5 Kebutuhan Pokok Manusia, Nomor 5 Kebutuhan Paling Sering Dibahas

5 Kebutuhan Pokok Manusia, Nomor 5 Kebutuhan Paling Sering Dibahas

5 Kebutuhan Pokok Manusia, Nomor 5 Kebutuhan Paling Sering Dibahas
Stonehenge, tumpukan batu yang dianggap sakral pas amasa megalitikum. (Foto: @kmitchhodge/unsplash)

Suaramuslim.net – Manusia terlahir dalam keadaan lemah. Dia punya banyak kebutuhan. Nah, Islam sebagai pegangan hidup semua kebutuhan manusia. Namun dari sekian banyak kebutuhannya, ada 5 kebutuhan manusia yang pokok. Kebutuhan pokok manusia nomor 5 paling sering dibahas.

Manusia punya banyak kebutuhan. Dia memerlukan kebutuhan makanan, rumah, kendaraan, dan pakaian. Dia juga punya kebutuhan cinta, penghargaan, bersosialisasi, berkumpul, dst. Namun, sejatinya ada 5 kebutuhan pokok manusia, antara lain:

1. Kebutuhan mengenal Tuhan

Di semua peradaban kuno atau zaman pra sejarah, manusia selalu mencari perlindungan kepada kekuatan Mahabesar yang berada di luar kemampuan manusia sendiri. Manusia punya kebutuhan mengenal sosok Mahahebat yang mengatur alam ini dan manusia punya kebutuhan untuk meminta pertolongan kepada kekuatan Mahaagung itu. Hanya saja sejak zaman prasejarah hingga zaman modern, manusia ada yang tersesat dan ada pula yang mengenal Tuhan dengan bimbingan utusan-Nya.

Maka di semua situs peradaban kuno selalu ditemukan tempat pemujaan atau tempat ibadah. Di tempat itulah, manusia melakukan ritual untuk menyembah dan tunduk kepada Tuhan yang Mahabesar. Ini menunjukkan bahwa dalam jiwa manusia punya kebutuhan untuk mengenal Tuhannya.

Islam sudah menetapkan secara final bahwa Tuhan yang Esa adalah Allah subhanallahu wa ta’ala. Tuhan dalam konsep Islam sudah jelas. Sejak diwahyukannya Al Quran, Islam telah menjelaskan nama Tuhan yakni Allah. Tak hanya itu, Islam menjelaskan nama-nama indah Tuhan yang dikenal dengan sebutan Asmaul Husna. Tidak demikian pada Kristen atau Yahudi. Umumnya hanya disebut dengan God atau Lord. Tak ada nama khusus. Lebih parah lagi Yahudi. Sampai sekarang tak ada yang tahu siapa nama Tuhannya.

Di dalam Al Quran, sosok Ibrahim AS merupakan ikon betapa manusia punya kebutuhan untuk mencari dan mengenal siapa Tuhan yang hakiki. “Ketika malam telah gelap, Ibrahim melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: “Inilah Tuhanku”, tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: “Saya tidak suka kepada yang tenggelam”.

Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: “Inilah Tuhanku”. Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat”.

Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, dia berkata: “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar”. Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.

Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (QS. Al An’am 76-79).

2. Kebutuhan menjalankan ajaran agama

Nama Islam sudah diberikan sejak awal. Karena ada pemikiran yang mengusulkan bahwa semua agama sebenarnya adalah Islam. Keselamatan atau kedamaian adalah sebagian makna dari Islam. Maka saat ini muncul gagasan bahwa siapa saja yang berada dalam ajaran damai itulah sebenarnya Islam juga. Tentu ini terbantahkan dengan Islamic world view (pandangan hidup Islam). Bahwa Islam cara hidup yang jelas dan agama yang definitif. Tidak rancu seperti yang usulkan pemikir Liberal atau sekuler.

Berbeda dengan Islam nama agama-agama lain berasal dari sebutan pihak lain atau disematkan pada tokoh ataupun tempat asalnya. Misalnya Kristen. Dia diambil dari nama Yesus Kristus. Artinya, Kristen itu pengikut Kristus. Begitu pula Budha. Nama tokohnya diambil jadi agama. Sedangkan Hindu berasal dari tempat asalnya yaitu India.

