Suaramuslim.net – Sejak pandemi Covid-19 masuk ke Indonesia, Majelis Ulama Indonesia secara sigap telah menerbitkan fatwa No. 14 tahun 2020 tertanggal 16 Maret 2020 tentang pedoman penyelenggaraan ibadah dalam suasana terjadinya wabah Covid-19. Selain itu, MUI juga menerbitkan fatwa No.17 tahun 2020 yang berisi pedoman tata cara salat bagi tenaga kesehatan yang sedang menggunakan APD. Juga fatwa No. 18 tahun 2020 tentang pedoman penanganan jenazah korban Covid-19.
Terakhir fatwa No. 28 tahun 2020 tentang pedoman kegiatan ibadah seputar Idulfitri. Dibuatnya panduan dalam bentuk fatwa ini, diharapkan masyarakat bisa mengambil pedoman agar dalam menjalankan kegiatan sehari-hari di masa musibah ini berlangsung, tetap bisa sejalan dengan tuntunan ajaran Islam.
Khusus berkaitan dengan fatwa No. 14 tahun 2020 tentang penyelenggaraan ibadah dalam suasana terjadinya wabah Covid-19, terdapat pilihan-pilihan dalam penerapannya.
Secara umum dapat dikelompokan menjadi dua; pertama, pada kawasan terkendali kegiatan ibadah seperti salat Jumat dan berjamaah salat maktubah (salat wajib lima waktu) bisa dilaksanakan di masjid seperti biasa, dengan tetap mengikuti ketentuan protokol pencegahan penyebaran Covid-19.
Yang kedua, bila kondisi tidak memungkinkan karena di suatu kawasan ancaman bahayanya sudah tidak terkendali, maka pelaksanaan ibadah salat Jumat maupun berjamaah salat maktubah di suatu kawasan dapat ditiadakan.
Salat Jumat hukumnya wajib a’in bagi setiap laki-laki muslim, balig, berakal, merdeka, tidak mempunyai uzur yang membolehkan untuk meninggalkannya. Dasar kewajibannya adalah Firman Allah QS. al-Jum’ah [22] ayat 9.
Adapun berkaitan dengan berjamaah salat maktubah, para ulama berbeda pendapat. Imam al-Nawawi sebagaimana dikutip oleh Syeikh Ahmad Zain al-Din al-Malibari menyatakan, bahwa berjamaah salat maktubah hukumnya wajib kifayah bagi laki-laki, balig, yang tidak sedang bepergian, dan merdeka.
Sedangkan menurut mazhab Imam Ahmad bin Hanbal hukumnya wajib a’in. Sebagian menetapkannya sebagai salah satu syarat sah salat fardhu (Fath al-Mu’in, Dar Ibn Hazm, 2004, hlm. 171).
Pendapat terakhir ini diikuti oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu al-Qayyim.
Islam diturunkan merupakan rahmatan lil alamiin, shalihun likuli zaman wa makan, merupakan tuntunan kehidupan yang selalu memberikan jawaban dalam setiap keadaan.
Di saat kondisi yang sulit selalu ada jalan keluar yang diberikan, yang berbeda perlakuannya dengan saat kondisi yang normal. Hal ini karena syariat Islam diturunkan bukan untuk membikin kesulitan, tetapi sebaliknya untuk memberikan jalan keluar dari berbagai permasalahan.
Itulah, maka dalam suatu kawasan ketika kondisinya sulit dikendalikan sehingga pelaksanaan ibadah wajib seperti salat Jumat dan berjamaah salat lima waktu bisa ditiadakan.
Hal ini merupakan bentuk rukhshah dari agama, sebagai bagian dari kemudahan yang diberikan oleh agama. Adanya Covid-19 bisa menimbulkan bahaya yang mengancam jiwa, sehingga melahirkan kondisi kedaruratan. Berdasarkan kaidah, keadaan darurat membolehkan sesuatu yang semula pada kondisi normal tidak diperbolehkan.
Merujuk pada penjelasan Syeikh Ahmad Dardir, yang dimaksud keadaan darurat adalah kondisi takut atas jiwa dari kebinasaan, baik secara nyata atau dugaan/prediksi. (Syarh al-Kabir dalam catatan pinggir Hasyiyah al-Dasuqi, Isa al-Babi al-Halabi: II/115).
