Value, Market, Revenue Masjid

Value, Market, Revenue Masjid

Kementerian PUPR Siapkan Dana Rp 465 M Untuk Renovasi Masjid Istiqlal
Jemaah Masjid Istiqlal, Sawah Besar, Jakarta Pusat. (Foto: Istimewa)

Suaramuslim.net – Saat sebuah masjid berusaha untuk melayani jemaah, maka tak jarang lahir kontroversi di kalangan Dewan Kemakmuran Masjid (DKM). Biasanya pelayanan menuntut belanja anggaran pada kas masjid. Unsur DKM yang sangat berhati-hati tentu akan berpikir:

“Bagaimana jika nanti kas habis? Jangan belanja anggaran macem-macem, listrik air masjid saja berat, tidak perlu ada pengeluaran tambahan untuk program.”

Mungkin kalimat di atas sering terdengar. Jika kas masjid habis gimana? Jika masjid gak bisa bayar token listrik gimana? Jangan berani-berani bayar tukang bersih-bersih, nanti kas masjid terbebani.

Ketika kalimat di atas terlontar dari seorang pengurus masjid, biasanya langsung muncul konflik, ada barisan reformis yang ingin masjid bergerak berdaya melayani jemaah, dan ada barisan status quo yang ingin masjid apa adanya. Yang penting bisa beroperasi ritual.

Sebenarnya tidak perlu konflik, tidak perlu bertengkar, tidak perlu membuat beda barisan. Yang dilakukan harusnya mencari titik dasar pemahaman.

1. Unsur DKM yang berhati-hati sebenarnya fokusnya sederhana: jika uang kas masjid dibelanjakan membeli mukena baru, dibelanjakan untuk membayar marbot, kalo nanti habis bagaimana? Kalo minus siapa yang tanggung jawab.

2. Unsur yang pro pelayanan berpikir, uang kas masjid ya harusnya dibelanjakan. Dikembalikan ke umat.

Dalam kedua kelompok tersebut, sebenarnya ada titik kesamaan: KAS MASJID. Intinya di situ.

Yang niat membelanjakan anggaran, jika tidak punya rencana fundraisingnya, ya repot juga. Begitu juga dengan yang anti pembelanjaan anggaran, jika mekanisme fundraise-nya terjawab, maka tidak ada alasan untuk menahan kas.

Maka untuk menengahi hal ini, ijinkan saya untuk membangun perspektif model bisnis pada pola manajemen masjid.

Di dalam model bisnis, ada 2 bagian besar yang memicu lahirnya pendapatan.

Bagian pertamanya adalah value. Artinya manfaat, nilai, biasanya berada pada produk barang dan jasa yang dijual oleh sebuah entitas bisnis.

Bagian kedua adalah market. Artinya para pembeli si barang dan jasa. Pelanggan yang terus menerus menikmati layanan dari si bisnis.

Pertemuan value dan market ini akan menghasilkan revenue bagi bisnis. Karena pelanggan membayar apa yang dia dapatkan.

Maka logikanya jadi sederhana, jika produk Anda bagus, layanan jasa Anda baik, maka market mau bayar, market siap membeli produk Anda. Jangan khawatir. Polanya memang begitu. Sunnatullah.

Terkait masjid, walaupun masjid bukan entitas bisnis profit, tetapi model pelayanan masjid juga mirip dengan model di atas.

Masjid adalah pusat pelayanan publik. Ia adalah institusi yang dihadirkan oleh Allah dan Rasul-Nya untuk melayani umat. Silakan sama-sama cek sirah nabawiyah tentang bagaimana Rasul membangun peradaban. Masjid menjadi pusat dari segala aktivitas umat.

Masjid memberikan layanan: itulah value masjid. Sajadah harum. Air wudhu tersedia. Area salat sejuk. Sound system cemerlang. Selanjutnya masjid menyediakan air minum teh dan kopi gratis ke jemaah. Setiap Ahad pagi tersedia sarapan bersama. Setiap Jumat ada pos makan siang gratis. Sesi taklim jangan ditanya. Jadwalnya konsisten dengan pembicara yang dedicated dalam kontrak.

Nah, jemaah posisinya ada pada market. Jika market terlayani, market bahagia, market senang, maka insyaallah akan hadir revenue untuk masjid. Jemaah akan loyal untuk infak, sedekah, bahkan berwakaf untuk masjid.

Maka jangan heran, mengapa ada masjid yang infak per bulannya berada pada 4 juta rupiah, sementara masjid dengan luasan yang sama, bisa mencapai 80 juta per bulan. Ketika saya simak, memang nyata bedanya pada program layanan.

Maka, model gerak masjid tinggal mencontoh model bisnis. Bikin value tinggi, insyaallah revenue besar. Bangun saja layanannya, insyaallah kepercayaan jemaah akan meningkat. Di situlah arus kas masjid insyaallah akan terjaga seiring layanan yang diseriusi.

Kembali pada konflik di atas, maka apa yang seharusnya dilakukan oleh kedua belah pihak.

1. Pihak DKM yang penuh kehati-hatian tinggal menugaskan pada barisan reformis agar bertanggung jawab pada operasional masjid. Jaga kas jangan sampai tidak sanggup bayar operasional akibat agresif dibelanjakan ke umat.

2. Barisan reformis di masjid diharapkan serius menggarap program layanan. Jangan cuma ramai di gagasan tapi kosong di implementasi.

Jika kedua hal di atas sudah komit untuk dilakukan, insyaallah masjid-masjid di Indonesia gak perlu ada konflik.

DKM damai.
Jemaah Bahagia.
Kas Masjid berlimpah.
Pelayanan jemaah bertambah.
Berkah.

Selamat bekerja.
Selamat bermusyawarah.
Selamat membangun rencana untuk masjid yang lebih berdaya dan bercahaya.

Risalah Masjid Cahaya
Selasa, 1 Januari 2019

Penulis: Rendy Saputra

Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment