SKB 11 Menteri dan Halusinasi Rezim

SKB 11 Menteri dan Halusinasi Rezim

SKB 11 Menteri dan Halusinasi Rezim
Aparatur Sipil Negara. (Foto: menpan.go.id)

Suaramuslim.net – Terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) dari 11 instansi atau sering disebut SKB 11 Menteri tentang penanganan radikalisme pada Aparatur Sipil Negara (ASN) semakin mengukuhkan adanya kekhawatiran negara terhadap bahaya yang mengancam kekuasaannya. Kalau selama ini ancaman radikalisme diopinikan berasal dari luar benteng kekuasaannya, maka saat ini rezim berhalusinasi bahwa ancaman itu berasal dari dalam.

ASN bisa dikatakan sebagai potensi terbesar negara untuk ikut membantu menyelesaikan persoalan bangsa, termasuk melahirkan tatanan adil yang menyejahterakan masyarakat, tetapi mereka justru dianggap sebagai ancaman yang harus diwaspadai. Semestinya ASN didorong meningkatkan kinerja untuk membuktikan janji-janji presiden saat kampanye. Bukannya ajakan persuasif, tetapi justru memandang ASN sebagai ancaman yang harus diwaspadai.

Cara pandang demikian ini bukan menggandeng tetapi justru membelah potensi positif ASN sehingga kontraproduktif dalam membantu menyelesaikan persoalan negara.

ASN dan Kekerasan Simbolik

Sebagaimana diketahui bahwa pemerintah menerbitkan SKB tertanggal 12 November 2019 untuk menangani radikalisme di kalangan ASN. Setidaknya ada 11 instansi terkait ikut terlibat dalam menangkal radikalisme di kalangan abdi negara.

6 kementerian yang ikut adalah Menpan dan Reformasi Birokrasi – Tjahjo Kumolo, Mendagri – Tito Karnavian, Menkumham  dan HAM – Yasonna Laoly, Menteri Agama – Fachrul Razi, Mendikbud – Nadiem Anwar Makarim, dan Menteri Komunikasi dan Informatika – Johnny G. Plate. Sementara 5 instansi lain di antaranya Kepala BIN – Budi Gunawan, Kepala BNPT – Suhardi Alius, Kepala Badan Kepegawaian Negara – Bima Haria Wibisana, Pelaksana Tugas Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) – Hariyono, dan Ketua Komisi ASN – Agus Pramusinto.

Setidaknya ada 11 kriteria yang masuk jenis pelanggaran, sehingga harus dijauhi oleh ASN. Kriteria pelanggaran itu adalah;

(1) Menyampaikan pendapat baik lisan maupun tertulis melalui media sosial yang bermuatan kebencian terhadap Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah

(2) Menyampaikan pendapat baik lisan maupun tertulis melalui media sosial yang bermuatan kebencian terhadap salah satu suku, agama, ras, dan antar-golongan

(3) Menyebarluaskan pendapat bermuatan ujaran kebencian sebagaimana angka 1 dan 2 melalui media sosial (share, broadcast, upload, retweet, reposting instagram, dan sejenisnya)

(4) Membuat pemberitaan menyesatkan atau tidak dapat dipertanggungjawabkan

(5) Menyebarluaskan pemberitaan yang menyesatkan baik secara langsung maupun melalui media sosial

(6) Mengadakan kegiatan yang mengarah pada perbuatan menghina, menghasut, memprovokasi, dan membenci Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tnggal Ika, NKRI, dan pemerintah

(7) Mengikuti atau menghadiri kegiatan yang mengarah pada perbuatan menghina, menghasut, memprovokasi dan membenci Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah

(8) Menanggapi atau mendukung sebagai tanda setuju pendapat sebagaimana angka 1 dan 2 dengan memberikan likes, dislikes, love, retweet, atau comment di media sosial

(9) Menggunakan atribut yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah

(10) Melakukan pelecehan terhadap simbol-simbol negara baik secara langsung maupun melalui media sosial

(11) Perbuatan sebagaimana dimaksud pada poin 1 sampai 10 dilakukan secara sadar oleh ASN.

Butir-butir yang dirumuskan dalam SKB 11 instansi itu menunjukkan bahwa pemerintah benar-benar memandang radikalisme sebagai ancaman, sehingga harus all out dalam mencegahnya. Melihat deskripsi sejumlah larangan itu bisa jadi masukan dan kritik dari ASN dianggap sebagai ujaran kebencian.

Dalam konteks inilah, rancu untuk membedakan antara kritik dan ujaran kebencian, sehingga menjadi celah bagi pihak-pihak yang berbeda pandangan. Terlebih lagi, rezim ini dikenal dengan berbagai kebijakan yang mencurigai orang-orang kritis, dan dianggap sebagai ancaman terhadap kekuasaannya. SKB ini bisa dikatakan sebagai bentuk kekerasan simbolik, dan berpotensi besar mengancam ASN yang kritis. Dengan kata lain, pandangan kritis dan konstruktif ini bisa ditafsirkan sebagai bentuk ujaran kebencian, sehingga bisa dikenakan pasal untuk diadili.

Pentingnya Kebijakan Merangkul 

Apa yang termaktub dalam butir-butir SKB 11 instansi itu berpotensi besar dimanfaatkan untuk menyingkirkan ASN yang kritis. Kebijakan itu lebih banyak bersifat ancaman dengan dalih membendung bahaya radikalisme. Sebagai abdi negara seharusya mudah diarahkan untuk membangun dan mewujudkan cita-cita negara sebagaimana yang dikampanyekan rezim ini saat Pemilu. Seiring dengan berbagai kebijakan rezim yang kurang memberi harapan positif bagi masyarakat luas, tidak sedikit para ASN yang bersifat kritis dan ingin meluruskan kinerja pemerintah.

Kalau selama kampanye, rezim ini banyak memanfaatkan instansi, tempat ASN bekerja, untuk memenangkan Pemilu, maka saat ini ASN dibungkam untuk tidak bersuara kritis. Suara kritis para ASN tidak lepas dari kebijakan yang tidak banyak memenuhi rasa keadilan masyarakat. Sebelum suara kritis para ASN mengemuka dan membesar, maka rezim ini perlu membentengi dengan dengan SKB 11 instansi ini.

Dengan adanya SKB ini menunjukkan penghalalan rezim menggunakan kekerasan simbolik terhadap ASN. Alih-alih menyelesaikan persoalan bangsa, para ASN justru dibuat tak nyaman dan tercipta kekhawatiran baru bila bersikap kritis. Karena bersikap kritis bisa dibelokkan menjadi ujaran kebencian. Pendekatan dengan kekerasan simbolik ini semakin menguatkan pandangan masyarakat bahwa rezim ini tidak akan menyelesaikan persoalan bangsa, tetapi justru menambah daftar persoalan.

Selayaknya ASN diberi ruang untuk ikut menyelesaikan persoalan dengan kinerja yang produktif dan mendorong mereka untuk bekerja maksimal mewujudkan janji-janji kampanye.

Sekali lagi bahwa isu radikalisme tidak lebih sebagai sindrom kekuaan. Hal ini untuk membungkam orang-orang kritis yang berupaya meluruskan kebijakan yang telah dibelokkan sesuai dengan kepentingan sesaat. SKB ini bisa menjadi alat yang efektif untuk membungkam para ASN yang kritis, namun tidak menutup kemungkinan akan melahirkan para ASN yang semakin tajam daya kritisnya karena melihat berbagai kebijakan yang terus membelah masyarakat dan tidak produktif dalam menciptakan keadilan dan kesejahteraan sosial.

Surabaya, 9 Desember 2019

Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment