Suaramuslim.net – Setiap hari manusia beramal. Sejak bangun tidur sampai tidur lagi. Karena secara bahasa, amal bermakna berbuat atau bekerja. Baik yang bersifat ritual maupun di luar itu semua. Khusus ritual, amal akan diterima Allah jika niat ikhlas karena Allah semata dan ikut cara Nabi Muhammad SAW. Inilah syarat diterimanya amal ibadah. Waspadai jika ada amal ibadah kita ada yang cacat. Bisa karena cacat niatnya atau ada cacat pada caranya. Seperti produk cacat yang tak layak jual, bisa jadi amal kita ada cacatnya.
Jika amal nonritual namun tetap diniatkan mencari ridha Allah dan tidak melanggar aturan agama, maka semua itu juga dinilai sebagai ibadah. Seperti bekerja mencari nafkah, menimba ilmu, bersekolah, mengurus keluarga, membantu masyarakat,dsb. Tak hanya amal anggota badan ataupun juga amalan pancaindera, amal atau aktivitas hati dan pikiran pun bisa dianggap sebagai amal ibadah.
Kata ibadah –menurut para ulama- adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Subhannahu wa Ta’ala, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang batin. Karena itu, semua aspek dalam diri manusia bisa dinilai amal ibadah jika dicintai serta diridhai Allah.
Amilatun Nashibah. Artinya “Amal-amal yang hanya melelahkan.” Ini adalah ayat ke-3 surah Al-Ghosyiyah, rangkaian ayat di awal surah ini bercerita tentang neraka dan para penghuninya.
Ternyata salah satu penyebab orang dimasukan ke neraka adalah sebab amalan yang banyak dan beragam, tapi penuh cacat, baik motif dan niatnya, maupun kaifiyat/cara yang tidak sesuai dengan sunnah Rasulullah Muhammad saw. Astaghfirullah al’adzhim. Menurut riwayat, Umar bin Khattab sering menangis saat mendengar ayat ini.
Alkisah suatu hari Atha As-Salami, seorang tokoh tabi’in bermaksud menjual kain yang telah ditenunnya kepada penjual kain di pasar. Setelah diamati dan diteliti secara seksama oleh sang penjual kain, sang penjual kain mengatakan, “Wahai Atha, sesungguhnya kain yang kau tenun ini cukup bagus. Tetapi sayang ada cacatnya, sehingga saya tidak dapat membelinya.”
Begitu mendengar bahwa kain yang telah ditenunnya ada cacat, Atha termenung, lalu menangis. Melihat Atha menangis, sang pedagang kain berkata, “Atha sahabatku, aku mengatakan dengan sebenarnya, memang kainmu ada cacatnya. Jadi aku tidak dapat membelinya. Kalaulah karena sebab itu engkau menangis, maka biarkanlah aku tetap membeli kainmu dan membayarnya dengan harga yang pas.”
Tawaran itu dijawab Atha, “Wahai sahabatku, engkau menyangka aku menangis disebabkan karena kainku ada cacatnya? Ketahuilah, sesungguhnya yang menyebabkan aku menangis bukan karena kain itu. Aku menangis disebabkan karena aku menyangka, bahwa kain yang telah kubuat selama berbulan-bulan ini tidak ada cacatnya. Tetapi di mata engkau sebagai ahlinya ternyata ada cacatnya.”
“Begitulah aku menangis kepada Allah,” lanjut Atha, “Dikarenakan aku menyangka, bahwa ibadah yang telah aku lakukan selama bertahun-tahun ini tidak ada cacatnya. Tetapi barang kali di mata Allah, sebagai (Zat Maha) ahli amalku tadi ada cacatnya. Itulah yang menyebabkan aku menangis.”
Semoga kita menyadari sedini mungkin tentang amal yang kita lakukan, apakah sudah sesuai ataukah tidak. Hanya dengan ilmulah kita akan mengetahui, di mana letak kekurangan amal kita. Maka bukan hanya dengan beramal sebanyak-banyaknya, tapi juga beramal dengan sebenar-benarnya.