Suaramuslim.net – Kata “ulama” memang berasal dari bahasa Arab dan semula merupakan bentuk jamak dari kata alim, yang berarti orang yang mengetahui atau orang pandai. Orang yang ahli dalam ilmu apa pun dapat dikategorikan sebagai ulama.
Istilah ini kemudian berkembang dan tepatnya menciut sehingga lebih banyak digunakan untuk menyebut mereka yang ahli ilmu agama. Bagi mereka yang membaca literatur kitab kuning, istilah ulama umumnya dipahami dalam konotasi yang tidak terbatas untuk menunjuk orang-orang yang berilmu agama sekalipun. Sebab, untuk dapat disebut sebagai ulama agama, pengamalan ilmu menjadi syarat mutlak dan utama.
Pemahaman masyarakat tentang ulama menjadi rancu kemungkinan karena adanya kerancuan dalam memahami antara ulama dalam pengertian bahasa dan istilah, ditambah dengan perbedaan dalam menafsirkan istilah ulama itu sendiri. Fenomena keulamaan yang muncul saat ini akibat kerancuan pemahaman tersebut.
Di Indonesia lebih rancu lagi. Pasalnya, kata ulama yang berasal dari bahasa Arab ini sudah masuk ke dalam perbendaharaan bahasa Indonesia dengan pengertian sendiri. Kata ulama dalam bahasa Indonesia sebagai bentuk tunggal, bukan jamak, memiliki arti orang yang ahli dalam hal atau dalam pengetahuan agama Islam. (Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Hal tersebut masih ditambah lagi dengan fakta bahwa dalam kenyataan sosial, tidak sebagaimana gelar akademik, gelar ulama (yang sering diidentikkan dengan kiai), sepertinya bisa disandang siapa saja dan boleh diberikan kepada siapa saja. Setiap komunitas masyarakat mempunyai kriteria ulamanya sendiri. Bahkan pemerintah dan pers, dua kekuatan pembentuk opini, dapat dengan mudah dan seenaknya memproduksi ulama.
Oleh karena itu, Anda akan mendengar istilah-istilah baru yang sering terdengar lucu seperti istilah ulama plus, ulama politik, ulama karbitan, ulama selebritis, ulama mbeling dan masih banyak lagi yang lain.
Hal ini berbeda dari dua kategori ulama, yang penah dikenalkan oleh Al-Ghazali yaitu ulama dunia (ulama su`) dan ulama akhirat. Ulama dunia adalah mereka yang menggunakan ilmunya bukan lillahi ta’ala dan hanya demi dan untuk hal-hal lain bersifat duniawi, termasuk mencari kedudukan di mata umat atau hanya mencari popularitas semata.
Ulama yang disebut sebagai waratsatul anbiya (pewaris para Nabi) tentunya adalah mereka yang mewarisi semangat perjuangan menegakkan kebenaran, sikap dan perilaku nabi. Para nabi mempunyai ciri dominan yang seharusnya juga dimiliki oleh para ulama pewarisnya. Antara lain yaitu takwa kepada Allah, penuh kasih sayang terhadap umat dan mencontohkan teladan baik untuk umat, serta menegakkan kebenaran dan menyatakan yang haq.
Allah subhanahu wa ta’ala memberikan karakteristik utusan-Nya, Nabi Muhammad dalam Al Quran sebagai berikut.
“Sungguh telah datang kepada kalian seorang Rasul dari lingkungan kalian, yang dia merasa berat oleh penderitaan kalian, penuh perhatian kepada kalian, serta sangat penyayang dan penuh belas kasihan terhadap orang-orang yang beriman.” (QS 9:128).
Di samping sekian banyak ulama su`, sejarah juga mencatat banyak tokoh ulama “sungguhan” yang mewarisi sikap hidup para nabi dan mendasarkan sikap perilaku dan perjuangan mereka dalam menegakkan kebenaran karena sayang dan belas kasihan, beramar makruf nahi munkar juga dilandasi oleh kasih sayang. Karena itulah, mereka tidak takut dicemooh, dicerca atau bahkan sampai dimusuhi penguasa sekalipun.
Banyak ulama, karena membela dan menegakkan kebenaran, difitnah dan harus meringkuk di penjara atau malah dibunuh oleh penguasa zalim. Kecuali mereka yang mampu bersiasat dalam menjalankan peran “kenabian dan kerasulan” mereka.
Ulama, ketika kekuasaan menjadi panglima, agaknya memang terbagi dua sebagaimana disebutkan oleh Imam Al-Ghazali. Ulama su`, karena terlalu senang akan dunia dan takut mati, memilih dekat-dekat dengan penguasa. Adapun, ulama yang tetap mempertahankan kebenaran yang diyakininya kemudian memilih menjadi ulama oposan.
Disadur dari tulisan K.H. A Mustofa Bisri bertajuk “Ulama Itu” dalam pengantar buku Ulama-ulama Oposan karya Subhan SD, Pustaka Hidayah, Bandung: April 2000.