Adanya wabah virus corona (Covid-19) dalam keadaaan tertentu dapat menjadikan suatu kawasan tertentu menempati keadaan darurat seperti itu.
Hal yang menjadi penekanan, dalam fatwa MUI tidak disebutkan kriteria berdasarkan zona-zona, tetapi penetapannya berdasarkan kriteria terkendali dan tidak terkendali. Dengan kriteria seperti ini, dalam implementasinya bisa lebih fleksibel, karena kata kuncinya adalah pada pengendalian itu. Maka sekalipun ada masjid yang terletak di area zona merah pun, masih bisa melaksanakan salat Jumat, begitu pula salat maktubah secara berjamaah.
Dalam hal ini ada syaratnya, jamaah yang mengikuti salat harus terkendali orang-orangnya. Maka Majelis Ulama Indonesia khususnya MUI Provinsi Jawa Timur terus memberikan arahan seputar masalah ini.
Masjid dan mushalla yang menyelenggaraan ibadah salat berjamaah di dalamnya, bahkan termasuk melaksanakan salat tarawih, harus menerapkan ketentuan ketat kepada jamaahnya untuk mematuhi ketentuan protokol pencegahan Covid-19, yaitu dengan cara semua jamaah menggunakan masker, yang sakit tidak diperkenankan ikut, rajin mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, serta membawa alas salat/sajadah sendiri.
Alhamdulillah di lapangan cukup efektif penerapannya sesuai dengan arahan dari MUI. Di beberapa tempat, masyarakat secara sadar telah mengatur dirinya mengikuti ketentuan itu. Bahkan ada masjid yang menerapkan absensi untuk jamaahnya yang mengikuti salat.
Tujuannya agar orang-orang yang mengikuti shalat terkendali. Orang-orang yang berasal dari luar daerah misalnya musafir, diberikan tempat tersendiri. MUI Jawa Timur telah melakukan survei terkait dengan hal ini.
Upaya yang dilakukan masyarakat dalam mengatur kegiatan ibadah di masjid dan mushalla sampai saat ini cukup efektif dalam mencegah menyebaran Covid-19. Sampai saat ini belum terdengar adanya klaster dari masjid atau mushalla.
Beberapa kasus di Jawa Timur mulai yang pertama adalah kasus pertemuan di Bogor, lalu ada kasus-kasus lain seperti kasus kegiatan di asrama haji, kasus Sampoerna, dan sebagainya, bukanlah klaster ibadah di masjid.
Di Sidoarjo sempat dilakukan rapid test terhadap jamaah masjid, hasilnya ada beberapa jamaah yang reaktif, namun setelah dilakukan uji swab, hasilnya negatif.
Sekarang mulai ada klaster pasar, hal ini karena kondisi di pasar cukup longgar. Ini tentunya yang menjadi catatan kita. Banyak yang kemudian membela pasar, karena pasar adalah tempat mencari nafkah sehingga tidak memungkinkan ditutup. Sebenarnya memang pasar buka pun tidak masalah jika para pengunjung dan pedagangnya bisa mengatur diri tidak berjubel, semua menggunakan masker, disediakan tempat cuci tangan di banyak tempat, dan terus diberi anjuran untuk mencuci tangan.
Jika di rumah ibadah sudah bisa ditegakkan disiplin, tidak akan efektif dalam upaya pengendalian Covid-19 jika di tempat kerumunan yang lain tidak ditegakkan disiplin.
Kini umat Islam akan merayakan Idulfitri, yang di dalamnya ada kegiatan ibadah salat Idulfitri. Maka MUI terus mewanti-wanti, agar para panitia penyelenggara dan para jamaahnya patuh dan disiplin mematuhi protokol pencegahan covid-19.
MUI Jawa Timur juga menyarankan agar penyelenggaraan ibadah salat idulfitri dipecah di beberapa tempat sehingga bisa mengurangi konsentrasi massa yang banyak di suatu tempat.
Kita sangat berharap, pasca Idulfitri tidak ada temuan klaster masjid. Sekali lagi mari kita berdisiplin. Berjamaah tetap bisa kita lakukan, salat dengan membaca ayat yang pendek, khutbah tidak panjang, dan semua jamaah yang hadir patuh, dengan membawa masker, mencuci tangan menggunakan sabun, serta menggunakan sajadah sendiri.