Pertanyaan yang timbul dari UU ini adalah, siapa yang mempunyai wewenang untuk mentafsirkan bahwa kegiatan suatu Ormas bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945? Perlu dicatat disini bahwasanya pada UU ini proses pembuktian bersalah ataupun tidak telah pun dihapuskan sebagaimana yang tertuang pada pasal 63 hingga pasal 80 UU no 17 tahun 2013.
Sebagai contoh saja yaitu permasalahan khilafah yang merupakan salah satu alasan kenapa HTI dibubarkan. Khilafah merupakan permasalahan klasik yang sudah ada sejak pemerintahan sesudah masa shahabat. Permasalahan ini juga mempunyai beragam tafsir, tapi mempunyai satu inti yaitu khalifah itu wajib bagi muslim untuk mendukung menerapan hukum Islam yang telah terkandung dalam Al-Qur’an. Bentuk kekhalifahan disini bukan dalam arti berkaitan dengan bentuk pemerintahan tertentu, tetapi secara garis besarnya menyangkut nilai yang harus ada dalam pemerintahan yang dimana tujuan adanya pemerintahan ialah membentuk masyarakat yang sa’adah. Maka, ketika alasan Ormas HTI dibubarkan disebabkan faham khilafahnya, pertanyaannya ialah “pemerintah menggunakan tafsir mana”, pemerintah merujuk kepada siapa untuk mengkaji pemahaman ini?
Kemudian berkaitan pasal 59 ayat 4 huruf c, pemerintah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila” antara lain ajaran atheisme, komunisme/marxisme-leninisme, atau paham lain yang bertujuan mengganti/mengubah Pancasila dan UUD 1945. Disini, pemerintah menambah dan menggunakan kalimat yang tidak definitif, dimana perkataan “paham lain yang bertujuan mengganti/mengubah Pancasila dan UUD 1945” terbuka untuk berbagai tafsiran dan yang memegang tafsiran mutlak adalah pemerintah “Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely”.
Lebih lanjut, pada pasal 59 ayat 3 huruf a dan b dibaca dengan pasal 60 ayat 2 dan pasal 82A terkandung adanya unsur pidana, pertanyaan yang akan timbul ialah:
- Siapa yang mempunyai wewenang untuk menentukan bersalah atau tidak?
- Dan dipidana penjara berapa lama?
- Kenapa pasal 59 ayat 3 huruf a dan b di gabungkan dengan ayat 4 yang pidananya terdapat pada pasal 82A ayat 2?
Pasal 59 ayat 3 huruf a dan b dibaca dengan penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan “tindakan permusuhan” adalah ucapan, pernyataan, sikap atau aspirasi, baik secara lisan maupun tertulis, baik melalui media elektronik maupun tidak melalui media elektronik yang menimbulakan kebencian, baik terhadap kelompok tertentu maupun terhadap setiap orang termasuk ke penyelenggaraan negara. Kemudian, dibaca dengan pasal 28 J dan 29 UUD 1945 berkaitan dengan penghormatan hak asasi orang lain dalam mengeluarkan pendapat berdasarkan agama yang dianutnya. Permasalahannya disini ialah, apabila terdapat perselisihan antar Ormas atau kelompok masyarakat dimana kelompok pertama mengucapkan kata, atau menyatakan suatu hal yang menyinggung kelompok lainnya, padahal kata atau pernyataan yang diutarakan adalah bagian dari agama atau keyakinan dalam agama tersebut. Contohnya saja perkataan KAFIR atau MUNAFIK yang merupakan terma dasar dalam Al-Qur’an. Pengucapan 2 kata tersebut, bisa saja menimbulkan ketidaksenangan dipihak lain dan ketika proses pengadilan dihilangkan, maka sangat sukarlah penyelesaiannya.
Adanya penggabungan antara pasal 59 ayat 3 huruf a dan b dengan ayat 4 dimana pidana penjara ditetapkan seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun perlu mendapat perhatian?. Pemerintah harus membuktikan apakah sama gerakan saparatis yang bertujuan menghancurkan indonesia dan fakta adanya gerakan tersebut nyata adanya. Sedangkan pada pasal 59 ayat 3 huruf a dan b, kandungannya masih subjektif, diperlukan pihak ahli yang mengkaji apakah kata, ucapan tersebut mengandung makna permusuhan. Maka, tidaklah salah ketika masyarakat mempunyai asumsi bahwa UU No 2 tahun 2017 ditujukan kepada Ormas Islam dan secara khusus kepada para Ulama yang meneriakkan secara lantang akan kedzaliman pemerintah.
Tulisan ini hanya sebuah opini yang bertujuan untuk membangun dan bukan menambah keruh sandiwara politik ditanah air.
Baca Sebelumnya UU Ormas, Obat atau Racun? – Bagian 1