Suaramuslim.net – Perjalanan tugas ke luar kota selalu menggairahkan buat saya. Ke luar kota mengandung makna; keluar dari rutinitas dan berkontemplasi di luar kampus.
Hari ini (16/11) saya dapat undangan dari sebuah pabrik rokok di Kudus Jawa Tengah, untuk berdiskusi terkait dengan isu _making Indonesia 4.0_ dimana perusahaan ini oleh Kementerian Perindustrian digadang sebagai industri yang sudah menerapkan Industri 4.0.
Selepas diskusi, oleh pimpinan perusahaan saya diajak berkeliling pabrik, di area kawasan produksi dan pergudangan yang diberi nama taman oasis, kawasan rapi, bersih dan asri yang memiliki luas 60 Ha.
Selama keliling pabrik saya disadarkan bahwa otomasi, _internet of think_, _machine artificial inteligent_, benar-benar membuat pabrik lebih “sunyi” dari yang saya bayangkan selama ini.
Satu lini produksi yang menghasilkan 15.000 batang rokok per menit hanya dihadiri oleh manusia tak lebih dari 30 orang saja, mereka cukup santai bekerja, berfungsi mengawasi monitor atau dashboard dari pekerjaan yang serba otomatic dan serba robotic.
Otak manusia memang luar biasa! Bisa menciptakan teknologi yang hampir tak terbayangkan pada masa Roro Mendut membuat rokok linting klobot. Entah teknologi macam apa lagi yang akan dibuat manusia dalam perokokan. Boleh jadi kelak rokok diproduksi dalam 3D printing. Pabrik akan ada di kamar-kamar perokok. Pabrik rokok cukup memiliki brand dan portofolio saja, keuntungan dari menjual rokok akan mengalir melalui digital collector, tanpa harus pusing membayar kerani dan direktur keuangan.
Ah, saya tak mau membayangkan lebih jauh!
Saya tak berbakat pada fiksi futurologi, saya justru tenggelam pada romantisme masa lalu. Dalam kekritisan romantisme, maka ada gelitik renungan muncul; jika mesin dan teknologi secanggih itu telah ada sejak lama tentu tak pernah ada satire tentang buruh-buruh pabrik rokok yang termarginalkan, sebab tak ada interaksi buruh dan rokok. Atau kita tak pernah mendengar tentang antrian panjang buruh pabrik rokok untuk mengambil amplop gajinya yang tak pernah cukup membiayai anak anak mereka bersekolah, sebab tak pernah ada upah layak untuk buruh pabrik rokok.
Padahal sejarah rokok adalah trajektori budaya yang melekatkan kehadiran manusia di dalamnya. Maka Satire tenaga kerja, dengan kehadiran fakta otomasi seolah hilang atau terhilangkan.
Entah, apakah teknologi adalah solusi atau hanya sebuah penegasian tentang tidak selesainya urusan hak kerja manusia?
Saya yang bukan teknokrat, pada akhirnya tak berkapasitas untuk berdebat secara teknis tentang tawaran efisiensi teknologi. Teknologi menjerat manusia untuk jatuh cinta padanya, bahkan menjadi kecanduan atas nikmat sensasi yang diberikannya, meski kita tahu selalu ada konsekuensi di dalamnya.
___
Selepas berkeliling pabrik, dan menunaikan shalat Jumat. Tibalah saya diajak makan siang oleh tuan rumah. Kami makan di ruang makan pabrik yang cukup besar. Saya suka acara makan siang ini, setidaknya karena menu makanannya.
Makanan yang tersaji, sangatlah “njawani”‘ atau lebih tepatnya sangat “ngudus”. Terasa kontras dengan suasana milenial yang serba disruptive, yang baru saja kami diskusikan.
“Silahkan pak Yudha, dicicipi sate kerbaunya, sate kerbau ini cuma ada di Kudus lho!”
Kata salah seorang direksi, mempersilakan sekaligus memberi penjelasan.
Dalam sejarahnya sate kerbau adalah produk kreatifitas, dan menjadi penting jika kita memaknai bahwa kreatifitas adalah alat bantu manusia untuk menemukan teknologi, karena sebagaimana Einstein mengatakan, teknologi tercipta dari pemikiran kritis dan kreatif.
Di sekitaran tahun 1400-1500 M, wilayah Tajuk (nama lama kota Kudus), adalah wilayah masyarakat Hindu. Sebagaimana pada umumnya penganut Hindu, sapi adalah binatang yang memiliki makna kesakralan. Sapi adalah kendaraan dewata yang suci.
Adalah seorang Jafar Shodiq, senopati kesultanan Demak, ia memiliki pemahaman sosial yang baik meski kesehariannya adalah panglima perang yang bergelimang dengan kanuragan, kasakten dan daya tempur capit urang.
Sekali waktu, selepas uji tanding dan aji latih di suatu desa, ada prajuritnya yang berasal dari wilayah kulon Jawa bermaksud memotong sapi untuk menu makan malam.
Mendengar rencana prajuritnya, Jafar Shodiq segera bergegas.
“Jangan kalian potong sapi itu!”
Katanya.
Larangan itu awalnya membingungkan prajurit asal kulon itu, tapi senopati Jafar Shodiq menjelaskan bahwa, dalam menunaikan tugas kesultanan mendakwahkan Islam, meski dengan kesigapan perang sekalipun, menghormati keyakinan masyarakat adalah penting. Menyembelih sapi dapat menimbulkan ketersinggungan sekaligus kesedihan buat masyarakat yang masih memeluk agama hindu.
Jafar tak ingin niat mulianya justru menimbulkan konflik hanya oleh kegegabahan prajuritnya. Namun Jafar pun harus berlaku adil pada prajuritnya yang sudah lapar. Jafar menyuruh prajurit lainnya menyembelih seekor kerbau besar sebagai pengganti sapi.
Malam itu para prajurit membakar daging kerbau itu dalam keratan kecil-kecil yang ditusuk dengan rautan bambu. Panganan itu adalah “sate kebo”, panganan yang sampai sekarang masih dijumpai di wilayah Tajuk (Kudus).
Jika Jafar berkehendak, masyarakat mana yang bisa mencegahnya kala itu, ia mempunyai otoritas mennggunakan tentara atas nama negara. Tapi ia pinggirkan arogansi fisik, sebab agama pada orang yang punya otoritas militer sekalipun, tetaplah mengedepankan hati.
Islam mengajarkan tentang kelembutan hati dan musyawarah. Allah mengatakan dalam surah Al Imran (QS 3: 159), ” *jika engkau bertutur dan berhati kasar, maka orang-orang akan menjauhimu, karenanya bermusyawarahlah. Dalam urusanmu ,… Jika engkau telah berketetapan, konsistenlah (berazamlah), sungguh Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.*
Jafar memaknai agama dalam relung hati, menyadarkan prajuritnya bahwa agama bukanlah penguat arogansi. Selalu ada “sir” Ilahi yang bernama _nafsul mutmainnah_ yang mengantar manusia pada kadigdayaan nurani, pada rasa kemanusiaan yang tiris pada apa yang dinamakan kebermanfaatan pada alam semesta ( _rahmatan lil alamin_ ).
Saya melangut pada relasi teknologi dan kemanusiaan. Teknologi pun adalah pedang, dia bermakna ganda ketika ada di tangan berbagai jenis manusia, ia membunuh atau hanya sebagai alat agar tak terbunuh oleh pihak lain.
Adakah robot yang saya lihat adalah pedang buatan Jerman yang dikirim ke negeriku ini utk membunuh anak negeriku, yang mencabut hak kerjanya, yang melempar amplop gaji bulanannya?
Bukankah pekerjaan adalah “sapi suci” dimana dengannya wasilah menggapai peri kehidupan bisa didapat?
Kita semua kehilangan ruh Jafar Shodiq, sering tergopoh pada keyakinan sendiri. Kita kurang pada tajuk literasi kehidupan. Jika tidak kita bukanlah pencipta robot tetapi kita telah menjadi robot itu sendiri. Gerakan kita hanyalah respons pada sensor material, yang tak sensitif pada qolbiyah sosial.
__
Hari ini (15/11) di hadapan menara Masjid Kudus, saya pandangi menara itu, menepikan diri dalam sunyi di keramaian, berkontemplasi mencoba “mengijazahi” kehadiran Jafar Shodiq.
Nun, pembelajaran lapang selalu menarik, menggelitik dan menggebuk-gebuk hati.
Menara masjid itu bukan hanya karya arsitektur akulturasi antar berbagai budaya, dia menjadi simbol perubahan nama wilayah yang sebelumnya bernama Tajuk menjadi nama baru yaitu Kudus.
Jafar Shodiq, memahami harmoni adalah bagian dari kekudusan agama, karena agama bukanlah perkara sok jagoan, asal menang atau asal banyak, melainkan ketika agama menjadi terasakan sebagai inspirasi persatuan, persaudaraaan dan tolong menolong, itulah Islam yang kudus, Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Duhai Jafar Shodiq, duhai engkau yang bergelar Sunan Kudus, doaku untukmu, terimakasih atas pembelajaranmu melalui Kudus dan menara itu.
Bakda Zuhur, Masjid Menara Kudus, 16 Nopember 2018.
*Yudha Heryawan Asnawi*