Suaramuslim.net – Media sosial diramaikan dengan adanya tuduhan kebohongan publik yang dilakukan oleh Petahana dalam acara debat calon presiden (Minggu, 17/2/2019). Setidaknya ada beberapa kebohongan yang sudah tersebar dan dijadikan konsumsi publik. Tuduhan kebohongan ini bukan hanya menjadi polemik yang sulit dibendung, tetapi juga menjadi bahan perdebatan yang terus mengkristal untuk saling menjatuhkan lawan politik.
Dalam tuduhan itu, Jokowi dianggap kurang valid dalam mengambil data, dan atau berpendapat yang tidak sesuai dengan fakta. Selama pemerintahannya dikatakan tidak ada kebakaran hutan, kecilnya angka impor beras, dan tidak adanya konflik dalam pembebasan lahan untuk pembangunan infrastruktur jalan tol. Kalau memang benar ada kebohongan publik, sebagaimana yang dituduhkan, maka itulah yang disebut dengan salah satu strategi perang total yang sedang dijalankan oleh kubu Jokowi. Hal ini semata-mata dilakukan guna memperoleh simpati publik dan strategi untuk mengecilkan peran lawan debat.
Momentum Kampanye dan Pembohongan Publik
Disadari atau tidak bahwa debat capres bukan hanya sebagai momentum untuk promosi program, visi, dan misi dirinya sebagai calon presiden, tetapi juga untuk menjatuhkan lawan. Hal ini guna menarik atau memperoleh simpati publik agar memilih dirinya dalam pemilihan presiden yang akan digelar. Dalam debat itu, capres bisa melakukan apa saja, termasuk kebohongan publik, guna meraih simpati dari publik. Apa yang dilakukan oleh Jokowi, sebagaimana yang diklaim oleh lawan politiknya, telah menyebut data dan angka yang salah.
Beberapa pernyataan Jokowi bisa dikatakan sebagai strategi pemenangan dan bisa jadi menaikkan elektabilitas. Pertama, pernyataan tentang tidak adanya kebakaran hutan selama kepemimpinannya, jelas memperoleh simpati yang luar biasa dari masyarakat. Karena Jokowi dianggap berhasil dan bekerja keras sehingga bisa mencegah kebakaran hutan yang selama pemerintah sebelumnya menjadi problem besar. Padahal, kenyataan di lapangan menunjukkan hal yang berbeda, di mana masih terjadi kebakaran hutan selama masa kepemimpinannya.
Kedua, kecilnya angka impor beras. Pernyataan ini jelas diungkapkan dan menjadi kebanggaan karena menyebut angka impor beras yang sangat kecil angkanya, dan kuantitasnya menurun dari tahun ke tahun. Sementara kenyataan di lapangan menunjukkan fakta yang bertolak belakang. Setidaknya ada dua kebohongan, yakni kebohongan menyebut angka yang dikecilkan, dan yang kedua, telah melakukan kebohongan karena bertentangan dengan janjinya saat kampanye yang tidak akan mengimpor beras.
Ketiga, tidak adanya konflik dalam pembebasan lahan untuk pembangunan infrastruktur jalan tol. Bahkan Jokowi menyebut telah memberikan ganti untung terhadap warganya yang tanahnya tergusur. Padahal dalam kenyataannya, tidak sedikit terjadi konflik dalam pembebasan lahan tol dengan berbagai tragedi, di antaranya uang ganti yang sangat rendah, atau pengosongan lahan tanpa diawali dengan uang pengganti sebelum pindah.
Tiga poin ini telah tersebar luas di masyarakat dalam forum debat capres, dan telah disampaikan ke publik, namun bantahannya terhadap kebohongan itu hanya dibahas di media sosial, dan tidak semua masyarakat mengakses hal itu. Sehingga masyarakat yang tidak mengikuti media sosial akan menangkap bahwa pemeritahan ini telah bekerja maksimal dan berhasil dalam kepemimpinannya.
Sementara semua itu bertentangan dengan kenyataan empirik. Penerapan strategi pencitraan benar-benar berhasil diperankan, masyarakat benar-benar terpukau dengan penampilannya yang meyakinkan, termasuk meyakinkan dalam penyampaian data-data keberhasilannya. Meskipun hal itu dinilai ada unsur kebohongan publiknya.
Kebohongan Publik dan Perang Total
Apa yang dilakukan oleh Jokowi, kalau merujuk pada tuduhan melakukan kebohongan publik, bisa dikatakan sebagai salah satu wujud menerapkan “perang total” dalam menghadapi Pilpres 2019 ini. Meskipun terminologi “perang total” itu ditafsirkan oleh tim Petahana dengan tafsir yang berbeda-beda. Perang total ditafsirkan bukan menghalalkan segala cara, tetapi menyampaikan sesuatu harus berbasis data dan fakta.
Dalam perang total menekankan pentingnya meraih sasaran kampanye secara riil hingga pelosok desa dan rumah calon pemilih. Bahkan perang total dimaknai sebagai keinginan untuk memperoleh kemenangan besar, bukan kemenangan tipis, dengan cara mengerahkan seluruh sumber daya yang dimiliki, seperti partai politik, relawan, dan para pendukungnya.
Namun dalam realitas empirik, perang total setidaknya sebagai respon atas semakin menurunnya elektabilitas Petahana. Sebagai Petahana, Jokowi akan merasa aman bila suaranya di atas kisaran 60 persen, tapi kenyataanya masih sekitar 52-56 persen. Ketika memaknai perang total, maka akan memaksimalkan sumber daya yang dimiliki secara optimal, dengan menggerakkan seluruh kekuatan partai politik, relawan dan seluruh komponen pendukungnya.
Dalam konteks demokrasi, istilah perang total bisa dianggap sebagai upaya mengerahkan segala cara agar memperoleh kemenangan. Apa yang dilakukan oleh Petahana dengan menyampaikan kebohongan publik bisa dikategorikan sebagai upaya perang total, yang ujungnya adalah untuk memenangkan pertarungan pada 17 April 2019.*
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net