Shalat Jamaah Based Management: Tentang Wanita

Shalat Jamaah Based Management: Tentang Wanita

Suaramuslim.net – Bagian ini membuka isu yang cukup sensitif bagi wanita, karena akan berkaitan dengan gerakan feminisme dan emansipasi wanita. Namun penulis mengajak para pembaca terbuka untuk membuka ide sensitif ini dan melihat keindahan ‘perlindungan’ yang dimunculkan bagi wanita.

Pada dasarnya tidak ada pilihan lain bagi pria untuk bersosialisasi dan berinteraksi dengan pihak lain/eksternal. Bermuamalah menjadi kewajiban yang harus dilakukan. Namun bagi wanita, terdapat kemungkinan lain sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Al Hakim serta Imam Muslim di bawah ini.

“Jangan kamu melarang para wanita (shalat) di masjid, namun rumah mereka sebenarnya lebih baik untuk mereka.” (HR Abu Daud dan Al Hakim).

Hadits riwayat dari Ibnu Umar radhiallahu anhu : “Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda: ‘Jika istri salah seorang dari kalian minta izin pergi ke masjid, maka janganlah mencegahnya’.” (HR Muslim)

Keutamaan shalat di rumah bahkan berlaku untuk istri Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Tabhrani di bawah ini.

Hadits riwayat dari Ummu Humaid as-Sa’diah menghadap Rasulullah saw. dan berkata, “Ya Rasulullah, Saya ingin sekali shalat bersamamu.” Maka jawab Rasulullah saw: “Saya tahu. Tetapi shalatmu di kamarmu lebih baik daripada shalatmu di masjid kaummu, dan shalat di masjid kaummu lebih baik daripada shalat berjama’ahmu di masjid umum.” (HR Ahmad dan Tabhrani)

Wanita lebih diutamakan menjadi pengelola di internal rumah tangganya dibanding urusan eksternal. Wanita tidak dianjurkan untuk menangani urusan lapangan, walaupun juga tidak dilarang. Wanita diperbolehkan melakukan sosialisasi dan berorganisasi di luar rumah. Apalagi di wilayah dan era yang keamanan wanitanya dapat dikatakan aman, maka tidak ada alasan untuk tidak melakukan aktivitas di luar rumah. Apalagi bila ternyata pria di rumahnya tidak memiliki kompetensi memadai untuk melakukan aktivitas eksternal. Namun sekali lagi, bahwa pahala yang didapatkan wanita sangat banyak sekali di lingkungan rumahnya, tanpa harus keluar rumah. Di era internetisasi dan digitalisasi saat ini, wanita bahkan dapat dapat lebih produktif di lingkungan rumahnya.

Secara khusus, ketidakwajiban wanita tampak dalam hadits yang berkaitan dengan shalat Jum’at yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud berikut ini.

Hadits riwayat dari Thariq Ibnu Syihab ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Shalat Jum’at itu hak yang wajib bagi setiap muslim dengan berjama’ah kecuali empat orang, yaitu: budak, wanita, anak kecil, dan orang yang sakit.” (HR. Abu Daud)

Ketika bergabung dalam shalat jama’ah pun, posisi wanita diharapkan tidak terlalu menonjol sebagaimana diisyaratkan pada hadits berikut.

“Sebaik-baik shaf (barisan) laki-laki adalah yang paling depan dan yang terburuk ialah barisan paling akhir. Namun seburuk-buruk barisan wanita adalah yang paling depan dan yang terbaik ialah yang paling belakang.” (HR Muslim)

Hadits riwayat dari Abu Hurairah ra., Nabi saw. berkata: “Jangan kamu larang para hamba-hamba Allah yang wanita untuk memasuki masjid Allah, dan hendaklah mereka keluar tanpa memakai wewangian.” (HR Ahmad dan Abu Daud)

Wanita walaupun tidak dilarang untuk berjemaah di masjid, namun lebih diutamakan di rumah. Demikian pula posisi dalam shalat jama’ah. Hal ini mengisyaratkan bahwa bersosialisasi tidaklah menjadi keharusan bagi wanita, termasuk dalam mencari mata pencaharian. Wanita tetap diperbolehkan untuk berinteraksi selama lingkungan mendukung, namun Islam lebih mengutamakan apabila para wanita menahan diri dari menonjolkan diri dalam berorganisasi yang dalam organisasi tersebut berkumpul pria dan wanita secara bebas. Dan lebih jauh, bahkan wanita tidak diharuskan menanggung beban sebagai imam terutama dalam organisasi yang heterogen. Namun sangat terbuka apabila organisasi hanya terdiri dari para wanita.

“Perempuan janganlah dijadikan imam, sedangkan makmumnya laki-laki.” (HR Ibnu Majah)

Anjuran kuat tersebut pada dasarnya untuk kebaikan wanita sendiri, walaupun dari hasil riset wanita lebih baik dalam menjadi pemimpin (Robbins, 2001). Wanita sering dihadapkan pada tanggung jawab ganda (multi-tasking), yakni tanggung jawab sebagai pemimpin di organisasi dan tanggung jawab dalam mengelola rumah tangga yang seringkali menyulitkannya dalam membuat pilihan/pengambilan keputusan. Wanita seringkali mengalami konflik batin yang kuat yang berkaitan dengan posisinya di rumah dan tempat kerja. Hal ini yang membangun adanya konsep work-family conflict dan family-work conflict. Mana yang harus didahulukan antara kepentingan rumah atau kantor, akan lebih memberi tekanan bagi wanita yang memang lebih memiliki sifat pengasuh (nurturing). Pria lebih tidak memiliki tekanan dalam permasalahan ini.

Di sisi lain, wanita dalam persaingan untuk dipromosikan seringkali menghadapi adanya penolakan dari lingkungannya (glassceiling). Hal ini karena ranah persaingan secara fitrahnya adalah berada di ranah pria yang maskulin dan agresif. Adapun fitrah wanita adalah lebih ke nurturing dan tidak aktif melakukan persaingan. Hal ini disampaikan oleh Carol Gilligan (Muuss, 1988), Females value interpersonal connectedness, care, sensitivity, and responsibility to people.”

Hal ini tentu akan berbeda, manakala, si wanita tidak memiliki tanggungan lagi di rumah. Sehingga konflik kepentingan tidak lagi terjadi. Namun, ketika ia masuk ke dunia persaingan di lingkungan kerja, ia akan sedikit mengubah fitrah dirinya menjadi lebih maskulin, mengingat ia berada di ranah agresivitas pria. Hal ini ditulis oleh Brooks (2014) dari sebuah riset yang dipublikasikan di harian bisnis.

Women who want to work in jobs typically held by men need to show employers they have what it takes to act like the guys, new researcher shows.When applying for jobs in male-dominated fields, women have a better chance of getting hired when they play up their masculine qualities, according to a Michigan State University study. In a laboratory experiment, women who described themselves using traits traditionally associated with masculinity were evaluated as better fits for the job than those who emphasized traits often considered feminine. The male-associated traits included assertiveness, independence and being achievement oriented, while female-like traits included warmth, supportiveness and a nurturing nature.“We found that ‘manning up’ seemed to be an effective strategy, because it was seen as necessary for the job,” Ann Marie Ryan, a co-author of the study and a Michigan State professor of psychology”

Dengan demikian, ajaran shalat jama’ah menjadikan perlindungan kepada wanita untuk berada pada fitrah indahnya. Bukan membatasi yang tanpa alasan ilmiah.

Penulis: Dr. Gancar C. Premananto*

*Koordinator Program Studi Magister Manajemen FEB Universitas Airlangga Surabaya

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment