Suaramuslim.net – Hukum tidak akan pernah bisa tegak tanpa hakim yang adil. Keadilan yang senantiasa dijaga walau kepada siapapun saja. Bahkan, kepada sanak saudara sekalipun. Dari sejarah, pembaca bisa belajar kepada figur hakim kenamaan muslim: Syuraih.
Suatu hari, saat Syuraih mendapat pengaduan dari anaknya. Ia sedang mengalami konflik dengan segolongan orang pada ranah hukum. Rupanya, anak ini mencoba melobi ayahnya agar membelanya ketika dalam persidangan. Tanpa komentar panjang, Syuraih pun mempersilakannya untuk mengangkat kasus ini ke ranah hukum.
Setelah di persidangan, ternyata Syuraih memutuskan bahwa anaknya yang bersalah. Sekembalinya ke rumah, anak Syuraih berkomentar, “Demi Allah, sekiranya persidangan tidak terjadi pun aku tak akan mencelamu. Kau telah mempermalukanku.”
Syuraih menimpali, “Wahai anakku! Demi Allah engkau adalah anak yang paling aku cintai sepenuh bumi. Tapi (cinta) Allah lebih mulia daripadamu. Aku khawatir memberitahumu sejak awal karena aku takut kamu mengajak mereka berdamai sehingga mereka kehilangan haknya.” (Ibnu Jauzi, al-Muntadham fî Târîkh al-Mulûk wa al-Umam, VI/185).
Cerita menarik ini memberikan keteladanan yang sangat berharga, utamanya bagi hakim. Keadilan tidak pernah mengenal sanak. Hukum senantiasa tegak walau yang melanggar hukum adalah istri, anak, keluarga atau sanak lainnya. Kisah teladan keadilan Syuraih ini masih relevan dipraktikkan oleh hakim-hakim di negeri ini di tengah krisis kepercayaan masyarakat terhadap keadilan hakim.
Terkait masalah ini, Allah sudah mengingatkan, “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisa [4]: 135).
Saat Usamah bin Zaid menyampaikan kepada nabi permintaan kalangan terhormat dari suku Makhzum agar berkomromi terhadap kasus pencurian yang dilakukan perempuan yang masih kerabat mereka, Rasulullah naik pitam. Beliau bahkan menandaskan bahwa sekiranya Fatimah yang mencuri, maka ia sendiri yang akan memotong tangannya. Di samping itu beliau mengingatkan, kehancuran Bani Israil adalah pilih kasih dalam penegakan hukum (HR. Bukhari, Muslim).
Jadi, hukum akan tegak jika hakimnya adil. Dan semua itu telah dicontohkan dengan sangan baik oleh baginda Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam. Bila hukum di negeri ini tak kunjung tegak, maka para hakim perlu berinstrospeksi diri. Bisa jadi, selama ini hukum tak pernah tegak gara-gara keadilan yang seharusnya menjadi jiwa mereka, menjadi luntur akibat kepentingan sesaat.
Kontributor: Mahmud Budi Setiawan
Editor: Oki Aryono