Suaramuslim.net – Suatu ketika, al-Makmun, salah satu khalifah dari dinasti Abbasiyah, melaksanakan shalat jumat di salah satu masjid di kota Basrah. Rupanya kehadiran sang pemimpin diketahui oleh khatib. Serta merta khatib memanfaatkan kesempatan itu untuk mengkritik sang khalifah.
Khatib pun mengucapkan kalimat-kalimat yang sangat keras dan memerahkan telinga menggelontor dengan lancar. Memang saat itu sebagian besar ulama berseberangan dengan al-Makmun karena beberapa tindakan dan kebijakannya yang kontroversial.
Khalifah al-Makmun hanya bisa menahan diri dan di lain kesempatan al-Makmun shalat jumat di tempat yang berbeda. Secara tidak sengaja bertemu dengan khatib yang sama. Maka kembali sang khatib mengulangi tindakannya. Khalifah al-Makmun benar-benar kehabisan kesabaran. Maka usai shalat jumat dipanggilnya sang khatib ke istana.
“Menurutmu siapa yang lebih baik, Nabi Musa atau engkau?” tanya khalifah.
“Tentu Nabi Musa lebih baik dibanding diriku,” jawab sang khatib.
“Lalu menurutmu, siapa yang lebih jahat aku atau Fir’aun?” tanya al-Makmun lebih lanjut.
Sang khatib terperangah. Ia sudah bisa menebak arah pembicaraan khalifah al-Makmun. “Tentu saja Fir’aun lebih jahat,” jawab si khatib lirih.
“Maaf, setahuku tidak ada raja yang lebih jahat dari Fir’aun. Ia terang-terangan mengaku sebagi tuhan. Bahkan ia tega merebus hidup-hidup Masyitha, pembantunya, yang tidak mau mengakui dirinya sebagai tuhan,” ungkap al-Makmun. “Tetapi setahuku, Allah memerintahkan kepada Nabi Musa dan Nabi Harun untuk mengingatkan Fir’aun dengan lemah lembut.”
Sang khatib tertunduk.
“Maaf, bisakah engkau membacakan untukku firman Allah dalam Al Quran berkaitan dengan perintah Allah kepada Nabi Musa?” pinta al-Makmun.
Dengan tergagap sang khatib membaca firman Allah dalam surah Thahaa ayat 44, yang artinya, “Maka berbicaralah kamu berdua dengan kata-kata yang lemah lembut mudah-mudahan ia ingat atau takut.”
Usai mendengar bacaan Al Quran dari sang khatib, khalifah al-Makmun menyampaikan permohonannya, “Bukankah pantas jika aku memintamu menggunakan bahasa yang lemah lembut kalau engkau menegurku?”
Sang khatib terdiam seribu bahasa.
Sikap lemah lembut adalah bagian dari akhlak mulia. Dan ia menjadi ciri utama kepribadian Rasulullah. Banyak riwayat yang menggambarkan betapa Rasulullah adalah sosok yang sangat lemah lembut. Beliau tidak pernah menunjukkan sikap yang kasar. Beliau tidak pernah meninggikan suara kepada istri-istrinya. Kepada pembantunya Rasulullah tidak pernah memarahi. Bahkan sewaktu ada orang Arab Badui yang kencing di masjid Rasulullah melarang para sahabat yang hendak memarahi si badui. Beliau membiarkan si Badui menuntaskan hajatnya dan kemudian menyiram bekas air kencing itu. Lalu dengan penuh lemah lembut Rasulullah menjelaskan bahwa di dalam masjid tidak diperkenankan untuk membuang kotoran.
Diakui atau tidak, tata cara bermasyarakat dari setiap muslim adalah sarana promosi dari ajaran Islam. Tak heran sering ditemukan seseorang yang tertarik mempelajari Islam karena suka dengan bagusnya akhlak seorang muslim tetangganya. Sebaliknya pula, ada yang antipati dengan Islam hanya karena perilaku buruk dari seorang muslim yang dikenalnya.
Sayangnya, sikap lemah lembut ini mulai mengalami degradasi di tengah sebagian umat Islam. Belakangan ada sebagian muslimin yang lebih suka menggunakan caci maki dan celaan di dalam menyampaikan kebenaran. Tentu saja cara-cara seperti ini tidak akan membuat orang lain akan menerima dan mengikuti kebenaran yang disampaikan. Tetapi justru akan membuat orang semakin menjauh.
Imam Malik Bin Anas pernah menyampaikan, “Apabila kamu melihat seseorang mempertahankan kebenaran melalui caci maki dan cercaan, ketahuilah hati dan niatnya rusak dan cacat, karena kebenaran dari hati yang ikhlas itu tidak memerlukan cara seperti itu.”
Jika sang teladan kita Muhammad SAW selalu bersikap lemah lembut kepada setiap orang, lalu kita mengedepankan sikap kasar, pantaskah kita mengaku ummatnya? Wallahua’lam.
Penulis: Awang Surya
(Motivator spiritual dan penulis)