Suaramuslim.net – Tak mudah menulis dengan perasaan yang galau. Rasio seperti sedang berhenti berbicara. Tapi, saya harus tetap menulis. Ini penting untuk menyampaikan perasaan duka yang mendalam bagi bangsa Indonesia, khususnya keluarga besar santri Sarang atas berpulangnya Syeikh, Murabbi, Kiai dan Guru Bangsa ini.
Indonesia merasa sangat kehilangan sosok yang selama ini menjadi sumber mata air di saat rohani bangsa sedang menghadapi musim kemarau. Khususnya bagi mereka yang pernah nyantri di Sarang.
Diasuh seorang ulama di sebuah madrasah pesantren tentu berbeda sentuhan dan efeknya dengan hubungan guru murid di sebuah universitas. Hubungan ruhani, akal dan emosional beriringan dan seimbang. Kiai mendoakan santri, dan santri mendoakan kiai. Hubungan ini dibawa di hadapan Sang Pencipta. Tentu terasa sangat spesial.
Hubungan kiai-santri tak putus. Meski sudah lulus, jadi alumni, dan bahkan kiainya wafat, hubungan itu terus berlanjut. Tidak saja hubungan kiai-santri, tapi juga hubungan santri dengan keluarga kiai.
Jika ada kiai wafat lalu para santri menangis, itu sesuatu yang pasti terjadi. Seperti “keniscayaan psikologis.” Karena hubungan mereka bukan hanya hubungan akademisi (keilmuan), tapi lebih merupakan hubungan ruhani dan emosi. Pesantren bukan saja madrasah ilmu, tapi merupakan universitas rohani. Dan ini tak akan ditemukan di sekolah atau perguruan tinggi lainnya.
Jika hari Selasa, 6 Agustus kemarin Anda menyaksikan para santri yang tak mampu menahan air matanya mengalir dengan suara sesenggukan yang sesekali terdengar saat datang kabar Mbah Moen wafat, itu semua karena faktor kuatnya hubungan emosi dan ruhani itu.
Dari rumah sakit, persemayaman di Daker, disalatkan di Masjid Haram, hingga proses pemakaman di Ma’la terlihat para santri dan “muhibbin” berebut ingin menggotong atau sekadar mendekati dan menyentuh janazah ulama besar ini. Mereka tak berhenti menggaungkan kalimah thayyibah.
Tampak para jemaah haji dari luar Indonesia heran. Sempat ada yang bertanya: “man hua”? Siapa dia? “Hua as-syeikh al-aalim al-kabir al-mashur min Indonesia, ismuhu K.H. Maimun Zubair”, saya menjawab.
Beliau sudah berpulang ke rahmatullah. Meski kami, keluarga besar santri Sarang bersedih, tapi ada yang sedikit melegakan. K.H Maimun Zubair dipanggil Sang Khaliq di Kota Suci Makkah. Di musim haji dan pada saat beliau sedang berhaji. Tanah haram dan di bulan haram. Langit Makkah pun mendung berkabut dari pagi. Sesekali gerimis.
Orang menduga ini “karamah” Sang Kiai. Allahu A’lam. Tapi, itu indah sekali. Hari Selasa adalah hari yang Mbah Moen berdoa untuk wafatnya, sebagaimana hari wafat ayah, kakek dan ulama-ulama besar terdahulu. Dan Allah kabulkan doa itu. Ini sebuah perjalanan pulang yang sangat indah. “Sesuai pesanan.”
Sebagai sebuah memorial, khususnya bagi para santri Sarang, dan umumnya bagi bangsa Indonesia, K.H. Maimun Zubair adalah ulama sekaligus negarawan. Mbah Moen, panggilan akrab K.H. Maimun Zubair, itu sosok yang alim. Pengetahuannya luas. Tidak saja menguasai literasi klasik (kitab-kitab kuning), tapi juga mampu menjelaskan situasi kekinian berbasis pada realitas sejarah masa lalu.
