Suaramuslim.net – Pada bulan Jumadil Tsaniyah tahun 8 Hijriah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, pasca Perang Mu`tah, mengutus ekspedisi (sariyyah) ‘Amru bin ‘Ash ke daerah Dzatus Salasil. Sasarannya adalah kabilah Qudha’ah yang ingin menyerang umat Islam (Ibrahim al-‘Aly, Shahīh al-Sīrah al-Nabawiyyah, 399).
Dinamakan Dzatus Salasil karena saat bertempur, orang-orang musyrik satu sama lain saat itu saling mengikat para pasukannya agar tidak lari dalam medan tempur. Ada juga yang berpendapat karena di lokasi itu ada sumber air yang bernama as-Salsal. Ibnu Sa’ad secara khusus menyebutkan lokasinya di belakang Wadil-Qura; sementara jarak antara lokasi dan Madinah adalah 10 hari.
Pada pertempuran itu Rasulullah mengirim 300 pasukan bersama Amru bin ‘Ash. Mengingat jumlah musuh sedemikian banyak dibandingkan pasukan Islam, maka Amru bin Ash meminta tambahan pasukan.
Untuk menunjang pasukannya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim pasukan sebanyak 200 orang yang di dalamnya ada Abu Bakar dan Umar. Nah, ketika bala tentara itu sudah sampai lokasi, ada dinamika di antara mereka.
Di antara mereka ada yang mengusulkan menyalakan api (mungkin agar terlihat banyak), namun Amru tidak setuju. Bahkan, ketika Abu Bakar –orang yang paling dicintai Nabi dari kalangan laki-laki—ketika menyampaikan itu juga tegas ditolak. Meski demikian, apakah penolakan Amru ini membuat Abu Bakar naik pitam lantaran posisi beliau yang demikian tinggi? Tidak. Beliau (Abu Bakar) pandai menata hati, ukhuwah wajib dijaga. Dan ketika Rasulullah menunjuk Amru, pasti ada sesuatu yang penting dalam dirinya.
Dalam lapangan dakwah terkadang bisa jadi didapati orang yang mentang-mentang memiliki posisi tinggi, kemudian dengan seenaknya meremehkan orang lain; atau gengsi ketika dinasihati atau diingarkan oleh orang yang di bawahnya. Namun pada peristiwa Dzatus Salasil Abu Bakar mencontohkan ketawaduan dan kebesaran hati yang luar biasa. Ketaatan keduanya kepada Rasulullah terasa ringan dipimpin oleh orang yang baru masuk Islam.
Pada kenyataannya, strategi Amru bin Ash sukses dan membuat musuh lari tunggang langgang. Dalam kondisi demikian, ada usulan lagi agar musuh dikejar. Amru pun menolak lagi. Rupanya, sepulang di Madinah, kejadian itu dilaporkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dikatakan kepada Rasulullah bahwa saat perang di Dzatus Salasil, Amru menolak usulan penyalaan api, pengejaran musuh dan bahkan dia sedang junub kemudian mencukupkan diri dengan tayammum lalu menjadi imam shalat Shubuh.
Dalam laporan ini ada sisi menarik yang bisa diambil faedahnya, sahabat yang melaporkannya tidak menambah-nambah dan melebih-lebihkan, sehingga tak terkesan menyudutkan Amru bin Ash. Ini sangat penting dipraktikkan bagi pejuang dakwah yang hendak melapor kepada pimpinan mengenai kasus yang dihadapi dalam lapangan dakwah. Sehingga laporannya tak malah menyulut dendam dan perpecahan.
Setelah diklarifikasi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Amru menjawab bahwa alasannya tak menyetujui penyalaan lampu agar musuh tidak tahu jumlah pasukan umat Islam yang sedikit; sedangkan alasan tidak mengejar atau mengikuti mereka adalah karena biasanya mereka sudah ada lapis kedua yang siap menyerang; dan alasannya tayammum ketika junub karena pada waktu malam itu sangat dingin, ia khawatir akan membahayakan nyawanya.
Rasulullah menerima semua alasan Amru dan urusan selesai. Dengan demikian, hal-hal yang berpotensi menimbulkan perpecahan segera diredam. Sehingga, tidak ada kesalahpahaman di antara mereka. Mereka pandai menata hati sehingga ukhuwah tetap terjaga. Apa yang dilakukan mereka sangat relevan untuk diteladani utamanya bagi orang yang bergerak di medan dakwah.
Jika hati sudah tertata, maka sangat mudah untuk menjaga irama dakwah. Iklim demikian akan membuat individu di jalan dakwah tidak saling iri, dendam, hasad dan dengki ketika saudara seperjuangan yang lain memiliki jabatan tinggi atau menempati posisi yang lebih tinggi darinya.