Suaramuslim.net – Setelah diumumkan bahwa menteri pendidikan kebudayaan dan pendidikan tinggi dipegang oleh Nadiem Anwar Makarim, ada tantangan tersendiri bagi Muhammadiyah di bidang pendidikan. Pendidikan tidak sekadar kurikulum. Ada gerak pragmatis yang sedang ingin dicapai jika membaca sepintas dari penunjukan Nadiem ini. Di mana keinginan pemerataan pendidikan berkualitas merata dengan cepat (baca saja lima tahun ke depan). Keinginan itu dipahami dengan memasukkan unsur teknologi dalam aplikasi.
Presiden Jokowi yang menunjuk Nadiem bukan tanpa alasan yang mendasar. Saat ini Indonesia masuk kepada era disrupsi era di mana kalkulasi sulit dihitung. Sehingga butuh sosok yang memahami data yang mampu mengelola masa depan. Jika masuk ke dalam pendidikan maka butuh link and match antara dunia pendidikan dengan dunia kerja masa sekarang dan masa depan (dilansir dari cnbc).
Jika dikaitkan dengan program tol langit maka di dalam untuk mempermudah akses materi pendidikan yang merata di mana anak papua atau pelosok kalimantan bisa merasakan guru dari Yogya, Surabaya dan Jakarta atau kota-kota yang sudah maju pendidikannya. Kita semua paham jika guru-guru di pelosok standar kemampuannya akan berbeda. Bukan mereka tidak pintar tapi akses pendidikan dan pelatihan guru yang jarang atau sulit di dapatkan di daerah pelosok. Maka perlu pemerataan dengan akses. Model ruang guru bisa diterapkan dan sosok Nadiem ada potensi ke sana.
Dia sendiri sudah mampu mengangkat nilai tukang ojek dan sekaligus pemerataan penghasilan mereka. Dalam pendidikan, yang utama untuk terlayani lebih dulu tentu anak didik jika memang fokus untuk menyiapkan generasi mendatang. Pemerataan pendidikan jika mengandalkan fisik berupa guru berkualitas, buku-buku kertas yang lengkap, perpustakaan dengan koleksi yang lengkap pula bahkan gedung sekolah dengan alat peraga yang memadai maka butuh waktu lama. Dan tidak mudah untuk direalisasikan kecuali semua itu didigitalisasikan.
Peran guru kemudian fokus kepada penanaman karakter anak. Yang selama ini guru dengan kurikulum 2013 lebih banyak berkutat menyelesaikan administrasi. Dan anak-anak hanya dibebankan menyelesaikan materi dan penguasaan materi. Sedangkan kurikulum yang sejak awal untuk penanaman karakter belum sepenuhnya diterapkan.
Muhammadiyah dengan ikon gerakan pendidikannya memiliki tantangan baru jika ingin tetap eksis dalam slogan berkemajuan. Mengingat Presiden Jokowi cara berpikirnya begitu berkemajuan. Sekolah Muhammadiyah sampai sekarang belum merata tentang kualitas dan ini memang gambaran kecil tentang pendiidkan di negeri ini secara umum memang belum merata. Yang masih proses untuk pemerataan.
Sekolah Muhammadiyah terus menerus terbuai dengan pujian para peneliti jika muhammadiyah merupakan golongan santri yang paling berhasil dalam memberikan pendidikan umum yang memadai kepada umat Islam (Clifford Geertz, 2013).
Di kota-kota besar seperti Bandung, Jakarta, Surabaya, Yogya dan Malang memang sudah besar jika berurusan dengan pendidikan. Meskipun jika ditilik lebih dalam memang tidak akan merata. Sekolah tipe besar, menengah dan kecil merata.
Keberhasilan itu jika ditarik dalam konteks sekarang sudah tidak relevan lagi. Di mana sudah banyak sekolah yang mengikuti atau terinspirasi dengan pembaruan pendidikan ala Muhammadiyah. Pendidikan Muhammadiyah harus kembali kepada konsep berkemajuan yang beririsan dengan pendidikan pragmatis progresif (John S. Brubacher, 1978) yang beriringan dengan religiusitas (Ali Al Jumbulati dan Abdul Futuh At Tuwaanisi, 1994). Sehingga pendidikan yang ada sekarang perlu dengan terobosan yang progresif. Penggunaan potensi otak yang dimaksimalkan dengan teknologi.
Dan ini bisa memungkinkan jika Nadiem Makarim kelak menciptakan sebuah sistem di mana anak didik bisa terkoneksi dengan literasi yang diawasi oleh guru-gurunya. Anak sekolah dasar sudah bisa diajak mandiri dengan materi-materi yang diperoleh dari e-book atau e-library. Semua ini butuh perangkat dan ini sudah menjadi tugas pemerintah dalam hal ini kementerian terkait. Dana bos bisa dioptimalkan untuk gadget anak.
Semoga Muhammadiyah dan sekolahnya mampu menangkap maksud penunjukan Nadiem.*
Muslih Marju
Mahasiswa Magister Pendidikan Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net