Suaramuslim.net – Pertama saya perlu jelaskan kedudukan saya dalam tulisan ini, bahwa saya bukan Pakar Hukum Tata Negara, saya juga bukan ahlinya, saya hanya praktisi hukum biasa yang mencoba memberikan argumentasi terhadap Putusan MK No. 46/PUU-XIV/2016 yang banyak menyakiti sendi perasaan masyarakat Indonesia.
Sebenarnya, dalam Putusan MK No. 46/PUU-XIV/2016 pada pokoknya Mahkamah berpendapat sama dengan Pemohon diperlukan perluasan dalam memaknai arti zina dalam KUHP; bukan hanya soal terikat perkawinan atau tidak, makna pemerkosaan bukan hanya dengan korban perempuan tapi juga bisa pria, serta perbuatan cabul bukan saja yang dilakukan pada anak-anak (belum dewasa) tapi bermakna perbuatan cabul sesama jenis baik dewasa maupun anak-anak, dan Mahkamah juga sepakat untuk dilakukan pembaruan norma zina dalam KUHP, namun Mahkamah berpendapat sebagai negative legislator hanya bertugas melakukan pengujian UU terhadap UUD 1945 (konstitusi), dengan kata lain hal itu merupakan domain Positive Legislator (DPR).
Untuk orang awam MK dianggap melegalkan ZINA dan LGBT, dan hal tersebut dibantah oleh Mantan Ketua MK Mahfud MD yang berpendapat: “Yang kurang paham, menuding MK membuat vonis membolehkan Zina dan LGBT. Yang benar MK hanya menolak memberi perluasan tafsir atas yang ada di KUHP, bukan membolehkan atau melarang. MK memang tak boleh membuat norma. Larangan zina dan LGBT bisa dilarang di dalam UU. Dan itu skrng sudah ada di RUU KUHP,”
Tapi pendapat orang awam tersebut itu tidak sepenuhnya salah, mari kita uji keilmuan bersama secara empiris yuridis sebagai berikut:
1. Bahwa mengenai pengkualifikasian putusan yang dikabulkan MK, berdasarkan model-model putusan sebagai berikut:
– Model Putusan Yang Secara Hukum Membatalkan dan Menyatakan Tidak Berlaku (Legally Null And Void)
– Model Putusan Konstitusional Bersyarat (Conditionally Constitutional)
– Model Putusan Inkonstitusional Bersyarat (Conditionally Unconstitutional)
– Model Putusan Yang Pemberlakuannya Ditunda (limited constitutional)
– Model Putusan Yang Merumuskan Norma Baru
2. Bahwa untuk mengetahui kualifikasi model-model putusan di atas ada dan benar adanya, kita perlu melihat sejarah putusan MK itu sendiri, dan dalam hal ini sesuai dengan judul “Siapa Bilang MK Tidak dapat Membuat Norma Baru dalam Kasus Pengujian Norma Zina dalam KUHP Terhadap UUD 1945?” maka kita fokus dengan model putusan yang merumuskan norma baru, inilah putusan-putusan MK yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk sampai dengan tahun 2012 yang membuat atau merumuskan norma baru sebanyak 5 putusan, yakni:
*Putusan Nomor 5/PUU-V/2007 ihwal calon perseorangan dalam pilkada
*Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009 bertanggal 6 Juli 2009 mengenai penggunaan KPT dan Paspor dalam Pemilu
*Putusan Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009 bertanggal 7 Agustus 2009 tentang perhitungan tahap kedua untuk penetapan perolehan kursi DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota bagi Parpol peserta pemilu
*Putusan Nomor 11/PUU-VIII/2010 bertanggal 18 Maret 2010 perihal proses pemilihan anggota Panwaslu Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Provinsi dan Kabupaten/Kota
*Putusan Nomor 34/PUU-X/2012 bertanggal 25 September 2012 batas usia pensiun jenjang jabatan fungsional kepaniteraan MK.
(Sumber: Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang (studi putusan tahun 2003-2012))
Dari awal saya tekankan, saya tidak mau berbicara asumsi, tapi inilah fakta yuridis bahwa MK dalam putusannya bisa membuat norma baru.
Sedangkan untuk membantah pendapat Mahfud MD di atas yang berbunyi “Yang kurang paham, menuding MK membuat vonis membolehkan Zina dan LGBT. Yang benar MK hanya menolak memberi perluasan tafsir atas yang ada di KUHP, bukan membolehkan atau melarang. MK memang tidak boleh membuat norma. Larangan zina dan LGBT bisa dilarang di dalam UU. Dan itu sekarang sudah ada di RUU KUHP,” perlu dihadapkan dengan pernyataan Mahfud MD sendiri yang pernah mengatakan sebagaimana dikutip dalam buku yang ditulis Abdul Latif, dkk, dengan judul Buku Ajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (Yogyakarta, Total Media, 2009, hal. xi), berbunyi:
“MK boleh saja membuat putusan yang tidak ada panduannnya di dalam hukum acara, bahkan secara ekstrem bisa keluar dari undang-undang apabila undang-undang itu tidak memberikan rasa keadilan”
Clear, maka sebenarnya pendapat Mahkamah di dalam Putusan MK No. 46/PUU-XIV/2016 tidak beralasan untuk menolak permohonan pemohon, karena jika memang Mahkamah sependapat dengan pemohon seharusnya bisa membuat model putusan dengan membuat rumusan norma baru.
Dan fakta empiris yuridis ini juga membenarkan sebagaian besar perasaan masyarakat Indonesia yang menyatakan “MK melegalkan ZINA dan LGBT” karena MK memiliki kewenangan untuk membuat norma baru terhadap norma zina dalam KUHP yang dimohonkan Pemohon.
Jakarta, 17-12-2017
Oleh: Ikhsan Setiawan, S.H.