Suaramuslim.net – Perhelatan Al-Ittiḥād al-ʻĀlamī li-ʻUlāmāʼ al-Muslimīn, atau International Union of Muslim Scholars (IUMS) ke-5 di Istanbul menghasilkan kepemimpinan baru di bawah Syeikh Dr Ahmad ar-Raisuni. Penulis Maqalatu fi al-Hurriyyat ini menggantikan Syeikh Dr Yusuf al-Qaradhawi yang telah memimpin sejak institusi ini dibentuk pada 2004 di London, Inggris. Keberadaan IUMS dan al-Qaradhawi tidak dapat dipisahkan. Bahkan, ada penilaian bahwa IUMS disediakan untuk kiprah al-Qaradhawi dalam pergerakan menyebarkan pemikirannnya.
Syeikh al-Qaradhawi tidak diragukan lagi merupakan sosok alim dan intelektual prolifik. Karyanya begitu berjibun. Ulasannya menyentuh pelbagai persoalan umat manusia hingga hari ini. Tidak sekadar mengajarkan Islam, al-Qaradhawi juga ingin mendudukkan Islam sebagaimana asalnya diturunkan. Keberadaan pemahaman yang berlebihan dalam menerjemahkan teks-teks keislaman, banyak menjadi perhatian al-Qaradhawi. Dalam hal ini, ia begitu kritis pada keberadaan kalangan islamis yang begitu ketat menjaga makna harfiah teks; di sisi lain, ia juga tajam membantah hujah-hujah kalangan yang memudahkan untuk mengabaikan teks atas alasan substansi syariat.
“Semenjak waktu dulu saya termasuk orang yang percaya kepada maksud-maksud syariat, keharusan memahaminya, serta kepentingannya dalam membentuk akhlak seorang ahli fikih yang ingin berenang di lautan syariat dan mengambil perhiasannya.” Demikian dikatakan Syeikh al-Qaradhawi dalam Fiqh Maqashid Syariah (2006).
Masih di buku yang sama, al-Qaradhawi berujar, “Untuk membantunya dalam mendapatkan hukum yang benar, seorang ahli fikih tidak cukup berdiri di atas teks-teks literal-partikular. Karena, hal itu akan dapat membelokkannya dari jalan lurus untuk kemudian berburuk sangka kepada Allah dan Rasulullah.”
Madrasah pemikiran Syeikh al-Qaradhawi memang selalu ingin menandaskan di posisi pertengahan (wasathiyah). Namun, dalam kasus-kasus tertentu, al-Qaradhawi justru bisa disebut radikal tanpa kompromi. Sehingga, tak jarang yang menilainya negatif bahkan penuh sangkaan tidak-tidak. Semisal pandangan penulis Hukum Zakat itu dalam soal seruan jihad ke Suriah. Juga soal perlwanan terhadap pemerintahan kudeta di Mesir di bawah Jenderal Abdel Fattah Assisi. Tak sedikit para alim mencelanya meski sama-sama ahlus-sunnah. Sahabatnya, Syeikh Abdullah Bayah, yang duduk sebagai wakil di IUMS konon sampai harus undur diri gegara perbedaan pendekatan dalam soal Suriah ini. Wallahu’alam.
Sikap teguh dalam satu pendirian bukanlah sesuatu yang datang tiba-tiba bagi putra Mesir yang banyak tinggal di Qatar itu. Sesiapa yang terbiasa mendaras karya-karya tulisnya akan memahami jalan pikiran al-Qaradhawi. Tak heran bila pidato perpisahan dalam perhelatan IUMS ke-5 dimaknai bukan semata sepuhnya sang ketua di umur 92 tahun. Akan tetapi, ada firasat untuk mencemasi sang syeikh seperti berpamitan untuk tidak berlama di dunia ini. Tentu saja soal ini otoritas Allah yang Mengetahui bagaimana akhirnya.
Syeikh al-Qaradhawi sudah sejak kecil tampak sebagai sosok pencinta ilmu. Usia 15 tahun, sudah melahap buku-buku tasawuf. Bolak-balik ke perpustakaan kampus terpandang jadi rutinitasnya. Kala di bangku setingkat SMP, buku-buku sastra “serius” dikhazanahi. Saat menginjak bangku SMA, karya asy-Sya’rani, Ibnu Athaillah as-Sakandari sudah dikhatamkan. Ihya Ulumiddin karya al-Ghazali peneman setia masa remaja. Inilah senarai pustaka yang kelak mendukung pembaca tersebut jadi orang di kemudian hari. Kita sukar mengelak dari karyanya yang sukar terbilang berapa jumlahnya.
“Di mata kami, ternyata Syeikh Qaradhawi seorang sufi yang terselubung. Dia ingin menyembunyikan kesufiannya dengan tabir penalaran dan salafiyah,” puji Dr Said Ramadhan al-Buthy, usai menyimak kedalaman presentasi memikat dan spontan al-Qaradhawi dalam sebuah seminar pemikiran Islam di Aljazair pada 1987 (sumber: buku Al-Ghazali antara Pro dan Kontra karya al-Qaradhawi, terjemah oleh Hasan Abrori, Pustaka Progressif, 1997).
Ada banyak legasi pemikiran Syeikh al-Qaradhawi bagi Muslimin bahkan dunia. Terkait masih maraknya perpecahan atau perseteruan di tubuh umat, Syeikh al-Qaradhawi memesankan pada kita—seolah—satu wasiat yang berlaku kapan pun. Mantan ketua Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM), Dr Muhammad Nur Manuty dalam Seminar Nasional Maqashid al-Syari’ah pada 31 Maret 2018 merangkum pemikiran al-Qaradhawi soal itu.
Punca berlakunya perbedaan, menurut pandangan Syeikh al-Qaradhawi, dicirikan atau dapat dilihat dari: (1) Bangga diri dan kagum dengan pandangan sendiri; (2) Buruk sangka kepada orang lain; (3) Ego dan hawa nafsu; (4) Fanatik kepada pandangan seseorang, mazhab dan golongan tertentu; (5) Fanatik kepada negeri, daerah, partai, jamaah dan pemimpin tertentu. Selain itu: (6) Kelompok keras yang tidak mau menerima orang lain tanpa perbahasan. Tidak ada rasa tolak ansur (al-tasamuh); (7) Tidak menerima bukan-Islam sebagai rekan bersama dalam kehidupan’ alias menolak fiqh al-ta’ayush atau fikih hidup bersama.
Sebagaimana banyak pihak merasakan akan ada apa-apa pada Syeikh al-Qaradhawi, begitulah kita selaku awam. Umur beliau sudah uzur, fisik terbatas, toh tetap produktif berkarya dan berdakwah. Warisan dan wasiatnya di pelbagai karya tulis, juga pidato di atas podium, merupakan mutiara yang mesti jadi modal kebangkitan Muslimin. Ya, kebangkitan di negeri ini; bukan menanti dari negara lain.
Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net