Suaramuslim.net – Ketaatan bukanlah sekadar retorika, yang mudah diucapkan, tapi susah diamalkan; mudah dibicarakan, tapi susah dikerjakan. Para sahabat nabi, benar-benar mengerti hakikat ini. Apa saja yang diperintah atau dilarang nabi, mereka akan menunjukkan ketaatan terbaiknya. Tidak ada penundaan, penyangkalan, bahkan penolakan. Sejauh yang mereka lakukan, jika tidak mengerti, adalah bertanya atau mengklarifikasinya.
Dalam hadits riwayat Bukhari, ada kisah menarik mengenai hal ini. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menghikayatkan, Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhu adalah sahabat dari kalangan Anshar yang paling banyak memilik harta, berupa: kebun kurma. Kebun kurma favoritnya adalah Bairuha. Harta yang paling dicintainya ini menghadap masjid Nabawi. Biasanya, nabi sering masuk untuk meminum air segar yang ada di dalamnya.
Anas melanjutkan ceritanya, ketika turun Surah Ali Imran ayat 92, maka dengan lekas Abu Thalhah menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sembari menawarkan, “Ya Rasulullah, baru saja aku mendengar bahwa ada ayat turun yang menjelaskan bahwa kita tidak akan mendapatkan kebajikan sebelum menginfakkan apa yang paling dicintai, maka dengan ini aku akan mensedekahkan harta tercintaku: Bairuha. Semoga, aku mendapat kebajikan dari amal ini.”
Sungguh mengagumkan praktik yang ditunjukkan sahabat sekaliber Abu Thalhah. Harta terbaiknya disedekahkan sebagai bukti ketaatannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Untuk membuktikan ketaatan, dia tidak menunggu perintah langsung dari nabi. Meski dia mendengar ayat yang baru turun dari sahabat lain, segera dia wujudkan dengan amalan konkret di hadapan nabi. Ia tak mau memberikan yang sisa untuk Islam, dan ini adalah bukti terbaik ketaatan.
Mendengar tawaran Abu Thalhah, Rasulullah menjawabnya dengan bijaksana. Harta terbaik yang disedekahkan tersebut disuruh membagikan kepada kerabat-kerabatnya. Akhirnya, tanpa ada sanggahan, interupsi atau semacamnya, ia segera menjalankan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Bagi dirinya, perintah Allah dan Nabi, di atas segala-galanya.
Selain kisah Abu Thalhah, ada cerita lain yang juga menarik untuk ditulis. Menurut penuturan Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu, suatu hari nabi melihat ada orang yang memakai cincin emas. Kemudian, beliau mencabut lalu melemparkannya sembari bersabda, “Salah seorang dari kalian memakai bara api di tangannya,” kemudian beliau pergi.
Pasca kepergian nabi, ada yang menganjurkan kepada orang tersbut agar emas yang dibuang nabi diambil kembali sehingga bisa dimanfaatkan. Menariknya, dengan ketaatan yang dimilikinya, orang ini berujar, “Tidak. Demi Allah. Aku tidak akan pernah mengambil sesuatu yang telah dibuang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. Muslim) Jawaban orang ini menunjukkan bahwa ketaatan yang dimilikinya bukanlah ujaran belaka, tapi benar-benar terbukti dalam perbuatan.
Dari beberapa contoh tersebut, jelaslah bahwa ketaatan membutuhkan pembuktian. Maha Benar Allah yang dalam firman-Nya menggambarkan dengan baik bagaimana respon cepat ketaatan mereka:
[النور: 51]{إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ }
“Sesungguhnya jawaban oran-orang mu’min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. “Kami mendengar, dan kami patuh”. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. An-Nur [24]: 51)
Apa yang diperintah Allah subhanahu wata’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka mereka akan “sami’na wa atha’na” (mendengar dengan saksama dan menaati tanpa reserve). Menariknya, ketaatan ini, bukan saja mengukuhkan keimanan mereka, tapi juga menjadikan mereka sebagai orang-orang beruntung. Wallahu a’lam.
Oleh: Mahmud Budi Setiawan, Lc*
Editor: Oki Aryono
*Alumnus Universitas Al Azhar Mesir