Tempat kembali orang tua Nabi

Tempat kembali orang tua Nabi

Sejarah Nabi Muhammad SAW di Kota Mekah

Suaramuslim.net – “Sungguh, Allah telah menciptakan makhluk, dan menjadikan aku yang terbaik dari mereka. Kemudian, dari semua kelompok itu, Allah memilih aku dari kelompok yang terbaik. (Hadis Riwayat At-Tirmidzi 3607 dari Abbas bin Abdul Muthallib).

Setelah menyampaikan kajian keislaman, salah seorang jamaah bertanya tentang orang tua Nabi. Lelaki separuh baya itu menyampaikan pertanyaan yang selama ini mengganjal di pikirannya.

Dia pernah mendengar pengajian salah seorang ustaz yang mengatakan orang tua Nabi kafir dan di neraka. Namun keterangan itu membuatnya ragu dan tidak begitu yakin. Ia mencoba mencari jawaban dari beberapa ustaz atau kiai untuk memantapkan diri tentang orang tua Nabi.

“Apa mungkin orang tua Nabi disiksa Allah SWT? Sedangkan mereka telah melahirkan manusia nomor wahid di dunia ini,” ungkapnya dengan penuh penasaran.

Menjawab pertanyaan pria yang rajin jamaah di masjid itu tidak mudah, membutuhkan waktu untuk membuka beberapa referensi yang tepercaya.

Orang tua Nabi bukanlah termasuk orang-orang yang disiksa oleh Allah, dengan arugumen sebagai berikut.

Pertama, orang tua Nabi termasuk ahlul fatrah.

Ahlul fatrah adalah orang-orang yang hidup di masa kekosongan risalah. Mereka hidup di antara waktu setelah Nabi Isa wafat dan sebelum Nabi Muhammad diutus. Allah SWT memberikan dispensasi bagi manusia yang hidup di rentang waktu itu. Mereka bebas dari tuntutan hukum.

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا

“Dan Kami tidak akan mengazab (manusia) sampai Kami mengutus seorang Rasul kepada mereka” (QS. Al Isra: 15).

Siksa Allah hanya berlaku bagi orang-orang yang melanggar aturan agama yang dijelaskan oleh utusan Allah. Dengan demikian, mereka yang tidak mendapat bimbingan Rasul atau disebut “ahlul fatrah” terbebas dari siksa Allah karena mereka tidak diajarkan aturan dan tuntutan hukum. [1]

Orang tua Nabi shallallahu alaihi wasallam termasuk dalam kelompok ini.

Kedua, Nabi berasal dari keturunan orang-orang yang mulia.

Melalui sabdanya Nabi menjelaskan asal usulnya,

إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ الْخَلْقَ فَجَعَلَنِى مِنْ خَيْرِهِمْ مِنْ خَيْرِ فِرَقِهِمْ وَخَيْرِ الْفَرِيقَيْنِ ثُمَّ تَخَيَّرَ الْقَبَائِلَ فَجَعَلَنِى مِنْ خَيْرِ قَبِيلَةٍ ثُمَّ تَخَيَّرَ الْبُيُوتَ فَجَعَلَنِى مِنْ خَيْرِ بُيُوتِهِمْ فَأَنَا خَيْرُهُمْ نَفْسًا وَخَيْرُهُمْ بَيْتًا

“Sungguh, Allah telah menciptakan makhluk, dan menjadikan aku yang terbaik dari mereka. Kemudian, dari semua kelompok itu, Allah memilih aku dari kelompok yang terbaik. Lalu, dari beberapa rumah (atau keluarga), Allah memilih aku dari keluarga terbaik. Jadi, akulah manusia di antara mereka, dan dari rumah atau garis keturunan yang terbaik pula.[2]

Bahkan, Allah menjamin kebenaran itu melalui firman-Nya,

وَتَقَلُّبَكَ فِي السَّاجِدِينَ

Dan Allah (melihat) pergerakanmu di antara orang-orang yang sujud,” (QS. As Syu’ara’: 219).

Menurut Ibnu Abbas, ayat ini menjelaskan, Allah mengetahui perjalanan cahaya Nabi atau benih kejadiannya berpindah secara estafet dari para nabi yang bersujud kepada Allah sampai ke punggung Abdullah, sang ayah, dan rahim Aminah, sang ibunda. [2]

Tidak ada satupun nabi berasal dari keturunan penyembah berhala atau yang menyekutukan Allah. Azar yang disebut sebagai “ayah” Ibrahim (QS. Al-An’am: 74) bukanlah ayah yang sebenarnya, melainkan pamannya. Andaikan Azar itu ayahnya, tentu redaksinya cukup “li-abiihi,” tanpa menyebut nama Azar.