3. Kebutuhan mengenal alam fisik dan alam gaib

Islam menjelaskan kepada manusia bahwa manusia hidup berdampingan antara manusia dan penghuni alam fisik dan alam metafisik (gaib). Melalui firman Allah dan sabda Nabi, kaum muslimin memahami tugasnya sebagai khalifah di alam fisik dan mendapat amanah untuk menjaga dan memakmurkannya.

هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا

Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya“. (QS. Hud [11]: 61).

Dalam ayat ini kata اسْتَعْمَرَ ada penambahan huruf sin dan ta’ mengandung perintah. Maksudnya Allah memerintahkan kita agar memakmurkan bumi. Memakmurkan dalam arti memelihara, menyelamatkan, dan mengelolanya dengan baik dan benar, sehingga menghasilkan kemakmuran bagi manusia dan lingkungan. Bukan malah sebaliknya.

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, agar mereka merasakan sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).Katakanlah: “Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang terdahulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah)”.Oleh karena itu, hadapkanlah wajahmu kepada agama yang lurus (Islam) sebelum datang dari Allah suatu hari yang tidak dapat ditolak (kedatangannya): pada hari itu mereka terpisah-pisah. (Ar Rum:41-43)

Selain itu, kaum muslimin memahami alam metafisik dan penghuninya meskipun pengetahuan tentang ini sengaja dibatasi. Hal-hal rinci tentang alam jin, malaikat iblis dan syaitan sengaja tidak dijelaskan dalam sumber-sumber utama.

Al Quran dan hadis nabi hanya menjelaskan tentang alam metafisik ketika hal itu menyangkut urusan dengan manusia. Misalnya, bahwa syaitan itu musuh yang nyata bagi manusia dan mereka menyeru manusia kepada keburukan dan mengajak ke neraka.

“…Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui” (QS. Al Baqarah 168-169).

4. Kebutuhan untuk ambil jalan kebebasan

Manusia mendapat kedudukan yang istimewa di hadapan Tuhan. Pertama, dia dihormati oleh malaikat dan jin pada awal penciptaanya. Namun, di antara jin itu ada yang bernama iblis yang menolak sujud menghormat pada manusia dan kemudian mengumumkan permusuhan hingga kiamat. Kedua, manusia bersama jin mendapat amanah berupa kebebasan memilih jalan kebaikan atau jalan keburukan. Keistimewaan ini tidak diberikan kepada makhluk lainnya. “Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata, lidah dan dua buah bibir? Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebenaran dan kesesatan)” (QS. Al Balad 8-10).

Maka, kedudukan manusia bisa mencapai puncak ketika ia menempuh jalan kebaikan dan mampu mengemban dari Tuhan sebagai khalifah di muka bumi dan memakmurkannya. “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (QS. At Tin 4).

Namun, dia bisa terjerumus pada derajat paling rendah, bahkan lebih rendah dari hewan ternak yang kerjaannya hanya makan saja. “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.”(QS. Al-A’raaf: 179)

5. Kebutuhan merasakan kebahagiaan

Kehidupan zaman modern membuat manusia bersaing ketat untuk mencapai kesuksesan. Atau dengan kata lain manusia rela menempuh banyak risiko untuk mencapai kebahagiaan. Masyarakat abad 21 ini sering disebut sebagai risk society, yang dilontarkan Ulrich Beck, sosiolog asal Jerman (1944-2015).

Beck menyamakan masyarakat industri sebagai “masyarakat berisiko” lewat pengamatannya tentang adanya penyusunan kelas-kelas sosial dan peng-individualisasian. Meski, risiko dan bahaya bukanlah suatu sinonim, namun keduanya memiliki hubungan tersendiri. Risiko dapat dipahami sebagai suatu akibat yang bisa dikendalikan oleh manusia atau aktor, sedangkan bahaya merupakan sesuatu yang sudah pasti tidak dapat dikendalikan atau dikontrol oleh manusia. Beck menjelaskan risiko adalah sesuatu yang tidak terlihat atau invisible karena baru dapat disadari manusia setelah terjadinya bencana (bersifat jangka panjang) (dikutip dalam rujak.org 13 Juli 2018).

Skema Beck menjadi relevan ketika pembangunan yang tidak diimbangi dengan aspek-aspek penting dalam kehidupan manusia, seperti kebutuhan air bersih, ruang terbuka hijau, daerah resapan air dan lain-lain hanya akan menimbulkan risiko ekologis, seperti krisis air bersih, risiko tanah longsor, banjir, dan sebagainya.

Manusia modern bisa menghabiskan waktunya lebih dari 8 jam sehari untuk mengejar kebahagiaan. Bahkan di kota metropolitan jam kerja manusia modern bisa 10 hingga 15 jam sehari. Ia sering mengorbankan waktu istirahatnya, waktu bersama keluarga, dan bahkan waktu untuk beribadah.

Dengan berlelah-lelah seperti itu, banyak manusia salah arah. Dia mencari kebahagiaan ke suatu arah padahal letak kebahagiaan berada di arah yang lain. “Siapa saja yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (QS. An Nahl: 97).

Manusia berpayah setiap hari mencari kebahagiaan. Padahal Tuhan Allah Swt. mengajak manusia kepada kebahagiaan setiap hari pula. Bahkan Allah menunjukkan arah kebahagiaan lima kali setiap hari. Hayya alash sholah…hayya alal falah. Marilah shalat…marilah menuju kepada kebahagiaan. Jika kita bergegas menuju asal suara adzan dan sholat berjamaah di sana, maka kita sudah menuju arah kebahagiaan.

Suatu waktu, Tuhan memanggil tiga malaikat sambil memperlihatkan sesuatu.

“Ini namanya kebahagiaan. Ini sangat bernilai, dicari, dan diperlukan oleh manusia. Simpanlah di suatu tempat, supaya manusia sendiri yang menemukannya. Jangan di tempat yang terlalu mudah, nanti kebahagiaan ini disia-siakan. Namun, jangan juga di tempat susah, nanti justru ia tak bisa ditemukan. Yang penting, letakkan kebahagiaan ini di tempat yang bersih,” perintah Tuhan (dikutip dari esqtraining.com) .

Ketiga malaikat pun turun ke bumi dan berdiskusi di mana meletakkan kebahagiaan. Malaikat pertama berkata, “Letakkan saja di gunung yang tinggi.” Namun, malaikat lain kurang setuju. Malaikat kedua berkata, “Bagaimana kalau di dasar samudera saja?” Usul itu pun kurang disepakati. Kemudian, malaikat ketiga membisikkan usulnya. Ketiga malaikat langsung sepakat. Sejak saat itu, kebahagiaan manusia tersimpan rapi di tempat yang dibisikkan malaikat ketiga. Tempat yang sulit, sekaligus mudah.

Hari ke hari, tahun ke tahun kita terus mencari kebahagiaan itu. Kita ingin menemukannya, merasakannya dan melakukan berbagai cara untuk mendapatkannya. Ada yang mencari dengan berwisata di gunung, atau di laut. Ada yang mencari di keramaian. Ada yang mencari di kesunyian. Ada yang mencarinya sambil bekerja keras. Ada juga yang mencari sambil bermalas-malasan.

Namun, ternyata kebahagiaan tidak ada pada hal-hal itu. Hingga, sebagian orang akhirnya membuat klaim-klaim tertentu mengenai kebahagiaan. Ada yang bilang kebahagiaan itu dengan mengejar gelar, jabatan, harta, dan sebagainya. Pernikahan pun dihubungkan dengan kebahagiaan, seolah kalau menikah otomatis pasti akan menemukan kebahagiaan. Padahal kita semua tahu, kebahagiaan tidak ada di tempat-tempat itu.

Lalu dimanakah letak kebahagiaan manusia itu diletakkan oleh para malaikat ? Tahukah Anda di mana itu? Jika tidak, maka inilah jawabannya :

Para malaikat tidak meletakkan kebahagiaan di gunung atau di dasar samudera. Malaikat pun tak meletakkan kebahagiaan pada hal-hal seperti kesuksesan, pernikahan, kekayaan, dan sebagainya.

Mereka para malaikat meletakkan KEBAHAGIAAN manusia di tempat yang sangat dekat, namun jarang terlihat. Tempat yang sesuai dengan perintah Tuhan. Tempat yang suci, bersih, sangat dekat dan mudah ditemukan. Namun, tempat itu justru jarang disadari oleh manusia.

Tempat itu adalah HATI YANG BERSIH.

Ya, ternyata malaikat meletakkan KEBAHAGIAAN manusia di dalam hati kita.

“(Yaitu) pada hari (ketika) harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih” (QS. Asy Syua’ra 88-89).

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment