Suaramuslim.net – Tantangan puasa di Era Digital, jauh lebih berat dari era-era sebelumnya. Kecanggihan teknologi dan informasi yang menjadi ciri utama dari era ini adalah salah satu tantangan beratnya. Orang mungkin masih bisa kalau sekadar tidak makan, minum dan berhubungan intim. Namun, apa bisa lepas dengan gadget dan media sosial kekinian?
Di dalam definisi fikih, memang puasa dikatakan batal ketika ketiga hal yang membatalkannya (makan, minum dan berhubungan intim) dilakukan. Namun, di atas hukum fikih ada hal-hal yang disampaikan nabi yang bisa merusak puasa seperti, berkata dan berbuat dusta dan lain sebagainya.
Masalahnya kemudian, mampukah setiap individu mengendalikan hal-hal yang bisa merusak puasa, jika berbagai fasilitas di era digital begitu memanjakan dan melenakan? Sebagai contoh, bisakah orang selama Ramadhan berpuasa dari gadget HP kecuali kalau memang sangat butuh untuk hal yang bermanfaat atau bagian dari pekerjaannya?
Kenyataannya, di kantor, rumah, masjid, jalanan, kendaraan, dan pusat keramaian hampir susah melihat orang yang tak sibuk dengan HP masing-masing. Dari bangun tidur sampai tidur lagi, HP menjadi barang nomer wahid yang paling diingat. Keingintahuan akan berita terkini, update terbaru, kabar teman di FB, Intagram, Twitter dan lain sebagainya lebih memikat dan membuat penasaran hati daripada subtansi dari ibadah puasa.
Padahal, ditilik dari segi bahasa, subtansi puasa adalah “al-Imsaak” (pengendalian). Pengendalian diri ini kalau dibaca dalam kitab fikih berikut sejarah nabi dan orang-orang saleh, bukan saja menyangkut masalah jasmani tapi juga rohani.
Kisah-kisah generasi salaf berikut cukup menghenyakkan di tengah fenomena puasa di era digital. Imam Malik bin Anas rahimahullah yang dikenal sebagai Ahli Hadits dan pengasas Madzhab Maliki, jika sudah masuk bulan Ramadhan, beliau menghentikan segala aktivitasnya termasuk mengajar hadits, dan menyibukkan diri dengan membaca al-Qur`an.
Tsufyan Ats-Tsauri juga demikian. Ketika bulan Ramadhan, ibadah yang paling difokuskannya –selain yang wajib- adalah membaca Al Quran. Beliau benar-benar fokus menghabiskan waktunya untuk membaca kalam ilahi.
Imam Bukhari, setiap bulan Ramadhan bisa mengkhatamkan Al Quran setiap hari. Sedangkan selepas shalat Tarawih, tiap tiga malam beliau khatam Al Quran.
Menurut kesaksian Rabi’ bin Sulaiman, Imam Syafi’i di bulan Ramadhan mengkhatamkan Al Quran 60 kali. Apa yang diceritakan Rabi’ –sang murid- mengenai gurunya ini menunjukkan manajemen waktu yang hebat dari sosok sekaliber Syafi’i yang tidak mau menyia-nyiakan waktu emas Ramadhan.
Masih banyak lagi cerita yang menunjukkan bahwa mereka begitu serius dalam memanfaatkan momentum Ramadhan dengan ibadah-ibadah unggulan. Mereka menyadari betul bahwa hanya amal-amal agung yang layak diprioritaskan di bulan yang agung ini. Hal-hal sia-sia yang bisa merusak dan menyia-nyiakan nilai ibadah puasa, pasti mereka tinggalkan.
Di zaman digital ini, utamanya generasi yang disebut ‘zaman now‘ mampukah mengatasi tantangan puasa di era digital? Tentu saja, meski berat, sebesar apapun tantangan pasti bisa diatasi atas izin Allah Subhanahu wata’ala.
Namun, beberapa kiat berikut paling tidak bisa mengatasi atau meringankan tantangan berat puasa di era digital.
Pertama, berpuasa dengan basis ilmu yang kuat bukan karena ikut-ikutan. Orang yang berpuasa berdasarkan ilmu yang shahih, tidak akan berhenti pada puasa jasmani saja, hal-hal yang menyangkut rohani juga diperhatikan.
Kedua, menjadikan gadget dan alat komonikasi lainnya, sebagai barang yang juga dikendalikan atau wajib dipuasai. Artinya, tahu kapan harus membuka atau tidak menggunakannya. Bila di luar Ramadhan aktivitas bersama gadget 90 %, maka dalam bulan puasa bisa dikendalikan sampai 50 %. Itu pun digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat saja.
Ketiga, membayangkan jika Ramadhan tahun ini adalah bulan terakhirmu. Teramat disayangkan jika, di Ramadhan akhir tiap detik waktunya digunakan untuk hal yang remeh dan kecil. Jika orang tahu bahwa besok akan meninggal dunia, pasti akan berupaya melakukan amal yang terbaik sebagai bekal untuk menghadapi sidang di akhirat.
Dengan ketiga poin tersebut, jika dilakukan secara serius, insya Allah tidak ada kendala berarti ketika berpuasa di era digital. Jangan sampai puasa kita gagal, di era digital.
Oleh Mahmud Budi Setiawan, Lc*
Editor: Oki Aryono