Suaramuslim.net – Suara rakyat suara tuhan. Bisa juga suara rakyat suara keadilan, jika suara tersebut difasilitasi. Namun, bagaimana jika tidak?
Hak memberikan suara atau memilih merupakan hak dasar setiap manusia Indonesia. Bentuk konkretnya dengan masuk ke DPT (Daftar Pemilih Tetap). Meski seringkali pemilih sendiri baru sadar akan memilih ketika sudah dekat dengan pemilu. Lebih-lebih lagi jika tidak menerima form C-6 (undangan untuk mencoblos).
Seberapa Penting DPT?
DPT menjadi ukuran awal sebuah keberhasilan bagi pesta demokrasi ini. Ada daerah yang harus mengulang pilkada karena sengketa DPT. Dari data tersebut yang tidak valid membuat pilkada cenderung mendapat gugatan. Ada celah pelanggaran. Sebagaimana dalam kasus pilkada Kabupaten Sampang yang harus diulang setelah turun putusan MK. Karena DPT di kabupaten tersebut tidak logis.
Di Sampang, jumlah DPT sebanyak 803.499 orang. Sedang data dari Kemendagri jumlah penduduk hanya 844.872 orang. Artinya, 95 persen penduduk Kabupaten Sampang berusia dewasa. Padahal normal sebuah penduduk jumlah anak-anak yang dibawah 17 tahun mencapai 19 persen sampai 27 persen. Apalagi Sampang merupakan daerah dengan perantaunya yang besar.
Data tidak valid ini menjadi sumber masalah. Bilamana ada indikasi “perampasan” hak memilih, dikarenakan tidak terdaftar dalam DPT.
Ketentuan ini diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi, ” Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Bahkan lebih khusus terdapat dalam Pasal 6A (1) berbunyi, ”Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.”
Fungsi rakyat yang dimanifestasikan dalam daftar pemilih ini merupakan hak dasar yang tetap ada dalam pemilihan umum. Suara yang menentukan ke depan dalam satu pemerintahan. Pemimpin yang terpilih juga akan memberikan efek kepada warga yang dipimpin.
DPT bermasalah juga membuat kualitas pemilu menjadi rendah. Nilai demokratis berkurang. Indikasi pengondisian pemilih terhadap pasangan tertentu atau calon legislatif tertentu akan menguat. Pasal 22E ayat (2) menyatakan, ”Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan wakil presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.”
Jika ada fi’il (kata kerja), “memilih”, maka pasti ada fa’il yaitu pelaku berupa pemilih. Wakil dari pemilih ini yang mengantarkan seseorang untuk menjadi wakil mereka di DPR, DPD atau DPRD.
Bunyi dari sejumlah pasal tersebut tidak dibenarkan adanya diskriminasi dalam ras, suku, agama dan keturunan. Artinya, semua manusia Indonesia berhak memilih sesuai dengan keyakinan politiknya. Baik di Pemilihan Kepada Daerah (Pilkada), Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres).
International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) 1966 berkaitan dengan hak politik warga negara memutuskan di dalam Pasal 25, ”Setiap warga negara harus mempunyai hak dan kesempatan yang sama tanpa pembedaan apapun dan tanpa pembatasan yang tidak wajar untuk berpartisipasi dalam menjalankan segala urusan umum baik secara langsung maupun melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas, selanjutnya untuk memilih dan dipilih pada pemilihan berkala yang bebas dan dengan hak pilih yang sama dan universal serta diadakan melalui pengeluaran suara tertulis dan rahasia yang menjamin hak para pemilih untuk menyatakan kehendak mereka dengan bebas dan untuk mendapatkan pelayanan umum di negaranya sendiri pada umumnya atas dasar persamaan.”
