Suaramuslim.net – Haji (asal maknanya) adalah “menyengaja sesuatu.” Haji menurut syara’ ialah “sengaja mengunjungi Ka’bah (Rumah Suci) untuk melakukan beberapa amal ibadah, dengan syarat-syarat yang tertentu,” sebagaimana yang diterangkan di bawah ini.
Permulaan Wajib Haji
Pendapat ulama dalam hal menentukan permulaan wajib haji ini tidak sama; sebagian mengatakan pada tahun keenam Hijrah, ada yang mengatakan pada tahun kesembilan Hijriah.
Haji diwajibkan atas orang yang kuasa, satu kali seumur hidupnya. Firman Allah SWT yang artinya:
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (Ali Imran: 97).
Sabda Rasulullah SAW:
“Islam itu ditegakkan di atas 5 dasar: (1) bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang hak (patut disembah) kecuali Allah dan bahwasanya Nabi Muhammad itu utusan Allah, (2) mendirikan salat lima waktu, (3) membayar zakat, (4) mengerjakan haji ke Baitullah, (5) berpuasa dalam bulan Ramadhan.” (Muttafaqun alaihi).
Dari Abu Hurairah, “Rasulullah telah berkata dalam pidato beliau, ‘Hai Manusia! Sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas kamu mengerjakan ibadah haji, maka hendaklah kamu kerjakan.’ Seorang sahabat bertanya, ‘Apakah tiap tahun, ya Rasulullah?’ Beliau diam tidak menjawab, dan yang bertanya itu mendesak sampai tiga kali. Kemudian Rasulullah berkata, ‘Kalau saya jawab “ya” sudah tentu menjadi wajib tiap-tiap tahun, sedangkan kamu tidak akan kuasa mengerjakannya, biarkanlah saja apa yang saya tinggalkan.” (Riwayat Ahmad, Muslim, dan Nasai)
Ibadah haji itu wajib segera dikerjakan. Artinya, apabila orang tersebut telah memenuhi syarat-syaratnya, tetapi masih dilalaikannya juga (tidak dikerjakannya pada tahun itu), maka ia berdosa karena kelalaiannya itu.
Sabda Rasulullah: “Hendaklah kamu bersegera mengerjakan haji karena sesungguhnya seseorang tidak akan menyadari suatu halangan yang akan merintanginya.” (Riwayat Ahmad).
Syarat-Syarat Wajib Haji
- (Tidak wajib, tidak sah haji orang kafir).
- (Tidak wajib atas orang gila dan orang bodoh).
- Balig (sampai umur 15 tahun, atau balig dengan tanda-tanda lain, tidak wajib haji atas anak-anak.
- Kuasa (Tidak wajib haji atas orang yang tidak mampu).
Dua Macam Pengertian Mampu Haji
- Mampu mengerjakan haji dengan sendirinya, dengan beberapa syarat sebagai berikut:
- Mempunyai bekal yang cukup untuk pergi ke Mekah dan kembalinya.
- Ada kendaraan yang pantas dengan keadaannya, baik kepunyaan sendiri ataupun dengan jalan menyewa. Syarat ini bagi orang yang jauh tempatnya dari Mekah adalah dua marhalah (80,640 km). Orang yang jarak tempatnya dari Mekah kurang dari itu, sedangkan ia kuat berjalan kaki, maka ia wajib mengerjakan haji. Adanya kendaraan tidak menjadi syarat baginya. Bekal dan kendaraan itu sudah lebih dari utang dan bekal orang-orang yang dalam tanggungannya sewaktu pergi dan sampai ia kembali.
- Aman perjalanannya. Kalau lebih banyak yang celaka atau sama banyaknya antara celaka dan yang selamat, maka tidak wajib pergi haji, bahkan haram pergi kalau lebih banyak yang celaka daripada yang selamat.
- Syarat wajib haji bagi perempuan, hendaklah ia berjalan bersama-sama dengan mahramnya, bersama-sama dengan suaminya, atau bersama-sama dengan perempuan yang dipercayai.
“Tidak boleh bagi perempuan bepergian selain beserta mahramnya, dan tidak pula boleh bagi laki-laki mendatangi perempuan itu selain apabila ia beserta mahramnya.” Bertanya seorang laki-laki, “Ya Rasulullah, sesungguhnya saya bermaksud akan pergi berperang, sedangkan istriku bermaksud akan pergi haji.” Jawab Rasulullah, “Pergilah bersama-sama dengan istrimu (naik haji).” (Riwayat Bukhari)
Orang buta wajib pergi haji apabila ada orang yang memimpinnya, sebagaimana keadaan perempuan ditemani mahram atau suaminya.
- Mampu mengerjakan haji yang bukan dikerjakan oleh yang bersangkutan, tetapi dengan jalan menggantinya dengan orang lain.
Umpamanya seorang telah meninggal dunia, sedangkan sewaktu hidupnya ia telah mencukupi syarat-syarat wajib haji, maka hajinya wajib dikerjakan oleh orang lain.
Ongkos mengerjakannya diambilkan dari harta peninggalannya. Maka wajiblah atas ahli warisnya mencarikan orang yang akan mengerjakan hajinya itu serta membayar ongkos orang yang mengerjakannya. Ongkos-ongkos itu diambilkan dari harta peninggalannya sebelum dibagi, caranya sama dengan hal mengeluarkan utang-piutangnya kepada manusia.
Dari Ibnu Abbas, “Seorang perempuan dari kabilah Juhainah telah datang kepada Nabi Saw. Katanya, ‘Sesungguhnya ibuku telah bernazar akan pergi haji, tetapi dia tidak pergi sampai dia mati. Apalah boleh saya kerjakan haji untuk dia?’ Jawab Nabi, ‘Ya boleh. Kerjakanlah hajinya. Bagimana pendapatmu kalau ibumu sewaktu mati meninggalkan utang, bukankah engkau yang membayarnya? Hendaklah kamu bayar hak Allah, sebab hak Allah itu lebih utama untuk dipenuhi.” (Riwayat Bukhari)
Orang Lemah
Orang lemah yang tidak kuat pergi mengerjakan haji karena sudah tua, atau lemah karena penyakit yang dideritanya, kalau ia mampu membayar ongkos sesederhananya yang biasa berlaku di waktu itu kepada orang yang akan mengerjakan hajinya, maka ia wajib haji, sebab ia terhitung kuasa dengan jalan mengongkosi orang.
Dari Ibnu Abbas, “Seorang perempuan dari kabilah Khasy’am telah bertanya kepada Nabi Saw., ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya bapak saya telah mendapat kewajiban haji, sedangkan ia sudah tua renta, tidak dapat duduk di atas punggung untanya bila tanpa bantuan orang lain.’ Jawab Rasulullah, ‘Hendaklah engkau kerjakan hajinya.” (Riwayat Jama’ah ahli hadis).
Haji Anak-anak dan Budak
Anak-anak yang belum balig (belum sampai umur) dan hamba sahaya, keduanya sah mengerjakan haji dan umrah. Amal keduanya menjadi amal sunat. Apabila anak sudah sampai umur atau hamba sudah merdeka, maka keduanya wajib haji kembali, sebab syarat sah haji wajib itu hendaklah dikerjakan oleh orang yang balig, berakal dan mereka.
Dari Ibnu Abbas, “Sesungguhnya Rasulullah telah bertemu dengan sebuah kendaraan di Rauha’. Beliau berkata. ‘Kaum siapakah kalian?’ Mereka menjawab, ‘Kami kaum muslim.’ Lalu mereka bertanya pula, ‘Siapakah engkau?’ Jawab beliau, ‘Saya Rasulullah.’ Kemudian seorang perempuan mengangkat seorang anak, ditunjukkannya kepada beliau, dan bertanya, ‘Adakah sah haji anak ini?’ Jawab Nabi, ‘Sah, dan engkau mendapat pula pahala.” (Riwayat Ahmad dan Muslim)
“Barang siapa dari anak-anak yang telah haji, sesudah balig hendaklah ia melakukan haji kembali. Dan barang siapa dari hamba sahaya yang telah haji, kemudian sesudah ia dimerdekakan, hendaklah ia pergi haji kembali.” (Riwayat Baihaqi).