Suaramuslim.net – Andai kita ini bukan guru yang bisa berjariyah dengan ilmunya, bukan orang kaya yang dapat mewakafkan hartanya, maka anak kitalah satu-satunya harapan penyambung amalan kita ketika sudah tiada di dunia ini.
Itulah kenapa seorang Nabi hebat yang menjadi Kholilullah, Ibrahim عليه السلام berdoa selama puluhan tahun yang doanya diabadikan Allah dalam Firman-Nya;
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ
“Ya Rabbku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh.” (Ash-Shaffat: 100).
Kenapa beliau berdoa minta anak yang saleh dan menjadi golongan yang saleh? Ini karena kesalehan anak mampu membuat orang tuanya menikmati derajat yang tinggi di surga Allah.
Perhatikan Firman-Nya yang terkait itu;
جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ ۖ وَالْمَلَائِكَةُ يَدْخُلُونَ عَلَيْهِمْ مِنْ كُلِّ بَابٍ
“Surga Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama orang-orang saleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan anak-cucunya.” (Ar-Ra’du: 23).
Ibnu Katsir memberikan komentar kalimat و من صلح اباءهم dalam ayat itu dengan, “Allah mengumpulkan mereka dengan orang-orang yang mereka cintai di dalam surga yaitu orang tua, istri dan anak keturunan mereka yang mukmin dan layak masuk Surga. Sampai-sampai, Allah mengangkat derajat yang rendah menjadi tinggi, tanpa mengurangi derajat keluarganya yang tinggi (agar mereka berkumpul di dalam surga yang sama derajatnya).” (Tafsir Ibnu Katsir).
Dari ayat ayat di atas, anak saleh dapat mengangkat derajat para orang tuanya. Bahkan orang tua pun merasa kaget ketika posisi mereka di akhirat tidak sebanding dengan amalannya yang biasa saja, namun mereka berada pada derajat tingkatan yang tinggi.
Dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad bersabda;
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيَرْفَعُ الدَّرَجَةَ لِلْعَبْدِ الصَّالِحِ فِيْ الْجَنَّةِ فَيَقُوْلُ : يَا رَبِّ أَنىَّ لِيْ هَذِهِ ؟ فَيَقُوْلُ : بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ
“Sungguh, Allah benar-benar mengangkat derajat seorang hamba-Nya yang saleh di surga.” Maka ia pun bertanya, “Wahai Rabbku, bagaimana ini bisa terjadi?” Allah menjawab, “Berkat istigfar anakmu bagi dirimu.” (Ahmad, No. 10232).
So… Anak saleh adalah harapan orang tuanya yang dapat menjadi penyambung amalannya yang terputus karena sudah tiada di dunia.
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Ketika seorang manusia meninggal, maka putuslah amalannya darinya kecuali dari tiga hal, (yaitu) sedekah (amal) jariyah, atau ilmu yang dimanfaatkan, dan anak saleh yang mendoakannya.” (Muslim, No. 1631).
Perhatikan kalimat anak saleh berada di bagian terakhir, seolah itu menunjukkan pamungkas dari segalanya, menunjukan anak sebagai harapan yang utama dan yang pertama. Bukankah ketika anak itu saleh, maka ia akan menjadi orang yang suka ilmu, dan manusia yang selalu berderma?
So… Pada diri anak yang saleh berkumpul segala kebaikan yang dapat mengangkat derajat orang tuanya.
Bagaimana membentuk pribadi kesalehan kepada anak-anak kita? Sederhana kok, seperti berikut ini
a. Kuatkan mental orang tua untuk mendidik anak yang saleh, jangan lemah dan baperan
Misalnya, memondokkan anak atau mengatur kedisiplinan anak dalam beribadah. Bukankah Nabi Muhammad menuntut ketegasan kepada anak kita bahkan kalau perlu dipukul?
مُرُوا أَوْلادَكُمْ بِالصَّلاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
“Perintahkanlah anakmu salat pada usia tujuh tahun dan pukullah dia karena (meninggalkan)-nya pada usia 10 tahun dan pisahkan tempat tidur mereka.” (Abu Daud No. 495 dengan sanad hasan).
Makna pukulan di sini lebih kepada ketegasan dalam penegakan kedisiplinan. Dan jika harus memukul untuk itu, tetap tidak boleh di wajah dan tidak melukai. Di kalangan ulama salafu saleh pernah hal itu dilakukan. Di antaranya Ikrimah seorang tabiin yang mengaji kepada Ibnu Abbas. Ikrimah ini kalau ngaji suka lari-lari (biasa tingkah anak-anak), maka Ibnu Abbas merantai kakinya.
