Suaramuslim.net – Akibat amandemen UUD ’45 telah melahirkan free market demokrasi, dikatakan pasar bebas demokrasi, karena tidak ada lagi tirai kerakyatan dalam mendapatkan kekuasaan. Siapapun boleh mencalonkan diri atau dicalonkan baik melalui partai politik maupun melalui jalur independen.
Di samping telah terbukanya tirai atau obstacle kerakyatan terhadap kekuasaan maka tirani dan oligarki terhadap kedaulatan rakyat sangat terbuka, dan pada akhirnya akan melahirkan persekongkolan dengan pemilik modal.
Selanjutnya persekongkolan ini pelan-pelan akan mereduksi kedaulatan rakyat. Rakyat akan dipaksa untuk memilih atau mengikuti keinginan koalisi pemilik modal dengan partai politik melalui media-media dan agen koalisi tersebut.
Akibat dari hal tersebut, maka demokrasi yang dibangun tidak lagi mencerminkan kekuasaan berada di tangan rakyat.
Sistem demokrasi yang dikehendaki oleh Pancasila sila ke-4 adalah rakyat mengendorse wakilnya di MPR, bagi rakyat Indonesia MPR itu memiliki kedudukan strategis dalam menjaga dan mengisi kemerdekaan, sebab bagi rakyat Indonesia MPR itu merupakan jembatan emas bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.
Oleh karena itu, dibutuhkan pihak ketiga untuk mencegah terjadinya persekongkolan kekuasaan yang akan melahirkan tirani kekuasaan dan oligarki fungsional kekuasaan.
Belajar dari kekalahan Ahok dalam pilgub DKI yang nyata-nyata didukung oleh partai politik besar, didukung oleh kekuasaan, didukung oleh media-media mainstream dan didukung para pemilik modal, tapi hasilnya kalah sangat ironis. Kekalahan Ahok di Pilgub DKI disebabkan koalisi informal dan invisible hand.
Siapakah koalisi informal ini? Habib Rizieq menjadi leader dalam koalisi informasi ini ditambah tokoh-tokoh nasional baik sipil, ulama, habib, ustadz, para purnawirawan TNI, ormas-ormas Islam dan emak-emak militan dan Muslim Cyber Army.
Koalisi informal ini melahirkan Gerakan 411 dan puncaknya gerakan heroik 211.
Secara kalkulasi politik mestinya Ahok susah dikalahkan pada pilgub DKI kemarin karena didukung kekuasaan, parpol besar dan pemilik modal.
Kekalahan Ahok-Djarot pada pilgub DKI kemarin adalah kekalahan paling fenomenal dan paling tidak bisa diterima logika politik.
Kekalahan Ahok Djarot adalah kekalahan rezim cs dan kemenangan koalisi informal dan kemenangan invisible hand.
Fenomena yang terjadi pada pilgub DKI kemarin tidak menutup kemungkinan akan berlanjut pada pilpres dan pileg 2019.
Koalisi informal ini meskipun HRS ada di Saudi tapi kinerja tokoh-tokohnya sangat fenomenal juga. Seperti ustadz Abdul Somad dan kawan-kawan.
Kehadiran ustadz Abdul Somad dan kawan-kawan pada koalisi informal menambah kekuatan untuk menyampaikan kondisi faktual terhadap bangsa ini.
Di samping itu, koalisi informal memiliki penyaluran aspirasi politiknya fokus pada tiga partai yaitu 2 partai Islam dan satu partai nasional. Dengan demikian kekuatan koalisi informal berkoalisi dengan 3 partai tersebut bisa mengalahkan kekuatan koalisi formal, sehingga apa yang terjadi pada pilgub DKI akan merembet pada pilpres 2019.
Kekuatan koalisi informal di bawah pimpinan HRS dan UAS, UBN berkoalisi dengan 3 partai tersebut tidak bisa disepelekan.
Agar fenomena pilgub DKI kemarin tidak berlanjut pada pilpres 2019, maka harus ada gerakan untuk mereduksi kekuatan koalisi informal ini dengan cara memulihkan tekanan hukum pada HRS serta merangkul salah satu dari 3 partai tersebut.
Oleh: Habil Marathi
* Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net