Lanjutan Artikel dari “Soerabaia Tempo Doeloe “Penjara Kalisosok“ (1)”
Suaramuslim.net – Untuk hukuman mati tempo doeloe, dilaksanakan dengan cara memenggal leher si terhukum dengan pisau “guillotine”, dengan alasan untuk memperlembut proses lepasnya nyawa si napi. Tetapi cara ini sudah kuno, dan lama-lama ditinggalkan juga.
Akhirnya pelaksanaan hukuman mati dilaksanakan dengan cara menggantung si napi sampai mati. Sebab cara ini (menggantung) adalah cara terbaik dan lebih manusiawi. Untuk pekerjaan yang satu ini “de Beul”, si algojo adalah orang-orang dari Afrika yang berkulit hitam dan berbadan kekar. Sedang orang pribumi tidak ada yang mau jadi algojo.
Tidak semua penghuni Kalisosok adalah anak negeri. Napi bangsa asing ada juga yang pernah menjadi penghuninya. Hukum “siapa yang kuat, dialah yang menang” juga berlaku di penjara itu. Karena itu napi yang jagoan akan menjadi pelindung bagi napi yang tergolong kaya raya.
Napi yang kaya pun malah bisa menggaji para sipir. Dengan bayaran tertentu, para napi kaya ini bisa tinggal di “cipierswoningen” (barak sipir). Atau jalan-jalan sebentar di pesisir sepanjang Kalimas dekat Pelabuhan Odjoeng. Praktik suap menyuap semacam ini sudah menjadi rahasia umum sejak dulu.
“Waterkasteel” atau istana air adalah sel khusus bagi napi tertentu. Sel itu biasa saja, namun yang membedakannya dengan sel lain karena lantai “waterkasteel” sengaja digenangi air dan diberi ratusan lintah!
“Vermaken”, arti harfiahnya dalam bahasa Belanda adalah mengubah. Seperti yang kita lihat di plaza-plaza, apalagi di dekat toko jeans terdapat orang yang menjual “Vermak Celana Jean”. Akan tetapi di Kalisosok Tempo Doeloe, sangat lain artinya. Bila ada napi baru dan suka berlagak, maka sudah dapat dipastikan ia akan di-vermak (dihajar) habis-habisan oleh napi yang lain.
Puskesmas tempo doeloe disebut “Standsverband”. Bagian ini dikepalai oleh “ziekenvader” atau perawat utama. Ia dibantu oleh “praktizijn” semacam perawat serta ahli pengobatan yang disebut “medicus”. Mereka semuanya bukanlah ahli dalam bidangnya, jadi asal comot saja.
Begitu jam menunjukkan angka 8, “ziekenvader” disertai “praktizijn” serta “medicus” mendatangi sel-sel tertentu saja. Para napi sudah berdiri berjajar-jajar dibalik terali besi sambil menjulurkan lidahnya.
Jika si napi menjulurkan lidahnya kurang panjang, maka “ziekenvader” itu tidak segan-segan membetot lidah itu keluar. Dengan tongkat kecilnya, “ziekenvader” membola-balik lidah itu, sebelum menentukan diagnosa. Si “medicus” menulis dalam batu tulis (sabak), nama si napi berikut penyakitnya, serta obat apa yang pas untuknya.
Sementara si “praktizijn” manggut-manggut seolah membenarkan segala ucapan yang meluncur dari mulut “ziekenvader”. Lantas muncullah sindiran “ziekenvader” itu hebat. Hanya dengan membolak-balikan lidah saja ia sudah bisa menentukan penyakit si napi. Yang paling konyol adalah sindiran seperti ini “tolong dilihat, apakah lidahnya masih ada?”
Apabila sel-sel bertirai besi, rantai-rantai yang melilit kaki mereka, serta tembok-tembok kekar itu semua bisa berbicara, tentu jutaan kisah mengharukan akan terpapar dari Kalisosok. Sayang benda-benda itu tak lebih saksi-saksi bisu belaka.
Dari cerita tentang penjara Kalisosok, banyak hal yang dapat dijadikan pelajaran bagi kita generasi muda bangsa. Yaitu:
Keadilan dari dulu sampai sekarang, masih menjadi milik mereka yang bermodal. Dengan modal yang dimiliki, mereka (pemodal) dapat membeli keadilan dan kebenaran.
Sisi negatif dari penjara adalah bukan menghentikan kejahatan, tetapi secara tidak langsung menjadi tempat meningkatkan skil kejahatan. Itu terjadi karena penjara tidak menjalankan fungsinya dengan baik dan benar.
Dalam urusan kesehatan, Penjara Kalisosok tempo doeloe di zaman Kolonial Belanda tidak profesional dan juga tidak manusiawi. Hal itu dibuktikan dengan tenaga kesehatan yang dipilih tidak kompeten (asal comot), padahal itu berbahaya karena berkaitan dengan hak penghuni lapas untuk mendapat layanan kesehatan dengan baik.
Seiring perjalanan waktu Penjara Kalisosok pun sempat mengalami perubahan nama menjadi Lembaga Permasyarakatan (Lapas) Kelas I Surabaya, atau yang lebih dikenal dengan Lapas Kalisosok. Sampai akhirnya pada tahun 2000 Lapas ini mulai dikosongkan/dipindahkan.
Demikian sekilas cerita Penjara Kalisosok tempo doeloe di zaman Kolonial Belanda yang sekarang tinggal kerangka bangunannya saja. Sangat disayangkan dan perlu perhatian serius dari yang berkompeten untuk mengawasinya. Pemerintah harus benar-benar mengamankan gedung yang bernilai sejarah ini. Sebab kalau dirawat dengan baik dapat dijadikan tempat wisata.
Penulis: Washil Bahalwan*
Editor: Muhammad Nashir
*Penulis adalah pemerhati sosial
Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net