Ikrimah berkata, “Ibnu Abbas pernah merantai kakiku ketika sedang mengajariku Al-Qur’an dan sunnah.” Dalam riwayat lain, “Ketika sedang mengajariku Al-Qur’an dan ilmu waris.”
Dan apa yang terjadi? Ikrimah menjadi ahli hadis yang banyak meriwatkan hadis Rasulullah.
Namun demikian tetap nasihat lembut harus didahulukan, karena kelembutan tanpa mengurangi ketegasan itu penting dalam mendidik anak saleh.
إِذَا أَرَادَ اللهُ بِأَهْلِ بَيْتٍ خَيْرًا أَدْخَلَ عَلَيْهِمُ الرِّفْقَ
“Jika Allah menginginkan kebaikan bagi sebuah keluarga maka Dia akan memasukkan kelembutan kepada mereka.” (Ahmad 6/71, 6/104-105, hadis sahih).
Artinya kelembutan dalam kelurga sangat dibutuhkan dan yang utama.
b. Keteladanan para orang tua, sangat berpengaruh kepada anak-anaknya
Ada ungkapan yang bisa jadi prinsip dakwah di keluarga;
لسان الحال افضل من لسان القول
“Ucapan dalam keteladanan itu lebih baik daripada hanya berkata kata saja.”
Semangat memberikan keteladanan kepada anak-anak, itu akan membekas kepada jiwa mereka. Dan seandainya kualitas keimanan anak-anak tidak sehebat ayahnya, kelak Allah akan mengangkat menjadi sekualitas dengan ayahnya, karena semangat mendidik dengan keteladanan itu berdasar iman.
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ ۚ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ
“Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya. (Ath-Thur: 21).
c. Landasi anak-anak kita, apapun ilmu kebaikan yang dipelajari, dengan ilmu adab
Karena sehebat apapun ilmu anak kita, bahkan bisa jadi paham Al-Qur’an dan lainnya, bergelar doktor bahkan profesor namun tidak ada adab, maka sungguh itu ilmu kurang berguna.
Coba renungi kalimat kekhawatiran Nabi Muhammad, di bawah ini.
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ رَجُلٌ قَرَأَ الْقُرْآنَ حَتَّى إِذَا رُئِيَتْ بَهْجَتُهُ عَلَيْهِ، وَكَانَ رِدْئًا لِلْإِسْلَامِ، انْسَلَخَ مِنْهُ وَنَبَذَهُ وَرَاءَ ظَهْرِهِ، وَسَعَى عَلَى جَارِهِ بِالسَّيْفِ، وَرَمَاهُ بِالشِّرْكِ، قَالَ: قُلْتُ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، أَيُّهُمَا أَوْلَى بِالشِّرْكِ، الْمَرْمِيُّ أَمِ الرَّامِي؟ قَالَ: بَلِ الرَّامِي
“Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kamu adalah seseorang yang telah membaca (menghafal) Al-Qur’an, sehingga ketika telah tampak kebagusannya terhadap Al-Qur’an dan dia menjadi pembela Islam, dia terlepas dari Al-Qur’an, membuangnya di belakang punggungnya, dan menyerang tetangganya dengan pedang dan menuduhnya musyrik.” Aku (Hudzaifah) bertanya, “Wahai nabi Allah, siapakah yang lebih pantas disebut musyrik, penuduh atau yang dituduh?” Beliau menjawab, “Penuduhnya.” (Al-Bukhari dalam at-Tarikh, Abu Ya’la, Ibnu Hibban dan al-Bazzar).
So… Itulah kenapa para ulama dahulu lebih mengedepankan adab, itu semua agar muncul kelembutan dalam mengamalkan ilmunya. Al adabu fauqo al ilmi (adab itu di atas ilmu), demikian kaidah ulama salaf.
Imam Ibnul Mubarak berkata:
تعلمت الأدب ثلاثين سنة، وتعلمت العلم عشرين سنة
“Aku belajar adab selama tiga puluh tahun, dan aku belajar ilmu selama dua puluh tahun.”
Ya Allah bantu kami menjadikan anak-anak kami termasuk golongan orang yang saleh.
Walahu a’lam.