Orang tua Nabi bukanlah penyembah berhala, tapi termasuk orang-orang hanif, yaitu memegang teguh ajaran Nabi Ibrahim, sebagaimana Zaid bin ‘Amr, Waraqah bin Naufal, dan lain-lain. [3]

As-Sya’rawi menjelaskan detail tentang penyebutan ayah, ucapan Nabi Ya’qub ketika bertanya kepada putra-putranya di Al-Quran surat Al-Baqarah: 133: “Siapakah yang akan kalian sembah sepeninggalku nanti?” Mereka menjawab, “Tuhanmu dan Tuhan bapak-bapakmu, yaitu Ibrahim, Ismail dan Ishaq, yaitu Tuhan yang Maha Esa, dan kami berserah diri hanya kepada-Nya,” bukankah ayah Nabi Ya’qub adalah Nabi Ishaq, Nabi Ibrahim bukan ayah Nabi Ya’qub melainkan kakeknya. Begitu pula Nabi Ismail bukanlah ayah Nabi Ya’qub, melainkan pamannya. Dari ayat tersebut, kata “abun” tidak selalu berarti ayah (As-Sya’rawi, vol. 6, hlm. 3733).

Hadis Nabi yang menjawab pertanyaan seorang sahabat juga tidak bisa diartikan secara tekstual,

يَا رَسُولَ اللهِ، أَيْنَ أَبِي؟ قَالَ: فِي النَّارِ فَلَمَّا قَفَّى دَعَاهُ، فَقَالَ: إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النَّارِ

 “Wahai Rasulullah, di mana ayahku kelak?” Rasulullah menjawab, “Di neraka.” Ketika orang itu berpaling pergi, Rasulullah memanggilnya dan berkata, “Ayahku dan ayahmu di neraka.” (Riwayat Muslim 347 dari Anas bin Malik). [5]

Menanggapi hadis ini, para ulama ahlus sunnah wal jamaah mengartikan kata “abi” pada hadis di atas dengan paman, karena dalam tradisi Arab paman biasa dipanggil “abi” sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa Nabi Ibrahim menyebut Azar, pamannya dengan panggilan “abun” atau ayah. [6]

Ketiga, Nabi memang tidak diizinkan memintakan ampunan untuk ibunya, sebagaimana sabdanya:

اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لِأُمِّي فَلَمْ يَأْذَنْ لِي، وَاسْتَأْذَنْتُهُ أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأَذِنَ لِي

Aku meminta izin kepada Tuhanku memintakan ampunan untuk ibuku, tapi Allah tidak mengizinkanku. Lalu, aku meminta izin menziarahi kuburnya, dan aku diizinkan.” (Riwayat Muslim 105 dari Abu Hurairah).

Terhadap hadis ini, Imam As-Suyuti sependapat dengan Ibnu Syahin yang mengatakan dalam kitab Nasikh wa Mansukh bahwa hadis ini dan hadis-hadis lain yang semakna telah dihapus oleh hadis yang menerangkan bahwa Allah menghidupkan kembali ibunda Rasulullah sehingga ia beriman kepada anaknya, lalu Allah mewafatkannya kembali. Ini terjadi pada haji Wada’. [7]

Syekh Ali Jum’ah, mufti Mesir, menambahkan, dalam hadis ini sama sekali tidak disebutkan bahwa Ibu Rasulullah masuk neraka ataupun musyrik. Andaikan ia musyrik, tentu Nabi tidak diizinkan Allah untuk menziarahinya, sebab hal itu dilarang dalam Islam. [8]

Setidaknya itulah jawaban tentang orang tua Nabi yang bisa dihadirkan melalui tulisan kecil ini. Marilah menjadi orang-orang yang berprasangka baik kepada orang lain terlebih kepada Nabi dan keluarganya.

Achmad Ainul Yaqin, Lc

Referensi:
[1] Muhammad Mutawalli As-Syarowi, Tafsir As-Syarowi (Kairo: Akhbar al-Yaum,  1997), vol. 14, hlm. 8418.
[2] Muhammad bin Isa At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi (Kairo: Al-Halabi,1975), vol. 5, hlm. 584.
[3] Husein bin Masud al-Baghowi, Ma’alim at-Tanzil fi Tafsiril Quran (Beirut: Dar Ihya Turast, 1420 H), vol. 3, hlm. 484.
[4] Jalaluddin As-Suyuti, Masalikul Hunfa fi Walidail Mustafa (Kairo: Darul Amin, 1993), hlm. 39-40.
[5] Muslim bin Al-Hajjaj, Shohih Muslim (Beirut: Dar Ihya Turas, t.th), vol. 2, hlm. 671.
[6] Al-Bajuri, Tuhfatul Murid (Kairo: Darussalam, 2002), hlm. 69.
[7] Jalaluddin As-Suyuti, Ad-Dibaj Syarah Sahih Muslim bin Al-Hajjaj (Saudi Arabia: Dar Ibnu ‘Affan, 1994), vol. 3, hlm. 47.
[8] Ali Jum’ah, Al-Bayan lima Yasyghaluhul Adzhan (Kairo: Darul Muqatham, 2009), vol. 1, hlm. 178.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment