Soerabaia Tempo Doeloe “Dogcart“ (2)

Soerabaia Tempo Doeloe “Dogcart“ (2)

dogcart

Lanjutan Artikel dari “Soerabaia Tempo Doeloe “Dogcart“ (1)”

Suaramuslim.net – Masih membahas tentang sarana transportasi di Surabaya tempo doeloe yang patut untuk diketahui oleh warga kota Surabaya, khususnya generasi zaman sekarang.

Alhamdulillah, dokumen pribadi kami yang tersimpan 17 tahun silam, yaitu koleksi Dukut Imam Widodo yang telah dimuat di Radar Surabaya, edisi Rabu, 11 Juli 2001, ditambah dengan penelusuran kami ke berbagai pihak menjadi rujukan dalam memaparkan kembali salah satu cerita rakyat yang kaitannya dengan transportasi Surabaya tempo doeloe.

“Hasil transportation study tentang dowone embong Suroboyo, benar-benar membuat dokar tersingkir. Bahkan pada tahun 1980, jumlahnya tinggal 25 buah. Berikut lanjutan cerita tentang dokar di Soerabaia tempo doeloe“

Ada sebagian orang yang menyebut dokar dengan sebutan delman. Tentunya memori kecil kita langsung ingat dengan sebuah lagu yang cukup terkenal pada masa dulu sampai sekarang. Lagu yang dimaksud berjudul “Naik Delman“. Berikut ini adalah sebagian lirik dari lagu tersebut.

Pada hari Minggu ku turut ayah ke kota,
Naik delman istimewa ku duduk di muka,
Ku duduk samping Pak Kusir yang sedang bekerja,
Mengendali kuda supaya baik jalannya,

Di masa kecil, pernahkan Anda naik dokar atau delman dimana Anda duduk di samping kiri Pak Kusir? Asyik kan? Apalagi kalau angin semilir mengelus-elus lembut wajah Anda. Ditambah lagi dengan suara ladam kuda yang beradu dengan kerasnya jalan.

Thuk…Thik…Thak…Thik…Thuk…, Telah menimbulkan irama tersendiri yang membuat para penumpang dokar itu theklak-theklok…ngantuk!

Akan tetapi sekonyong-konyong “Bruut!” Si kuda ngentut! Jabang bayi, baunya itu lho yang nggak ketulungan, luar biasa! Tentu saja penumpang yang duduk di sebelah kiri kusir misuh-misuh. Sebab ia yang menerima semburan langsung dari pantat kuda! Sementara Pak Kusirnya hanya ketawa sambil cengar-cengir, cengengesan.

Sebagai manusia yang memperkuda binatang yang bernama kuda, maka sudah selayaknya kalau para kusir itu mengerti dan paham bahasa kuda. Hal itu dimaksudkan agar dalam menjalankan dokar sebagai salah satu transportasi tempo doeloe dapat berjalan dengan lancar.

Pernahkah Anda perhatikan, bagaimana bibir kusir dokar itu mecucu-mecucu, seraya mengeluarkan bunyi : “ Ck…ck…ck…”. Belum lagi ia bilang “ Her…yaak…her…yaak!!” atau “ kr…kr…kr… itu semua adalah bahasa kuda yang wajib dipelajari oleh para kusir dokar. Pernahkan Anda mendengar, orang bilang “jaran larat?”. Untuk diketahui, tempo doeloe jumlah dokar di Soerabaia itu sudah mencapai ribuan. Dimana-mana kita melihat dokar dengan baunya yang khas!

Pada suatu hari, ada sebuah dokar yang ngemot mlijo (memuat penjual sayur), dari Pasar Blaoeran. Tiba-tiba di tengah jalan, kuda penariknya marah besar! Ia tidak mau menuruti kehendak si kusir. Walaupun pak kusir sudah menarik tali kendalinya, tetapi si kuda tetap saja mberoot! Si kuda lari sekencang-kencangnya. Ia sama sekali tidak peduli, walaupun kusirnya sudah berteriak-teriak pakai bahasa kuda, tetapi binatang itu tidak peduli. Melihat hal itu para penumpangnya ketakutan dan berteriak, agar pak kusirnya segera menghentikan kudanya. Tetap kudanya lari semakin kencang dan tidak menghiraukan teriakan penumpang tadi. Dalam keadaan seperti ini, orang-orang di pinggir jalan biasanya akan berteriak kencang “awas onok jaran laraat!!“ dan memilih menepi, agar tidak ditabrak kuda yang sedang ngamuk.

Lantas kapan kuda yang tengah out of control itu mau berhenti? Biasanya kalau sudah nabrak sesuatu, dimana-mana kudanya sendiri terpental. Dokarnya hancur berkeping-keping. Roda-rodanya lepas dari asnya. Dan para penumpangnya bergelimpangan di jalan. Kasihan…

Cerita di atas merupakan sebagian kecil dari cerita penumpang dokar tempo doeloe. Tentunya masih banyak cerita menarik lainnya. Misalnya dahulu di kawasan Ampel Surabaya banyak lalu lalang dokar di sepanjang Nyamplungan dan KHM Mansyur, dan juga terdapat kandang/gudang kuda.

Sekitar tahun 70-an, saat kami berumur 10 tahun bersama-sama teman kampung sering melihat kuda di kandang kuda yang terletak di Jl. Sidodadi 189 pojok (depannya sekolah Taswirul Afkar). Dahulu ketika sore hari setelah pak kusir selesai bekerja, dokarnya diparkir di dalam kandang tersebut. Tempat kandang kuda di Sidodadi itu dulu dikenal dengan “Jl. Digul”. Jumlah kuda yang ada di kandang sekitar 15 ekor. Kandang kuda itu terdapat tiga lorong. Masing-masing lorong terdapat sekitar 5 ekor kuda. Selain kuda diberi makan dan minum, secara berkala kuda juga perlu dimandikan. Hal ini dimaksudkan agar kebersihan dan kesehatan kuda terjamin.

Selain itu, kami juga sering melihat kuda yang ada di Jl. Pegirian 144 sebelah Jl. Kertopaten II Surabaya. Kuda yang ada di Pegirian 144, termasuk kuda Mongolia yang ganteng, tinggi dan kekar badannya. Kuda tersebut milik warga negara Belanda. Kuda tersebut terdapat di rumah yang memiliki kolam dan halaman yang luas. Kami hanya dapat melihatnya melalui pagar pembatas, tidak boleh masuk. Jumlah kudanya ada dua ekor. Kelihatannya termasuk kuda piaraan.

Di Kalimas Madya IV, bagian dalam (menghadap Kalimas) ada banyak gudang jaran. Dinamakan gudang jaran, karena banyak gudang yang ada disana. Gudang itu merupakan tempat pemeliharaan sekaligus berfungsi sebagai pasar jaran.

Melihat kuda, merupakan hiburan yang sangat menyenangkan. Maklum saat itu belum banyak hiburan seperti sekarang ini dan kebetulan rumah kami dengan kandang kuda yang di Jl. Digul tidak jauh, hanya sekitar 500 meter tepatnya di Nyamplungan VIII Surabaya. Jadi melihat dan memberi makan kuda merupakan hiburan yang menyenangkan.

Itulah sekelumit cerita dokar tempo doeloe. Sayangnya, sekarang ini, kita tidak dapat lagi melihat dokar berlalu-lalang di jalan raya. Untuk itu ada beberapa hal yang harus diperhatikan, khususnya oleh pemerintah kota selaku pembuat kebijakan, yaitu :

Hal yang berbau tradisional, justru dapat menjadi daya tarik khususnya bagi wisatawan yang ingin mengunjungi suatu kota. Oleh karena itu, Pemerintah Kota harus jeli dalam mengambil keputusan dan jangan begitu gampang menghilangkan yang tradisional (dokar).

Perlu kawasan/zona khusus dokar boleh melintas. Dan itu harus dikoneksikan dengan obyek wisata yang ada. Jadi pengunjung akan mendapatkan layanan dengan baik.

Mari kita cintai kota kita, salah satunya dengan jalan ikut memelihara dan melestarikan hal-hal yang bernilai sejarah dan turut menjadi saksi dari dinamika perkembangan kota Surabaya tercinta. Semoga kota Surabaya menjadi kota yang ramah akan hal-hal yang berbau tradisional dan memiliki sejarah panjang.

Penulis: Washil Bahalwan*
Editor: Oki Aryono

*Pemerhati sosial

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment