Suaramuslim.net – Apa yang ada di benak Anda semua ketika saya menggunakan istilah memandi junubkan. Tentu akan terbayangkan bahwa telah terjadi “persetubuhan” yang menyebabkan tubuh menjadi “kotor”, berhadats besar dan perlu mandi besar untuk mensucikannya.
Meminjam istilah yang digunakan oleh Michael Foucoult dalam relasi kekuasaan ibarat sebuah relasi seksual, dimana digambarkan “persetubuhan” yang dilakukan dalam bingkai yang sah dan disepakati, maka yang terjadi adalah saling menikmati dan saling membutuhkan. Dalam relasi yang seperti ini posisi keduanya tidak ada yang menjadi subyek dan obyek, yang ada adalah subyek, subyek dan saling menentukan. Relasi itu digambarkan oleh Allah dalam Al Quran Surat Ar Rum ayat 21 yang berbunyi : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”.
Relasi yang “mawaddah wa rahmah”, relasi yang menyenangkan, relasi yang bisa menghasilkan generasi yang baik dan berkualitas.
Sebaliknya relasi yang dihasilkan dari hubungan yang tidak berimbang, antar subyek dan obyek, maka yang terjadi adalah hubungan yang saling menekan dan pasti ada korban. Tentu saja setiap yang menjadi korban, akan merasakan kondisi yang sakit dan tidak menyenangkan. Foucoult menyebutnya telah terjadi pemerkosaan.
Potret tragedi pendidikan di Jawa Timur yang mengumandang sebagai sebuah tragedi miris, berdentang bertalu-talu. Dimulai dari insiden meninggalnya guru di Sampang akibat pemukulan yang dilakukan oleh siswa, tentu saja peristiwanya juga bersebab akibat. Akibat dari murid diperingatkan guru dengan cara yang kurang disukai, murid melawan dan terjadilah insiden pemukulan. Selanjutnya disusul oleh bait memilukan seorang guru di sebuah sekolah menengah pertama di Jombang mencabuli 25 muridnya, tak henti disitu, bait kekerasan tergores lagi di sebuah sekolah menengah pertama di Surabaya, sekelompok murid mengeroyok temannya, karena merasa dipermalukan. Berhentikah simfoni sedih itu? Ternyata tidak, seorang kakek di Rungkut mencabuli 5 orang anak di bawah umur serta nyanyian fals pendidikan, seorang guru SD di Surabaya, mencabuli 65 muridnya.
Tragedi pendidikan yang berakhir dengan kekerasan, setidaknya kalau dilihat persoalannya berasal dari sebuah hubungan proses yang menekan, subyek dengan obyek. Sehingga siapapun yang berposisi lemah dalam hubungan tersebut akan menjadi korban.
Murid menjadi pihak yang tertekan, murid mengalami “perkosaan” di dalam proses pendidikan yang dia jalani.
Situasi inilah yang sejatinya digambarkan oleh Foucoult sebagai sebuah relasi ketidak berdayaan. Yang kuasa memperkosa yang lemah, guru “memperkosa” murid dalam proses pembelajaran yang dia jalani. Murid menjadi pihak yang tidak bisa menentukan. Hubungan seperti ini tentu dalam perspektif sosial dan agama merupakan hubungan yang diharamkan. Hubungan yang cenderung tidak menghasilkan sebuah keberkahan.
Bagaimana mulai memperbaikinya?
Setiap persoalan selalu ada jalan keluarnya, begitulah Tuhan memberikan sebuah rumusan kehidupan. “Sesungguhnya di dalam setiap satu kesulitan, Allah akan selalu menyertakan dua kemudahan”.
Nah dalam kaitan mengurai problem tersebut, ibaratnya setelah kita melakukan “persetubuhan belajar”, maka kita mengalami situasi berhadats besar, sehingga untuk mensucikannya, perlu dilakukan mandi junub. Mandi yang menggambarkan sebuah proses bersuci agar kita bisa melaksanakan tugas-tugas kesucian.
Pendidikan kita harus disucikan. Caranya, yaitu cara mendidiknya, cara menyampaikan pesan kepada muridnya, cara bertingkah laku dan memperlakukan murid, dan lain sebagainya yang menyebabkan adanya ketidaksucian proses pembelajaran.
Mandi junub pendidikan ini dimulai dari membersihkan semua niat kita yang tidak ada kaitannya dengan tugas-tugas pendidikan. Setelah itu membasuhnya dengan air suci niat dan laku pembelajaran. Tentu saja semuanya harus dilakukan dengan jiwa yang tawakal dan bersih. Sehingga proses pendidikan yang dilakukan dalam keadaan suci diharapkan akan melahirkan kesucian sikap, kesucian pikir dan kesucian laku.
Nah kawan…. Sejatinya pendidikan yang diwarnai dengan tragedi baik itu kekerasan fisik maupun kekerasan seksual, mengindikasikan bahwa pendidikan sedang mengalami situasi sakit dan tidak mengalami kesucian.
Hanya dengan memandi junubkan niat, laku dan ucapan dalam proses yang baik, setidaknya kita masih punya harapan.
Pendidikan Jatim adalah pendidikan yang menjalankan proses kesucian melalui jalan suci pembelajaran.
*Ditulis di Surabaya, 24 Februari 2018
Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net