Oleh: Barri Pratama (Wakil Ketua Umum PP KAMMI)
Sebagai penggemar film saya yakin anda pasti sudah nonton Deepwater Horizon. Kisah nyata tragedi besar dalam bisnis minyak di kilang lepas pantai Teluk Meksiko, 2010. Perusahaan besar British Petroleum menjadi induk perusahaan yang bertanggungjawab atas kejadian yang menewaskan 11 pekerja dan 17 lainnya mengalami luka-luka. Dalam durasi 107 menit, Deepwater Horizon mengisahkan tentang bencana yang terjadi dengan perusahaan yang hanya berfikir penghematan anggaran dan mengejar target, akan tetapi mengabaikan keselamatan.
Tumpahan minyak Teluk Balikpapan memang tidak dapat disamakan dengan Deepwater Horizon. Kejadian di Teluk Meksiko tersebut merupakan ledakan dari sumur pengeboran minyak sehingga mengakibatkan tumpahan minyak terbesar dalam sejarah Amerika Serikat, 4 juta barrel, sedangkan tumpahan minyak Teluk Balikpapan merupakan tumpahan dari patahnya pipa bawah laut Terminal Lawe-Lawe ke fasilitas Refinery Balikpapan. Kebocoran 40.000 barrel Teluk Balikpapan pun masih jauh dari 4 juta barrel Teluk Meksiko, namun tetap memberikan dampak yang buruk terhadap masyarakat, lingkungan dan biota laut di sekitar teluk, belum lagi kejadian di Teluk Balikpapan telah merenggut korban nyawa lima orang.
Tumpahan sebanyak lebih kurang 40.000 barrel tidaklah sedikit, berdasarkan The International Tanker Owner Pollution Federation, tumpahan minyak di atas 700 Ton masuk dalam kategori besar. Begitu juga pendapat Koordinator Publish What You Pay Indonesia (PWYP), Maryati Abdullah, menegaskan bahwa peristiwa ini masuk dalam kecelakaan tingkat fatal dalam sektor migas. Maryati mendesak agar pihak berwenang menelusuri lebih lanjut penyebab tumpahan minyak tersebut, dan agar hasil penyelidikan disampaikan ke pulik mengingat banyak pihak yang dirugikan akibat peristiwa tersebut.
Pelajaran Deepwater Horizon adalah tingginya resiko dalam bisnis minyak menuntut industri menerapkan standar operasional dengan sistem keamanan dan kewaspadaan super ketat.
Kronologi
Teluk Balikpapan, Sabtu pagi (31/3) pukul 10:00 WITA. Kobaran api yang membumbung tinggi dan akhirnya dapat dipadamkan beberapa jam kemudian setelah melibatkan tim gabungan pemadam kebakaran dari Pertamina RU V, Chevron, Pertamina Hulu Mahakam (PHM) dan BPBD Balikpapan.
Saat itu Pertamina mengelak bahwa sumber tumpahan minyak tersebut berasal dari aktivitas korporasi mereka. Pertamina berdalih Kilang Pertamina Balikpapan tidak memproduksi jenis minyak tersebut dengan membawa hasil uji laboratorium Pertamina yang menyebutkan tumpahan minyak tersebut berjenis fuel oil (bahan bakar kapal). Pertamina menepis sangkaan dan turut menyampaikan hasil pemeriksaan instalasi pipa bawah laut Pertamina masih aman, alias tidak ditemukan kebocoran.
Diketahui bahwa sebelum kobaran tersebut terjadi, tumpahan minyak sudah ada sejak pukul 03:00 dini hari. Artinya ada rentang waktu yang cukup lama, lebih kurang 7 jam hingga kejadian yang merenggut lima nyawa orang tersebut terjadi.
Selang beberapa hari kemudian, tepatnya Senin (2/4) Pertamina baru menyadari adanya indikasi patahan pipa dan dilanjutkan dengan sight sonar scan pada Selasa pagi (3/4). Sore hari, Pertamina menemukan hasil tersebut dan mengakui bahwa sumber tumpahan minyak berasal dari pipa bawah laut yang menghubungkan terminal Lawe-Lawe dengan fasilitas Refinery Balikpapan. Pipa diameter 20 inchi dengan ketebalan 12 milimeter tersebut mengalami patah dan bergeser hingga 100 meter dari posisi semula. General Manager Pertamina RU V Balikpapan, Togar MP Manurung menjelaskan bahwa patahnya pipa bukan karena operasional aktivitas korporasi, melainkan unsur eksternal force.
Dampak Lingkungan
Hasil Laporan Tim Penanganan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Luasan area terdampak akibat tumpahan minyak diperkirakan mencapai 7000 ha, dengan panjang pantai terdampak di sisi Kota Balikpapan dan Kabupaten Penajam Pasir Utara mencapai 60 Km. Kemudian berdasarkan data lapangan, dampak terhadap ekosistem dan biota laut diketahui dengan matinya tanaman mangrove dan beberapa hewan laut (ikan, kepiting, dan yang lain) di sekitar area tumpahan minyak.
Selain itu aktivitas masyarakat pun terganggu. Masyarakat mengeluhkan mual dan pusing akibat bau minyak yang menyengat selama beberapa hari, khususnya di area yang permukimannya masih terpapar tumpahan minyak.
Adapun Kunjungan Kerja Komisi VII DPR (8-10/4) mencatat beberapa permasalahan masyarakat yang belum terungkap dan belum diselesaikan akibat dampak tumpahan minyak. Antara lain 10 set jaring ikan, 600 bubu milik KUB Sumber Bahagia dan KUB Semangat Baru di Kariagau, dan sebanyak 45 kapal serta 181 nelayan yang tidak bisa melaut hingga beberapa hari akibat dari tumpahan minyak tersebut.
Tanggung Jawab Siapa?
Paska Kunjungan Kerja Spesifik Komisi VII DPR di Balikpapan, Selasa sore (10/4) langsung ditindak lanjuti dengan Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Pertamina. Sayangnya, kehadiran Pertamina yang diwakili oleh Direktur Keuangan, Arief Budiman, membuat DPR tidak puas dan membatalkan rapat dan menaikkan tingkat pembahasan pada Rapat Kerja dengan menghadirkan Kementerian terkait seminggu kemudian. Menurut Herman Khaeron selaku pimpinan rapat, pertemuan RDP dibatalkan dan dinaikkan menjadi Rapat Kerja sehubungan yang mempresentasikan Pertamina tidak memiliki kapasitas untuk mengambil keputusan strategis mengenai kesepakatan penyelesaian masalah termasuk besaran ganti rugi terhadap korban. Ketidakhadiran Direktur Utama Pertamina Elia Massa Manik tidak lain dikarenakan menghadiri forum Asia-Afrika di Bali.
Eksternal Force yang diutarakan General Manager Pertamina RU V Balikpapan, Togar MP Manurung memang tidak ditujukan secara tegas kepada siapa. Akan tetapi beberapa pemaparan informasi menyampaikan bahwa pergeseran pipa bawah laut milik Pertamina tersebut tidak lain dikarenakan jangkar kapal Ever Judger. Kapal berbendera Panama berasal dari China berawak kapal asing yang bermuatan batubara. Berbagai spekulasi mengarah pada pertanyaan siapa pemilik kapal tersebut sehingga pemeriksaan Polda Kalimantan Timur tidak begitu terang dalam proses penyelidikan.
Wakil Menteri ESDM, Arcandra Tahar menjelaskan tempat lokasi putusnya pipa telah ditetapkan menjadi Obyek Vital Nasional (Obvitnas) untuk melindungi instalasi, kapal-kapal, dan atau alat-alat lain terhadap gangguan pihak luar. Arcandra menyatakan berdasarkan PP 17 Tahun 1974, daerah tersebut merupakan daerah terlarang dimasuki untuk semua orang, kapal, dan lain-lain. Arcandra pun menegaskan bahwa daerah putusnya pipa di Teluk Balikpapan telah ditetapkan sebagai Daerah Terbatas Terlarang (DTT) sesuai UU nomor 1 Tahun 1973 yang mencantumkan adanya larangan membuang/membongkar jangkar untuk seluruh kapal dan sejenisnya.
Selain itu, keberadaan pipa yang tidak memiliki sistem antisipasi kewaspadaan dini atas kebocoran pipa pun menjadi pertanyaan. Pipa yang terbentang di dalam laut menyambungkan Terminal Lawe-Lawe menuju Kilang Balikpapan tidak dicurigai sejak awal kebocoran tumpahan minyak terjadi. Pertamina bahkan menyatakan di awal dengan yakin bahwa tumpahan minyak bukan dari bagian aktivitas korporasi. Lantas bagaimana pengawasan aliran minyak mentah ( crude oil) saluran pipa dari terminal hingga kilang, tidakkah ada kecurigaan jika terjadi penurunan stok atau perbedaan jumlah keluar dan masuk saluran? Berdasarkan sumber yang tidak bisa disebutkan ada kecurigaan lain bahwa pipa tersebut memang tidak memiliki pengawasan dini yang canggih dikarenakan menjadi pintu kebocoran ilegal.
KLHK menutut ganti rugi. Tidak adanya sistem pemantauan pipa otomatis dan tidak memiliki sistem peringatan dini menjadi evaluasi besar. Dampak lingkungan dan kerugian yang ada pada masyarakat akan diberikan kepada Pertamina untuk menjadi tanggungjawab korporasi. Tanggungjawab yang akan dituntutkan meliputi tanggungjawab perdata dan pidana. Sebelumnya KLHK tentu akan menertibkan sanksi administrasi, dan dilanjutkan dengan proses penegakan hukum lingkungan hidup melalui penyelidikan berkoordinasi dengan Polda Kalimantan Timur.
Sikap KAMMI
Sikap resmi organisasi Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (PP KAMMI) telah ditetapkan Ketua Umum Irfan Ahmad Fauzi. Setidaknya PP KAMMI memberikan beberapa poin krusial untuk segera dilaksanakan pemegang kebijakan terkait, berkaitan dengan tumpahan minyak Teluk Balikpapan.
1. PP KAMMI menuntut keras tanggungjawab penuh Pertamina dan yang terlibat atas seluruh kerugian lingkungan dan korban masyarakat yang terkait, sejauh ini kerugian masih belum dapat dihitung secara pasti/final karena masih dalam penyelidikan,
2. PP KAMMI menegaskan pengawasan dan penyelidikan yang dilakukan, baik oleh Polda Kalimantan Timur, Eksekutif maupun Legislatif harus tuntas dan terbuka,
3. PP KAMMI akan turut andil dalam pencarian informasi tindak ilegal korporasi baik berkaitan dengan pipa bawah laut maupun keberadaan kapal Ever Judger guna penyikapan organisasi berikutnya,
Adapun sikap organisasi akan turut diikuti oleh Pengurus Wilayah (PW) KAMMI dan Pengurus Daerah (PD) KAMMI terkait, terdekat dan terdampak.
Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net