Suaramuslim.net – Beberapa waktu lalu Harian kompas menyikapi kebiasaan nyinyir pada Warganet yang kian hari semakin beringas. Perbedaan yang menjadi kekayaan keberagamaan di Indonesia semakin jarang terdengar, yang ada perbedaan ini menjadi bahan nyinyir di setiap media sosial yang ada.
Nyinyir dan kritik adalah dua hal yang hampir sama namun berbeda tujuan, nyinyir lebih kepada ketidaksukaan seseorang, atau kelompok terhadap orang lain, lebih dalamnya, nyinyir termaktub dalam makna iri, hasud, dengki, ataupun fitnah.
Media sosial menciptakan ruang baru para perilaku nyinyir di atas, seperti Line, IG, Twitter, FB yang semakin terakomodir dengan rapi. Hari ini, bila melihat status para tokoh atau isu sensitif tentang perbedaan, coba lihat bagian kolom komentar, wiuw, riuh, tajam, dan tak jarang istilah baru bermunculan.
Mahfud MD, mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) lewat akun pribadinya, Twitter, membuat list kosakata baru yang dibuat Warganet untuk melawan mereka yang dianggap berbeda pandangan kebangsaan, seperti, cebongers, bani daster, kaum Bani datar, kaum cingkrang, dan bani jenggot.
Selain berita hoax yang terus diproduksi hingga puluhan ribu, ujaran kebencian, sebenarnya media sosial kita lebih berwarna lagi saat kosakata baru itu muncul. saya tidak menduga, apakah di warung kopi, kantor, paguyuban, atau pengajian, masihkah nyinyir terhadap mereka yang dianggap berbeda?
Sejarah Nyinyir
Membahas perbedaan agama di Indonesia, seperti membakar daun kering di halaman rumah pada siang hari saat terik matahari, bisa di analogikan, hanya butuh waktu 5-10 detik, daun tersebut akan habis dilalap api.
Sejak kasus Ahok, atau lebih mundur lagi, keindonesiaa kita seperti berada dalam dua kutub silang, semua saling menghujat, para ulama adu argument, para masyarakat adu komen. Nyanyian tentang Saya Pancasila, Saya Indonesia, Saya Islam, menjadi laris di pasaran, tagar-tagar pun menjadi buah bibir untuk membuat block sendiri-sendiri.
Siapa yang benar, siapa yang salah, hal ini menjadi perdebatan. Antara haq dan bathil, dalam konteks ini masih menjadi perdebatan yang kini masih diperbincangkan
Apakah gegara perbedaan agama? Apakah berbeda perkara, berbeda pandangan politik?
Mukhtar Lubis seorang sastrawan angkatan 1960-an pernah membuat karya yang berjudul “Manusia Indonesia”, ada beberapa ciri manusia Indonesia pada zaman lampau, salah satunya adalah suka menghasut, dendam, dengki, iri hati.
Buku tersebut dibuatnya tahun 1977, tentu pengamatannya untuk mengelompokkan sifat asli masyarakat Indonesia sudah jauh dari tahun tersebut. Mungkin dulu budaya nyinyir sebelum booming internet, terjadi saat ronda-ronda malam, saat ibu-ibu mengambil kutu sebayanya, atau saat jagongan di warung kopi.
Jadi, kebiasaan nyinyir masyarakat sudah sekian lama terjadi, semacam sudah membudaya bagi watak Indonesia.
Nasib kebangsaan Kita
Sebelum Indonesia merdeka, kita mengenal Jong Java, Jong Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Jong Jong Islamieten Bond, sebagai representasi dari kumpulan pemuda setiap daerah, namun pada saat 1928, mereka semua berkumpul untuk “tanah air Indonesia”, “bangsa Indonesia”, dan “bahasa Indonesia”.
Saat Indonesia merdeka pada 17 Agustus tahun 1945, para negarawan dan agamawan bercampur baur untuk melanjutkan narasi kemerdekaan. Ada perbedaan? Banyak, namun dialog terus dilaksanakan guna mencari solusi yang terbaik bagi bangsa.
Hubungan agama dan negara, sudah selesai dibahas oleh pendahulu bangsa. Hubungan wilayah, hubungan warna kulit, hubungan kebhinekaan, sudah selesai dalam dialog, meski masih belum ramping, mereka mencoba bersama-sama membangun keberagaman.
Hari ini Polarisasi semakin tampak saat generasi baru hidup di Indonesia, mungkin ini terbentuk karena pembacaan kebangsaan kita belum selesai, dialog untuk rembuk ini masih tersisa nyinyir diantara yang berbeda. Kekayaan bahasa, ciri khas, adat, kebudayaan, menjadi hilang, karena mengedepankan fanatisme daripada akal.
Sebentar lagi Pilpres 2019, tentu sejarah nyinyir ini akan lebih hebat lagi. Apalagi wacana #2019ogahgantipresiden vs #2019gantipresiden semakin marak di media nyata kita.
Akankah negara, agama, politik masih terus di jadikan korban?
Oh iya lupa, Saya pernah mendengar cerita mbah mbuyut bahwasannya, dulu NU sama Muhammadiyah sering nyinyir-nyinyiran masalah tahlil, qunut, dan perbedaan khilafiyah lainya, pernah beberapa kali sempat berantem satu sama lain, bahkan membuat masjid pun harus sendiri-sendiri. Masjid milik Muhammadiyah, masjid milik NU.
Lantas beberapaa waktu lalu saya berdiskusi dengan seorang kawan, “kenapa ya NU dan Muhammadiyah sudah jarang debat masalah qunut”?, tanya saya.
Kawan tadi nyeletuk, “layo, bener, to. sekarang NU dan Muhammadiyah sudah tidak lagi berdebat masalah Qunut atau tidak, lawong tidak ada yang jamaah subuh. hahah
Semoga keindonesiaan kita terjaga
Kontributor: Teguh Imami
Editor: Arina Masruroh
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net