Berbasis literasi sejarah yang begitu kuat, Mbah Moen sering tepat dalam memprediksi peristiwa sosial yang akan terjadi. Kami menjulukinya sebagai sosok futuristik. Inilah yang dalam ilmu sosial disebut dengan hukum sejarah. Bicara hukum sejarah kita teringat pada dua ilmuan besar yaitu Ibnu Khaldun di Timur dan Karl Marx di Barat. K.H. Maimun Zubair menamainya dengan istilah “Ilmu Titen.”
Mbah Moen adalah sosok yang bersahaja, rendah hati, sabar, bijak dan perhatian kepada para santri, termasuk yang sudah mutakharijin (alumni). Beliau sering menghadiri komunitas alumni yang tergabung di dalam organisasi FASS (Forum Alumni Santri Sarang) di berbagai daerah. Termasuk para alumni yang ada di Jabodetabek. Terus mendidik dan membimbingnya.
Suatu ketika seorang santri menyampaikan ke saya bahwa Mbah Moen mau telepon, saya bilang, jangan telepon saya, biarlah saya yang sowan. Gak etis, gak elok dan su’ul adab jika santri bicara sama kiainya via telp. Kecuali darurat dan jarak keberadaannya sangat jauh. Ini etika dan khas santri, yang tentu berbeda dengan hubungan dan pola komunikasi di luar komunitas santri-kiai.
Tapi, beliau pun tetap telepon saya. Beliau memberikan informasi dan sejumlah nasihat. Tidak saja kepada saya, tapi juga kepada sejumlah santri yang lain. Ini bukti begitu besar perhatian beliau kepada santri-santrinya.
Kepada para santri tak jarang Kiai sepuh ini memberikan hadiah. Ini cara beliau mengapresiasi dan mengekspresikan perhatiannya kepada para santri.
Sosoknya yang bijak dan matang, seringkali pengasuh pesantren Al-Anwar ini menjadi “juru islah” bagi konflik yang terjadi di antara para tokoh dan elit bangsa.
Ciri yang paling menonjol dari Kiai Maimun adalah selalu bersahaja dalam sikap dan berkomunikasi dengan semua pihak. Termasuk kaum santri, abangan maupun para pejabat. Bersama beliau semua pihak merasa nyaman.
Bagi bangsa ini, tugas berikutnya adalah meneladani Mbah Moen dan mewarisi apa yang telah diajarkan, terutama soal integritas. Banyak pelajaran dan nasehat bijak yang mesti menjadi rujukan, tidak saja buat para santri, tapi juga baik untuk bangsa Indonesia. Dan ini butuh buku tersendiri untuk dituliskan agar banyak yang berkesempatan membaca dan meneladani Kiai kharismatik ini.
Kepada semua pihak yang telah membantu proses murabbi kami di rumah sakit, disemayamkan, disalatkan hingga dimakamkan sudah sepatutnya kami atas nama ketua FASS se-jabodetabek mengucapkan jazakumallah khairal jaza. Kalau boleh disebut nama, Muhlisin adalah salah satu nama yang berada dibalik kelancaran seluruh prosesi pengurusan janazah Mbah Moen. Terima kasih Kang Muhlisin.
Terima kasih juga kepada pemerintah Indonesia, dalam hal ini adalah Menteri Agama, KBRI Arab Saudi, Ketua MPR Zulkifli Hasan, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah, Habib Rizieq, Habib Hanif dan para Amirul Hajj yang luar biasa perannya dalam proses hingga akhir. Juga kepada semua yang hadir dan turut mendoakan murabbi kami. Tak ada yang sia-sia dari amal umat manusia.
Terkait dengan salah paham dan polemik semoga segera berhenti. K.H. Maimun Zubair adalah sosok yang tidak suka berpolemik, apalagi konflik. Tak elok jika momen duka ini dijadikan polemik. Mari kita mengiringi kepergian beliau dengan doa: Selamat jalan Murabbiku, kerinduanmu kepada Sang Khaliq telah disambut-Nya dengan indah.*
Makkah (8/8/2019)
Tony Rosyid
Ketua Forum Alumni Santri Sarang Se-Jabodetabek
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net