan atas kota Mekah ini dan juga atas Ka’bah.

Kira-kira abad ke 5 M. Seorang pemimpin kabilah Quraisy yang bernama Qushai telah berhasil merebut kekuasaan kota Mekah dari tangan kaum Khuza’ah, setelah mereka berabad-abad lamanya menguasai kota Mekah. Kekuasannya yang direbutnya itu meliputi bidang pemerintahan dan keagamaan. Dengan demikian Qushai menjadi pemimpin agama dan pemerintahan kota Mekah.

Dibidang pemerintahan Qushai meletakkan dasar-dasar demokrasi. Dia membagi-bagi kekuasaan antara pemimpin Quraisy . Untuk tempat bermusyawarah para pemimpin itu dibangunlah balai permusyawarahan yang mereka namakan “Darunnadwah”. Ditempat inilah mereka membahas dan memecahkan segala persoalan-persoalan yang timbul dalam masyarakat.  Ketua dari balai itu adalah Qushai sendiri. Kekuasaan dan kepemimpinan Qushai atas kota Mekah ini mendapat dukungan dari segenap kabilah-kabilah Arab.

Pada masa selanjutnya, nampaklah pertumbuhan kota Mekah dengan organisasinya yang sederhana itu, lebih-lebih sesudah kerajaan Himyariah di Arabia Selatan mulai runtuh kira-kira pada permulaan abad ke 6 M. Kesadaran bahwa kepentingan kota harus lebih diutamakan dari kepentingan suku sendiri, sudah pula tumbuh pada kota Mekah. Segala sengketa antara mereka selalu dapat diselesaikan secara damai. Mereka menghindari terjadinya pertumbuhan darah di daerah kota Mekah, karena hal itu berarti menodai kesucian kota itu yang sudah menjadi kepercayaan sejak berabad-abad lamanya. Selain daripada itu, merekapun sangat berkepentingan akan ketentraman kota Mekah. Setiap tahun pada bulan-bulan haji bangsa Arab dari segala penjuru, datang berkunjung ke Mekah sebagai suatu kewajiban Agama. Tidak sedikit keuntungan penduduk kota Mekah dari kunjungan keagaman ini. Kunjungan itu berjalan lancar bilaman keadaan kota Mekah itu selalu aman dan tentram sera kesuciannya senantiasa terpelihara. Kaum Quraisy yang diberi kepercayaan oleh bangsa Arab untuk menjaga kesucian dan keamanan kota Mekah ini.

Mengenal keagamaan, sejak Qushai berhasil menggulingkan kekuasaan orang-orang Khuza’ah, dialah yang memegang pimpinan agama. Bangsa Arab mengakui bahwa hak dan pemeliharaan atas Ka’bah dalam kota Mekah itu hanya pada keturunan Nabi Ismail AS. Karena itu tindakan Qushai mengambil alih kekuasaan atas Ka’bah dari orang-orang Khuza’ah segera dibenarkan dan diakui oleh bangsa-bangsa Arab, karena Qushai adalah keturunan nabi Ismail AS. Dengan demikian hanya dialah yang berhak menjaga, membuka dan menutup pintu Ka’bah serta memimpin upacara keagamaan dirumah suci itu. Setelah Qushai meninggal, pimpinan dilanjutkan oleh keturunannya.

Sumber: Al Quran Al Karim
Editor: Muhammad Nashir

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment