Suaramuslim.net – 11 Januari 1918, Harian Djawi Hisworo memuat artikel yang menghina Nabi Muhammad SAW. Umat Islam marah dan menuntut keadilan dengan ditegakkannya hukum terhadap penghina tersebut.
Maka, pada 6 Februari 1918, Haji Omar Said Tjokroaminoto, seorang pimpinan Sarekat Islam (SI) berjuluk Raja Jawa Tanpa Mahkota, memimpin Rapat Akbar Umat Islam di Kota Surabaya, yang kemudian melahirkan sebuah organ di bawah SI yang bernama Tentara Kanjeng Nabi Muhammad (TKNM). Rapat akbar itu berhasil mengumpulkan uang 3.000 gulden yang dipakai untuk dana perjuangan TKNM.
Pasca Rapat Akbar Umat Islam di Surabaya, kemudian TKNM juga menyelenggarakan aksi serupa di berbagai daerah yang dibanjiri massa kaum muslimin. Di antara anggota TKNM adalah pimpinan Persarikatan Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan.
Dalam dokumen resminya, Terbentuknya TKNM bertujuan, ”Mencari persatuan lahir batin antara segenap kaum Muslimin, terutama sekali yang tinggal di Hindia Belanda, dan untuk menjaga dan melindungi Kehormatan Agama Islam, kehormatan Nabi Muhammad saw, dan kehormatan kaum Muslimin.”
Pada 1929, M. Natsir, A. Hassan, dan kawan-kawan yang tergabung dalam Komite Pembela Islam melakukan protes keras terhadap pelecahan yang dilakukan oleh seorang pendeta bernama A.C. Christoffels, yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad tak lebih hanya sebagai jalan pembuka bagi kebenaran Kristus yang sebenarnya. Pendeta itu juga menghina junjungan umat Islam sebagai sosok yang memiliki nafsu syahwat yang besar.
Natsir sebagai intelektual muda yang fasih berbahasa Belanda, kemudian membuat bantahan tertulis berjudul Mohammad als Profeet. Di sinilah, menurut sejarawan Belanda Karel Steenbrink, debut pertama Natsir, yang ketika itu berusia 22 tahun, dalam melakukan pembelaan terhadap Islam secara terbuka.
Dua tahun setelah itu, penghinaan terhadap Islam tak kunjung reda. Pada 1931, seorang pastur Katolik Ordo Jesuit, J.J. Ten Berge, menulis artikel berisi penghinaan terhadap Al-Qur’an. Tulisan tersebut dimuat di Jurnal Studien, dengan bahasa yang sangat provokatif, menyebut Al-Qur’an sebagai koleksi dongeng-dongeng, cerita buatan, dan cerita-cerita yang disalahpahami. Lagi-lagi, Natsir dan aktivis Komite Pembela Islam tergerak untuk melakukan pembelaan terhadap penghinaan yang dilakukan Ten Berge ini.
Natsir kemudian membuat artikel berjudul Qur’an an Evangelie yang dimuat di Majalah Pembela Islam, No.33 Tahun 1931. Natsir menyatakan, “Sesungguhnya sudah cukup lama kita kaum Islam mendengarkan dan membiarkan segala macam serangan kepada Islam.Ada yang dengan cara “halus” dan ada yang cara kasar; dari pihak politik sebagai Snouck Hurgronje, sampai pada Kristen Protestan Kraemer dan Ds. Christoffels; dari jahil murakkab Oei Bee Tai sampai kepada Kristen Katholiek Ten Berge, belum lagi murid-muridnya politikus Kristen Protestan dan Katholiek itu yang menamakan diri mereka “neutraal agama.”
Atas berbagai pelecehan itu, Komite Pembela Islam dan Majalah Pembela Islam yang dipimpin oleh A. Hassan, menantang debat secara terbuka kepada Pastor Tan Berge. Majalah Pembela Islam melayangkan surat tantangan debat terbuka yang dimuat dalam majalah tersebut, dengan menyatakan bahwa perdebatan bisa dilakukan, “Di tempat mana yang dia sukai, dan dalam bahasa apa yang dia maui, dan kalau dia bersedia datang ke Bandung, ongkos jalan dan ongkos penginapannya akan dibayar oleh Pembela Islam…” demikian tantangan itu.
Pada 1937, ketika Majalah Bangoen yang dipimpin oleh seorang anggota Teosofi, Siti Soemandari, banyak memuat artikel yang melecehkan Rasulullah, maka umat Islam bersama para aktivis muda yang tergabung dalam Jong Islamietend Bond (JIB) melakukan Rapat Akbar Umat Islam di Batavia pada 18 Desember 1937.
Natsir dan kawan-kawan yang aktif dalam Komite Pembela Islam, juga melakukan protes keras terhadap Majalah Bangoen dan menyebarkan pamflet secara terbuka, yang berisi seruan dan ajakan untuk membela kehormatan Islam.
Suatu ketika, Datuk Alimin Sati, sahabat karib Natsir datang menemui A. Hassan. Diceritakannya soal maraknya pelecehan terhadap Islam, yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam.
Kepada Datuk Alimin, A. Hassan mengatakan, “Bila Tuan dengar Islam direndahkan orang di depan Tuan, maka saat itu juga dengan cepat Tuan harus berpikir; Tuan orang Islam apa tidak? Kalau Tuan merasa bukan orang Islam, masa bodo…habis perkara! Tak ada persoalan lagi. Tapi kalau Tuan merasa seorang Islam, maka Tuan harus berpikir babak kedua; Siapa lagi yang akan bela Islam di saat seperti itu selain Tuan? Bulatkan tekad, Islam harus Tuan bela!”
Jadi jangan kagetan, melek literasi, baca sejarah, jangan seolah-olah menuding bahwa pembelaan terhadap kehormatan Rasulullah di negeri ini baru sekarang saja. Apalagi dikait-kaitkan bahwa itu hanya kerjaan FPI yang ingin tetap eksis dan cari sensasi.
Berjuta2 nyinyiran, tak akan mampu meruntuhkan semangat juang membela marwah Islam. Kehormatan Rasulullah itu harus dibela, apapun resikonya!
Arta Abu Azzam
Editor Senior di salam-online.com
Opini yang terkandung dalam artikel ini adalah milik penulis sendiri, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial suaramuslim.net