Tsunami Itu Bernama Aini

Tsunami Itu Bernama Aini

Suaramuslim.net – Setiap hari Sabtu, terutama pada saat lengang waktu, saya mengaktifkan diri untuk terus belajar. Saya terdaftar sebagai satu anggota klub kajian; Studica Islamica, kajian Filsafat Al Quran di Jakarta, yang biasanya diselenggarakan setiap hari Sabtu, acara dimulai pagi hari jam 8 sampai jam 10.

Saya gembira mengikuti kegiatan tersebut di samping menambah ilmu, juga bisa bertemu dengan orang-orang tua dan pemuda-pemuda yang bersemangat. Tentu yang saya maksud adalah semangat untuk membangun diri dan peradaban sosial yang lebih baik.

Karenanya, tadi pagi saya ajak anak bungsu yang baru berumur 13 tahun, dan masih duduk di kelas 8. Namanya Aini Adha Pakuan Syahida.

Mengajak anak ke tempat diskusi orang dewasa, saya contoh dari kebiasaan ayah saya yang suka mengajak saya bersilaturahim ke koleganya.

Saat kecil saya suka nonton ayah berdiskusi, dan bagi saya itu tontonan menarik. Seringkali hasil tontonan itu saya sadur ketika saya berbincang dengan teman.

Sepulang bertemu koleganya, ayah sering menyampaikan siapa orang barusan yang diajak berdiskusi. Saya harus menahan dada yang berdegup, karena ayah menceritakan hal-hal hebat tentang sahabatnya itu. Ya, ayah selalu bercerita hal yang baik tentang seseorang, hampir tak pernah saya dengar ayah mengabarkan keburukan seseorang koleganya.

Mungkin ini sengaja ayah lakukan, agar saya tahu bahwa ia pun adalah ayah yang hebat dengan memberikan gambaran kehebatan sahabat-sahabatnya.

Ayah memang pandai membuatku kagum padanya, ia selalu bermain ala intelijen untuk merangsang reaksiku. Mungkin pula, itu tabiatnya sebagai militer, di mana perang harus dimenangkan walau dengan seutas tali.

Bagi saya silaturahim ayah pada kawannya di hadapan saya adalah seutas tali untuk memenangi hati anaknya.

Ketika saya sudah dewasa, dan ayah sudah meninggal, (saya ditinggal ayah saat usia 18 tahun), saya suka tersenyum-senyun mengingat kenangan itu.

Ada dua hal yang meresap dari kenangan itu, pertama kekagumanku pada ayah yang hebat. Kedua membayangkan wajah-wajah sahabat ayah yang menginspirasi. Silaturahim gaya ayah, itulah universitasku yang pertama.

Saya berharap kelak Aini juga punya kenangan indah tentang ayahnya, seperti kenanganku bersama kakeknya.

Namun dunia ini sering tak terduga, termasuk dalam hal tentang teguran. Tadi pagi kami mendiskusikan tentang teguran dan bencana alam. Satu ayat kami coba simak perihal teguran, yaitu ayat yang berbunyi,

“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman” (QS Adz-Dzariyaat: 55).

Saat pulang pengajian, dalam keadaan hanya berdua, saya dan Aini. Saya menyetir dan saya lihat ia asyik dengan gadgetnya di kursi sebelah. Saya tak tahu apa yang ada dalam benaknya.

Terselip dalam bayangan, meski hanya pertanyaan dalam hati, termunculkan riya di hadapan anakku; adakah ia bangga padaku? Setelah kuajak bertemu sahabat-sahabatku yang hebat itu.

Sampailah saya pada saat yang tidak saya duga. Aini dengan santai, dengan masih memegang gadgetnya, menyampaikan sesuatu pada saya.

“Pak nampaknya probabilitas bapak untuk bisa masuk surga kecil sekali! Kalau pun bisa nampaknya ada pada giliran yang belakangan, itu pun di surga paling pinggir!”

Saya agak kaget dengan statemennya. Dengan pura-pura tetap tenang dan menjaga wibawa, lalu saya tanya kepadanya.

“Mengapa demikian?”

Aini menjawab dengan santai seperti umumnya anak milenial pada orangtuanya.

“Bapak dikarunai ilmu oleh Allah, tapi tak banyak yang bapak lakukan untuk memperbaiki negeri ini dan akhlak anak-anak bangsa.”

Aini tetap dengan gadgetnya, nampak ia memahami kalau aku tak siap dengan pernyataannya.

Lirikan matanya terlalu menghunjam untukku. Cuma elusan jemariku di kepalanya yang sedikit membuatku bisa menjawab pernyataan itu.
Kami pun sama-sama terdiam.

Sambil menatap jalan di Jakarta yang tak terlalu macet di hari ini. Kata-kata Aini adalah tsunami dan letusan Krakatau sebenarnya yang saya rasakan. Aini telah memuntahkan gelombang dan laharnya padaku. Peringatan itu datang dari yang paling dekat dengan darah dagingku sendiri.

Aku harus melandaikan hatiku, aku putuskan untuk sejenak minum kopi di salah satu cafe di rest area jalan tol.

Rest Area Jagorawi.
29 Desember 2018.

Penulis: Yudha Heryawan Asnawi

*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment