Suaramuslim.net – Dalam Al-Qur’an Surat Al-Qashash ayat 77 Allah subhanahu wa ta’ala menegaskan;
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Firman Allah di atas dapat disimpulkan:
- Perintah untuk mengutamakan kepentingan akhirat
- Anjuran untuk tidak meninggalkan urusan dunia
- Perintah berbuat ihsan (kebaikan)
- Larangan berbuat kerusakan
Allah menyuruh kepada kita sebagai seorang mukmin untuk bersungguh-sungguh meraih kenikmatan di kampung akhirat. Namun jangan sampai melupakan bagian dari kenikmatan dunia. Yang sangat ditekankan oleh Allah adalah urusan akhirat. Sampai-sampai Allah gunakan fi’il amr (kata perintah): Raihlah! Carilah!
Adapun untuk urusan dunia hanya diingatkan, “Dan jangan lupa.” Hal ini memberikan isyarat bahwa akhirat harus menjadi prioritas utama di atas urusan dunia. Maka, ciri khas seorang yang bertakwa ialah keyakinannya bahwa dunia ini sementara, panggung sandiwara, sekadar tempat bersenda-gurau dan tempat permainan saja. Sedangkan kehidupannya kelak di akhirat adalah lebih utama.
Kehidupan akhirat haruslah kita sikapi secara serius, sedangkan untuk kehidupan dunia kita sikapi secukupnya saja.
وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَلَلدَّارُالْآَخِرَةُ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?” (Al-An’am: 32).
وَمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ وَإِنَّ الدَّارَ الْآَخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (Al-Ankabut: 64).
Kesuksesan seorang muttaqin adalah ketika dapat meraih keberhasilan untuk kepentingan akhirat. Adapun keberhasilan di dunia hanyalah faktor pelengkap saja. Atau maksimalnya adalah bahwa dunia yang sementara ini adalah wasilah (mediator) untuk sampai pada akhirat yang kekal abadi.
الدُّنْيَا مَزْرَعَةُ الآخِرَةِ
“Dunia adalah ladang akhirat” (Maqalah)
Allah tidak pernah menyuruh kita untuk berlomba mengejar dunia. Berkompetisi merebut keberhasilan di dunia seperti kekayaan, popularitas, kekuasaan dan lain sebagainya. Akan tetapi menyuruh hamba-Nya untuk berkompetisi dan berlomba merebut sukses akhirat.
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (Ali Imran: 133).
Allah menyuruh kita “bersegeralah kamu”, maksudnya kita harus berlomba-lomba dalam kebaikan dan ampunan Allah untuk kepentingan akhirat (Al-Hadid: 20—21).
Di sisi lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا
“Tidaklah aku hidup di dunia ini melainkan seperti seorang pengembara yang sedang istirahat berteduh di bawah naungan pohon. Kemudian pengembara tersebut pergi meninggalkannya.” (At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Bahkan dalam riwayat Zaid bin Tsabit, secara “ekstrem” beliau bersabda:
مَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ ، فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ ِ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ ، وَمَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ نِيَّـتَهُ ، جَمَعَ اللهُ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ غِنَاهُ فِيْ قَلْبِهِ ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ.
“Barangsiapa tujuan hidupnya adalah dunia, maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya, menjadikan kefakiran di kedua pelupuk matanya, dan ia tidak mendapatkan dunia kecuali menurut ketentuan yang telah ditetapkan baginya. Barangsiapa yang niat (tujuan) hidupnya adalah negeri akhirat, Allah akan mengumpulkan urusannya, menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina.” (Ahmad).
Kesimpulannya, kehidupan akhirat dengan segala kenikmatannya yang sempurna dan kekal abadi tentu lebih pantas diutamakan oleh setiap orang yang berakal daripada kehidupan dunia yang fana dan menipu.
Beliau pun mengajarkan kepada kita sebuah doa;
اللهم لاَ تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا وَلاَ مَبْلَغَ عِلْمِنَا
“Ya Allah, janganlah Engkau jadikan dunia menjadi perhatian utama kami serta batas pengetahuan kami.” (At-Tirmizi).
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala menggolongkan kita sebagai hamba-hamba-Nya yang jujur keimanannya dan senantiasa mengutamakan akhirat di atas dunia. Aamiin.
Wallahu a’lam bish-shawab. (bersambung).