Suaramuslim.net – Al-Mu’allaqat, sebutannya: sajak-sajak terbaik semasa Islam belum hadir. Gagah penuh prestise tergantung di dinding Kakbah. Isinya penuh gugah dan pikat. Sajak dengan untaian elok dan dihafal di luar kepala, jadi kebanggaan bangsa Arab masa itu.
Hadirnya risalah Islam yang dibawa Nabi Muhamamd, pada aspek sastra, menguji kesadaran mereka. Juga kejujuran. Sebab, mereka paham kadar sastrawi bagaimana untuk disebut di bawah standar, istimewa, atau bahkan di luar batas manusia. Predikat terakhir inilah yang diam-diam mereka sematkan pada ayat-ayat yang dibawakan Nabi Muhammad.
Adu kandungan sajak karya dalam Al-Mu’allaqat dan ayat Al Quran sudah jelas mana yang unggul. Tapi, menariknya, Nabi tidak terfokus pada soal ini. Keindahan memang penting, bahkan mampu memikat para munsyi dan penyair kafir hingga memeluk Islam. Tak semuanya memang.
Tapi di atas keindahan ada kebenaran dan kedalaman hujan yang tak bisa dibantah. Itulah teras tauhid yang mengisi kelemahan syair-syair Al-Mu’allaqat sekalipun. Ini karya manusia yang masih sembah berhala, materi, dan seni demi seni. Bukan cinta pada Sang Tertinggi yang diibadahi saban waktu.
Sekadar propaganda atau retorika memikat dengan ilustrasi kekinian menyentuh emosi anak-anak muda, belumlah cukup. Memakai metafora game mutakhir lantas undang tepukan tangan para bule pintar, bawakan patik pada riuh pujian di serambi Kakbah bagi pemegang syair terindah. Tapi itulah kemenangan?
Kalaulah syair metafora game di arena para kapitalis dibangun atas kejujuran dan keamanahan, terpujilah dia. Tapi bagaimana kalau ia buat di podium dengan lupakan deretan ingkar janji dan tunaian amanah pada rakyat yang diabaikan? Jangan sampai, ia menyengaja curi perhatian, didesain, demi raih tepuk tangan. Dan memang akhirnya didapatkan.
Tentunya ini bukan sebuah prestasi bagi rakyat. Selagi rakyat masih disajikan dengan dusta dan citra. Dan para bule paham, kelemahan kekuasaan dengan syair mendamba pujian adalah dengan menyanjung tinggi. Tapi diam-diam berharap dalam lengah si tersanjung, mereka siap menjarah atas nama pinjaman. Inikah Al-Mu’allaqat dengan kepandiran?*
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net