Zuhud: Bukan Lari dari Dunia

Zuhud: Bukan Lari dari Dunia

Perjalanan Perjuangan Syariat Islam di Indonesia
H. Salahuddin Wahid atau Gus Sholah di Oase Bangsa Suara Muslim Radio network. (Foto: Suaramuslim)

Suaramuslim.net – Pada saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup para sahabat masih betul-betul hidup sesuai dengan tuntunan agama. Pada era Khalifah Abu Bakar dan Umar Bin Khattab kehidupan umat Islam masih berjalan sesuai ketentuan agama. Kita ingat kisah bagaimana Khalifah Abu Bakar meningkatkan aturan dengan kekuatan militer saat ada pihak yang tidak mau membayar zakat. Pemihakan khalifah terhadap kaum miskin seperti yang diperintahkan oleh Islam masih dijalankan dengan sungguh-sungguh.

Surah-surah Makkiyah secara gamblang memerintahkan untuk memerangi ketimpangan sosial dan sekaligus mendorong umat Islam untuk menjalani kehidupan sederhana dan tidak silau kepada kemewahan kemegahan dunia. Kezuhudan tidak menjadi penghalang bagi Khalifah Umar bin Khattab untuk memperluas wilayah negara Islam.

Saat tentara Islam berhasil mengalahkan Persia harta rampasan perang yang diperoleh amat besar. Hal itu membuat sebagian sahabat tergoda oleh kenikmatan dunia. Umar sama sekali tidak tergoda. Umar sangat serius memerangi kemiskinan. Upaya memerangi kemiskinan terlihat dari kebijakan Umar misalnya mengambil sebagian harta sahabat yang kaya dan memasukkannya ke Baitul Mal.

Di samping Abu Bakar dan Umar di situ ada sekelompok orang yang tidak tergiur kenikmatan dunia dan menjalani kezuhudan serta menekuni Alquran sehingga disebut qurro.

Seperti yang diajarkan Rasulullah, nilai kezuhudan tidak membuat mereka berdiam diri melihat kemungkaran dan acuh tidak acuh terhadap masalah dunia. Mereka bergabung dengan pasukan yang dikirim Abu Bakar untuk memerangi orang-orang yang keluar dari agama.

Pada masa pemerintahan Khalifah Utsman kesenjangan sosial yang pernah ada pada masa jahiliyah mulai hidup kembali. Jurang antara kaya dan miskin makin lebar. Hal itu terjadi karena Khalifah Utsman memberikan sebagian harta yang diperoleh dari penarikan pajak kepada keluarga dan kawan-kawannya. Tidak seperti Umar, Utsman dianggap tidak melakukan pengawasan terhadap kelompok-kelompok kaya. Sehingga kelompok qurro dan shuffah berpihak pada Ali bin Abi Thalib.

Abu Dzar al-Ghifari berpendapat bahwa Islam adalah agama yang ditujukan untuk menyelamatkan orang-orang yang lemah dari kekuasaan konglomerat, pengusaha Quraisy. Di saat dia melawan Utsman, Abu Dzar dibuang ke Syam. Di sini juga ia kritis terhadap Gubernur Muawiyah. Lalu Muawiyah mengembalikan Abu Dzar ke Madinah.

Kehidupan sederhana yang dijalani oleh Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar bin Khattab, dan lain-lain itu bukan karena mereka tidak mampu mendapat harta berlimpah atau menganggap kemiskinan sebagai sesuatu yang ideal. Mereka hidup miskin karena ingin bersenyawa dengan kaum miskin yang termiskinkan dengan keadaan yang bersifat struktural. Persis seperti di Indonesia sekarang.

Menurut pandangan mereka kemiskinan harus diperangi melalui distribusi ulang harta kekayaan secara adil. Nilai kezuhudan di atas membedakan mereka dengan ahli zuhud yaitu orang-orang yang mendalami kezuhudan pada dinasti Bani Umayyah. Yang tepatnya setelah terjadi pembunuhan terhadap Husein bin Ali. Mereka meninggalkan dunia dengan segala permasalahannya, disertai perasaan takut yang sangat mendalam terhadap siksa Allah. Berlebihan dalam memandang pahala dari-Nya serta berlebihan dalam memandang maksiat dan dosa.

Jadi yang terakhir itu lari dari dunia sedangkan kelompok zuhud yang pertama tidak lari dari dunia. Dia tetap berada di dunia tetapi memegang prinsip-prinsip kezuhudan sesuai apa yang dicontohkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Disarikan dari buku Memadukan Keislaman dan Keindonesiaan; Esai-esai Kebangsaan karya KH. Salahuddin Wahid, penerbit Pustaka Tebuireng: 2017.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment