Suaramuslim.net – Rabu dua pekan lalu mengajar Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) di kelas IX, tak terasa masuk bab tentang KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad dahlan. KH Hasyim Asy’ari dikenal sebagai salah satu pendiri Nahdlatul Ulama. Sementara itu, KH Ahmad Dahlan adalah pendiri Gerakan Muhammadiyah. Petuah beliau yang terkenal, “Islam tidak mungkin hilang dari dunia, namun dia mungkin hilang dari Indonesia kalau umatnya tidak membelanya“.
Yang perlu diketahui oleh pembaca setia laman Suaramuslim.net, di dalam buku Sejarah Kebudayaan Islam: Pendekatan Saintifik kurikulum 2013 (kelas IX), disinggung poligami yang dipraktikkan KH Ahmad Dahlan. Anehnya, di dalam Ensiklopedi Muhammadiyah (Rajawali press, 2005) tidak disinggung sama sekali. Termasuk dalam film Sang Pencerah. Menurut Sutrisno Kutoyo dalam Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Persyarikatan Muhammadiyah (1998, hal 51), “Lagi pula semua istri KH Dahlan selain ibu Walidah adalah janda-janda yang ditinggal mati suaminya dan perlu perlindungan seorang suami“.
Jika KH Hasyim Asy’ari sepanjang hayatnya menikah empat kali (bukan berpoligami). Lalu bagaimana dengan Kiai Ahmad Dahlan? Sepanjang berumah tangga dengan Siti Walidah atau yang lebih populer dengan panggilan Nyai Walidah, Kiai Ahmad Dahlan dikaruniai 6 orang anak. Salah satu garis keturunannya sudah berkontribusi nyata di Thailand.
Misalnya Prof. Dr Winai Dahlan. Dalam laman Wikipedia, Prof Winai adalah ketua dari Pascasarjana Internasional dari studi Pangan dan Nutrisi, Faculty of Allied Health Sciences, Chulalongkorn University. Namamya juga masuk ke dalam daftar 500 Muslim paling berpengaruh.
Selain menikahi Nyai Walidah, Kiai Ahmad Dahlan menikahi R.A.Y Soetidjah Windyaningrum atau yang dikenal dengan nama Nyai Abdullah. Akad nikah dalam pernikahan yang kedua ini dipimpin langsung oleh kakak dari Nyai Walidah.
Dijelaskan dalam buku K.H. Ahmad Dahlan, 1868-1923 (Museum Kebangkitan Nasional, 2015), pernikahan kedua ini disebabkan oleh permintaan dari keraton. Sebagai abdi dalem keraton, Kiai Ahmad Dahlan tidak bisa menolak. Pernikahan ini menjadi tanda bahwa Sultan merestui usaha-usaha pembaruan yang sedang dilakukannya.
Sayangnya, pernikahan dengan Nyai Abdullah tidak langgeng alias bercerai. Proses perceraian kedua pasangan ini cukup unik, karena dilakukan melalui surat yang dititipkan lewat kakak Nyai Walidah. Pernikahan dengan Nyai Abdullah berbuah seorang anak bernama R. Dhurie.
Selanjutnya, Kiai Ahmad Dahlan menikahi Nyai Rum, adik Kiai Munawwir dari Krapyak. Nyai Rum ternyata bibinya Prof. Kahar Muzakkir. Menurut Sutrisno Kutoyo, dari rahim Nyai Rum, Kiai Ahmad Dahlan sempat punya anak laki-laki, sayangnya meninggal dunia saat bayi. Pernikahan dengan Nyai Rum ini bertujuan memperkokoh kerjasama antara organisasi Nahdlatul Ulama dan persyarikatan Muhammadiyah.
Istri berikutnya adalah Nyai Aisyah, adik ajengan Penghulu Cianjur. Konon Nyai Aisyah dinikahi saat berusia 15 tahun. Dari pernikahan ini, lahirlah anak bernama Siti Dandanah. Dinyatakan pula dalam buku SKI pegangan siswa kelas IX bahwa pendiri Muhammadiyah ini pernah menikahi Nyai Yasin dari Pakualaman Yogyakarta. Belum jelas apakah dikaruniai keturunan atau tidak.
Mengakhiri tulisan ini, “KH A. Dahlan sangat memahami bahwa poligami akan sangat menyakitkan perempuan sehingga meskipun Nyai Ahmad Dahlan tidak pernah melarangnya untuk menikah lagi, namun KH A. Dahlan sangat menjaga perasaan Nyai Ahmad Dahlan sebagai istri pertamanya dengan tidak menempatkan istri-istrinya itu dalam satu rumah.” Tulis Widiyastuti M. Hum dalam Booklet Kiai Haji Ahmad Dahlan (2010). Wallahu a’lam.