Lanjutan dari artikel Tugas Pokok Suami dan Istri (1)
Suaramuslim.net – Karena suami telah memberikan tanggung jawabnya kepada istri dan keluarganya, maka istri yang salihah semestinya memberikan dua hal juga kepada suami dan keluarganya, yaitu;
1. Qanitat, taat kepada suaminya selama tidak memerintahkan kepada kemaksiatan.
2. Hafizat, menjaga kehormatan diri dan keluarganya.
Menurut As-Saddi dan lain-lainnya, makna yang dimaksud ialah wanita yang memelihara kehormatan dirinya dan harta benda suaminya di saat suaminya tidak ada di tempat.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ إِسْحَاقَ، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعة، عَنْ عُبيد اللَّهِ بْنِ أَبِي جَعْفَرَ: أَنَّ ابْنَ قَارِظٍ أَخْبَرَهُ: أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “إِذَا صَلَّت الْمَرْأَةُ خَمسها، وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَها؛ وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا: ادخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ”.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai’ah, dari Abdullah ibnu Abu Ja’far; Ibnu Qariz pernah menceritakan kepadanya bahwa Abdur Rahman ibnu Auf pernah menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda, “Seorang wanita itu apabila mengerjakan salat lima waktunya, puasa bulan (Ramadan)nya, memelihara kehormatannya, dan taat kepada suaminya, maka dikatakan kepadanya, “Masuklah kamu ke dalam surga dari pintu mana pun yang kamu sukai.”
Hadis ini diriwayatkan secara munfarid (menyendiri) oleh Imam Ahmad melalui jalur Abdullah ibnu Qariz, dari Abdur Rahman ibnu Auf.
Berikutnya, apabila terjadi masalah dalam keluarga, istri tidak menjalankan tugas pokoknya, yaitu melakukan nusuz (keangkuhan dan pembangkangan kepada suami), maka ada tiga langkah yang dapat ditempuh oleh suami untuk mempertahankan mahligai rumah tangganya.
A. Menasihatinya dengan penuh kelembutan (فعظوهن)
Hindari kata-kata yang membuat sakit hati istri dalam menasehatinya, misal dengan mengungkit kejelekannya.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً، إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ
“Tidak boleh seorang mukmin menjelekkan seorang mukminah. Jika ia membenci satu akhlak darinya maka ia ridha darinya (dari sisi) yang lain.” (HR Muslim).
B. Menghindari hubungan intim, pisah ranjang (واهجروهن في المضاجع)
Hal itu dilakukan supaya bisa menjadi jeda kontemplasi dan introspeksi bagi istri supaya mengambil pelajaran. Tujuannya adalah menunjukkan kepada istri bahwa apa yang dilakukan itu buruk; agar bisa berubah kepada yang lebih baik.
Karena bagi perempuan, ditinggal sendirian meski dalam satu rumah bahkan masih satu ranjang (tapi tidak disapa), adalah hal yang sangat menyiksanya. Dan hal itu bisa menjadi pelajaran berharga baginya untuk berubah ke arah yang lebih baik.
C. Memukulnya dengan pukulan cinta, yaitu pukulan yang tidak melukainya
Terkait memukul ini para ulama telah memberikan batasan bahwa yang dimaksud memukul adalah memukul dengan tidak melukai fisik dan muka, meski menyakitkan perasaan. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ
“Dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukai.” (HR Muslim).
Bahkan ketika ada kaum wanita yang mengadu kepada Nabi Muhammad tentang perihal suaminya yang memukul diri mereka, maka Nabi menjawab dengan ungkapan, “Sesungguhnya mereka itu (yang suka memukul isterinya) bukan suami yang baik bagi kalian.” (HR Abu Dawud, Ibnu Majah dll).
Nabi pun memberikan penegasan;
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَِهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ ِلأَهْلِي
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada isterinya dan aku adalah yang paling baik kepada isteriku” (HR Ahmad, At Tirmidzi dll).
Karena itu Sayidina Umar akhirnya berubah sikap kepada istrinya seperti dikisahkan dalam kitab “Nurul Abshar Fi Manaqib Ali Bait An Nabi Al Akhyar karya Asy Syablanji Al Mishri” sebagai berikut.
Dikisahkan bahwa ada seorang laki-laki yang ingin mengadu kepada Umar bin Khattab tentang istrinya. Namun Umar ternyata juga dimarahi oleh istrinya (tanpa sedikit pun membalasnya, beliau menerima marah istrinya, padahal Sayidina Umar adalah Khalifah yang disegani kawan mau pun lawan, bahkan setan pun takut kepadanya).
Maka laki-laki itu pulang, namun dipanggil sama Umar. Umar berkata kenapa engkau pulang sebelum menyelesaikan hajatmu?
Laki-laki itu berkata, bagaimana mungkin saya meminta solusi menghadapi istriku yang suka marah, kalau lihat engkau tidak berbuat apa pun dengan marahnya istrimu?
Maka Umar berkata memberikan alasan kenapa ia diam saja ketika dimarahi istrinya;
انها طباخة لطعامي و خبازة لخبزي و غسالة لثوبي و رضاعة لولدي
Dia yang memasak untuk makananku. Dia membuatkan roti untukku. Dia yang menyucikan bajuku. Dia yang menyusui/mengasuh anakku.
“Bagaimana mungkin aku harus menambahi bebannya dengan marahku?” pungkas Umar.