Penyelenggara pemilu yang disini, KPU, Bawaslu dan DKPP bisa terancam melanggar hak asasi manusia bila lalai. Sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 23 ayat (1) dinyatakan bahwa,”Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya.” Lebih ditekankan lagi dalam Pasal 43 ayat (1),”Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Sudah terdaftar dalam DPT saja, masih ada yang tidak mau datang ke TPS. Apalagi yang tidak terdaftar. Meski ada mekanisme lain berupa masuk daftar pemilih tambahan atau DPTb. Kelompok pemilih ini asalkan mempunyai E-KTP bisa datang ke TPS antara jam 12.00 sampai 13.00. Selain untuk melindungi hak warga negara juga untuk meningkatkan kualitas dari pemilu tersebut.
Pemilu di Tulungagung
DPT (Daftar Pemilih Tetap) Kabupaten Tulungagung Pemilu 2019 sudah ditetapkan. Jumlah 856.732, terdiri dari 425.738 pemilih pria dan 430.994 pemilih perempuan. Ada peningkatan dari DPT ketika pilkada 2018.
Apakah daftar pemilih yang sudah ditetapkan oleh KPU sudah sempurna? Tentu saja tidak. Jumlah penduduk Tulungagung saja ada 1 juta lebih. Sedang yang sudah terdaftar sebagai pemilih baru 800 ribuan. Yang ini masih ada 200 ribuan yang bisa saja bukan yang berhak memilih. Bisa juga memang sudah berhak namun belum terdeteksi. Mengingat umur KTP dan KTP elektronik ini yang membuat daftar pemilih biasa berbeda banyak dengan penduduk secara aslinya.
Daftar Pemilih Tetap terus berubah. Seiring perpindahan baik keluar maupun masuk ke Tulungagung. Tapi kenapa sudah ditetapkan pada 21 Agustus 2018? Jawaban paling mudah, karena PKPU no. 5 tahun 2018 tentang perubahan PKPU no.7 tahun 2017 tentang tahapan, program dan jadwal penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2019.
Kemudian penyampaian hasil penetapan dan rekapitulasi DPT oleh KPU Kabupaten/Kota kepada KPU, KPU Provinsi, PPK, PPS adalah antara tanggal 22 Agustus sampai 28 Agustus 2018. Di tahapan ini juga dilakukan penyerahan salinan DPT kepada partai politik peserta pemilu 2019.
Yang menarik, pengumuman DPT mulai dari tanggal 28 Agustus 2018 sampai dengan 17 April 2019. Rentang delapan bulan ini bukan waktu yang singkat. Sudah dipastikan jika nanti ada pergerakan penduduk. Ada yang pindah, ada juga yang masuk.
Tidak menutup kemungkinan jika nanti terjadi kegandaan. Dari tempat lama belum terhapus. Di tempat yang baru sudah ditambahkan. Sebagai contoh ada penduduk bernama A di Kecamatan Kalidawir namun sudah pindah ke Kecamatan Bandung. Di kedua kecamatan tadi orang tersebut terdaftar di DPT. Kasus ini tidak menutup ada di daerah-daerah yang lain.
Sesuai dengan PKPU nomor 5 tahun 2018, tetap saja ada solusi akan dimasukkan dalam DPTb atau Daftar Pemilih Tambahan dalam rentang waktu 28 Agustus 2018 sampai 18 Maret 2019. Penyusunan tingkat PPS (Panitia Pemungutan Suara) tanggal 10 Februari sampai 8 Maret 2019. Kemudian tingkat PPK (Panitia Pemilihan Kecamatan) 4 Maret sampai 9 Maret. Rekapitulasi dan penetapan tingkat Kabupaten/Kota tanggal 10 Maret sampai 12 Maret 2019.
Pemilu di Tulungagung semoga tetap ayem tentrem sebagaimana slogan dari kabupaten penghasil marmer ini. Meski pemenangnya dalam pilkada kemarin ditersangkakan oleh KPK. Namun ada yang membanggakan, yakni partisipasi masyarakat mencapai 73 persen. Dan KPU Tulungagung mendapat penghargaan pada kategori partisipasi masyarakat dari KPU Jawa Timur. Semoga prestasi ini bisa terjaga sampai pemilu 2019.*
Kontributor: Muslih marju
Editor: Oki Aryono
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net