Selektif Saat Memilih Pesantren

Selektif Saat Memilih Pesantren

Selektif Saat Memilih Pesantren

Suaramuslim.net – Di negeri ini terdapat puluhan ribu pondok pesantren. Mulai dari milik perorangan, berbasis wakaf hingga yang dibawah supervisi ormas keagamaan. Harus diakui, pesantren terbanyak dimiliki elite Nahdlatul Ulama (NU). Kemudian Hidayatullah dan Persyarikatan Muhammadiyah. Khusus Muhammadiyah, ormas keagamaan ini cukup berpengalaman mengembangkan dan memajukan lembaga pendidikan formal dari jenjang sekolah dasar hingga perguruan tinggi, akan tetapi belum teruji saat mengembangkan pesantren.

Dari segi fokus dan misi utama, ada pesantren yang berfokus pada penguasaan bahasa Arab, ushul fikih, ilmu tasawuf, hafalan Al Quran hingga yang memiliki misi menyembuhkan pecandu narkotika, mendampingi mantan preman dan wanita tuna susila (WTS). Harap diingat, pesantren yang gampang dikenali masyarakat adalah yang memiliki ciri khas. Misalnya, Pesantren Sidogiri di Kabupaten Pasuruan dikenal dengan kekuatan finansialnya melalui BMT UGT Sidogiri. Kemudian pesantren modern Gontor melalui penguasaan percakapan bahasa asing.

Saat ini pesantren tak hanya mengajarkan fikih ibadah, tapi juga ilmu berbisnis. Sebagian lagi menjadi pelopor pemberdayaan bagi masyarakat sekitarnya. Bisa dikatakan pesantren sudah mulai menjalankan fikih sosial di tengah masyarakat. Ditambah lagi, terdapat kecenderungan di lapangan menunjukkan tren pergeseran dari yang salaf ke khalaf.

Sebagian besar pesantren di berbagai daerah telah mengembangkan kelembagaannya dengan membuka sistem madrasah, sekolah umum, universitas dan di antaranya ada yang membuka semacam lembaga pendidikan kejuruan, seperti bidang pertanian, peternakan, teknik, dan sebagainya,” tulis Majalah TEMPO edisi Seribu Wajah Pesantren (September 2010).

Jika tertarik memondokkan anak, sebaiknya para orang tua selektif dalam memilih pesantren. Untuk anak zaman sekarang terutama dari perkotaan, yang dilihat pertama kali adalah kelayakan fasilitas. Kebersihan kamar mandi, kamar yang layak huni, fasilitas kerajinan tangan (kaligrafi, menenun, menjahit dan sebagainya), dan fasilitas multimedia dalam menyokong proses pembelajaran.

Maka dari itu, berkaca dari pengalaman Dr Muhammad Ali Anwar (dosen IAI Pangeran Diponegoro, Nganjuk), “Pesantren perlu membuat fasilitas didalamnya lebih baik dari fasilitas yang sebelumnya dirasakan santri di rumahnya“. Tujuannya adalah supaya santri merasa nyaman di dalam lingkungan pesantren dan tidak sering mengajukan izin pulang ke rumah.

Setelah fasilitas, bukan tidak mungkin di negeri ini terdapat pesantren yang mengajarkan doktrin menyimpang. Maka, para orang tua harus teliti terhadap urusan yang satu ini. Doktrin menyimpang diantaranya:  mengajarkan tidak usah shalat jumat, membolehkan nikah beda agama, shalat fardhu dengan dua bahasa, menganggap najis orang di luar pesantrennya hingga meminta santri dan alumninya mendukung pemimpin kafir dalam pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden.

Selanjutnya para orang tua perlu menelusuri lebih jauh apakah sebuah pesantren memiliki seorang kyai atau tidak. Tidak bisa disebut pondok pesantren jika belum ada ‘Kyainya’. Pada zaman sekarang, sosok kyai yang dibutuhkan adalah yang mampu memberi makan umat dan punya leadership yang bagus. Umat Islam di negeri ini tidak butuh “kyai proposal” apalagi “Kyai amplop” yang masih memusingkan persoalan finansial. Kyai model begini tidak punya marwah dan tidak mampu fokus 24 jam mendidik santri-santrinya.

Masih ada satu lagi yang perlu dipastikan para orang tua, yakni kajian kitab Turats. Tanpa adanya aktivitas tersebut, para santri tidak akan merasakan atmosfer pesantren. Santri banyak menganggur dan tidak mendapat ilmu agama dari sumber yang “mu’tabar”. Tidak mungkin santri hanya disuguhi buku terjemahan ulama apalagi buku-buku karangan orientalis. Bagaimana jadinya ketika berkiprah di tengah masyarakat bila tidak pernah mengkaji isi kitab Turats?

Terakhir, ada baiknya orang tua mengajak bicara dari hati ke hati perihal memondokkan anak. Jangan bersikap otoriter. Apalagi tidak memberi kesempatan anak mengutarakan pendapat. Biarlah keinginan mondok itu berasal dari inisiatif anak. Jika para orang tua memaksa, bisa dipastikan dia takkan betah. Dia tidak semangat belajar dan kemungkinan membuat pelanggaran berat agar segera dikeluarkan dari pesantren. Orang tua bakal direpotkan kembali dengan mencari lembaga pendidikan yang baru. Wallahu’allam *

Kontributor: Fadh Ahmad Arifan
Editor: Oki Aryono

*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment