Tangani Dampak Covid-19, DPR: Bansos Harus Jangkau Warga Miskin dan Rentan Miskin

Tangani Dampak Covid-19, DPR: Bansos Harus Jangkau Warga Miskin dan Rentan Miskin

Anggota Komisi VIII DPR RI, Bukhori Yusuf, foto: Dok. Istimewa

JAKARTA (Suaramuslim.net) – Pemerintah telah mempersiapkan anggaran sosial bagi masyarakat terdampak pandemi Covid-19 sebagaimana diatur dalam Perppu No.1/2020. Anggaran tersebut merupakan bagian dari program stimulus untuk social safety net senilai Rp110 triliun yang akan dikonversi menjadi paket bantuan sosial.

Paket bantuan sosial tersebut mewujud dalam peningkatan jumlah penerima manfaat Program Keluarga Harapan (PKH), sembako, kartu prakerja, kompensasi tarif listrik, serta relaksasi kredit bagi pekerja informal. Namun, dengan anggaran sebesar itu bukan berarti tanpa ada potensi masalah. Sejumlah pihak bahkan mulai menyoroti hal tersebut.

Salah satunya Anggota Komisi VIII DPR RI, Bukhori Yusuf. Politisi PKS ini menilai, wabah Covid-19 turut membawa bencana ekonomi khususnya bagi kelompok masyarakat rentan miskin.

Berdasarkan Basis Data Terpadu dalam RAPBN 2020, jumlah masyarakat rentan miskin di Indonesia mencapai 99.359.312 jiwa atau 31.430.304 kepala keluarga. Menurutnya, angka statistik tersebut merepresentasikan potret kelompok masyarakat yang paling terdampak akibat wabah Covid-19.

“Dampak multidimensional wabah Covid-19 adalah hantaman keras bagi masyarakat dari aspek ekonomi dan sosial. Pemerintah harus bergerak cepat dengan menyalurkan paket bantuan sosial yang telah disiapkan secara tepat sasaran dengan mengacu Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS),” ujar Bukhori selepas rapat kerja virtual dengan Kementerian Sosial di Jakarta, Selasa (7/4).

Namun, apakah itu cukup? Tanyanya.

“Saya kira belum. Pertanyaan kritis selanjutnya justru tentang nasib masyarakat rentan miskin yang belum tercatat di DTKS, yakni sejauh apa peran Kemensos dalam memastikan segmen masyarakat ini turut merasakan manfaat dari bansos senilai Rp110 T tersebut. Saya pikir hal inilah yang perlu menjadi perhatian serius bagi pemerintah untuk mengantisipasi lonjakan angka masyarakat miskin baru,” jelasnya.

Bukhori menilai, bantuan sosial turut berpotensi menjadi sumber konflik sosial ketika dalam proses distribusinya dilakukan tidak berdasarkan data terkini dan akurat. Bantuan sosial yang sejatinya ditujukan membuat masyarakat menjadi lebih kondusif dan terbantu justru menjadi kontradiktif ketika dalam penyalurannya tidak tepat sasaran.

“Potensi kecemburuan sosial, gesekan sosial, bahkan berbagai konflik horizontal sangat tinggi di tengah situasi krisis ini. Hal ini juga yang perlu dicermati serius oleh pemerintah, sebab masyarakat sudah terbebani sebelumnya oleh penyebaran virus dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan akibat respons lamban pemerintah. Oleh karena itu, penyaluran bantuan sosial harus dilakukan secara profesional dan bertanggungjawab agar tidak menimbulkan masalah baru bagi masyarakat dan manfaatnya bisa dirasakan sebesar-besarnya” pungkas politisi asal Jepara ini.

Bukhori juga menyoroti kebijakan terbaru pemerintah terkait penanganan Covid-19. Ia menyinggung Peraturan Menteri Kesehatan No 9/2020 tentang pedoman PSBB khususnya pada Bab II Penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pasal 4 yang berbunyi;

“Gubernur/bupati/walikota dalam mengajukan permohonan PSBB kepada Menteri harus disertai dengan data: (a) peningkatan jumlah kasus menurut waktu; (b) penyebaran kasus menurut waktu; dan (c) kejadian transmisi lokal.”

Bukhori menilai, klausul pada pasal 4 tersebut mencerminkan strategi pemerintah yang masih terpaku pada paradigma kuratif (penyembuhan) dalam menahan penyebaran virus, sedangkan di tengah kondisi genting dan mendesak seperti saat ini, yang diperlukan adalah paradigma preventif (pencegahan) untuk mengatasi jumlah kasus positif yang terus bertambah.

Jika kita telaah secara kritis pada pasal 4, imbuhnya, klausul tersebut justru menyulitkan daerah yang masih steril untuk melakukan langkah pencegahan melalui PSBB, karena secara logika, wilayah yang masih steril tidak mungkin memiliki 3 syarat yang sudah ditetapkan pusat tersebut (sejauh ini hanya provinsi NTT dan Gorontalo belum ditemukan kasus positif Covid-19).

“Pemerintah pusat ini aneh, inisiatif daerah untuk lockdown dilarang, sedangkan bagi daerah yang ingin melakukan pencegahan penularan virus melalui PSBB justru dipersulit dengan syarat administratif dan birokratis. Pemerintah pusat serius atau tidak sih dalam mengatasi penyebaran?“ Tegas Bukhori.

Reporter: Teguh Imami
Editor: Muhammad Nashir

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment