Suaramuslim.net – Hati siapa yang tak teriris dengan fitnah. Bahkan tak jarang menghancurkan hidup dan karirnya. Terlebih di tahun politik ini. Tapi, jika sadar bahwa fitnah itu panggilan mesra dari Tuhan agar hati hanya mengarah pada-Nya, maka akan menjadi alasan kemuliaannya.
Fitnah, dalam bahasa Indonesia, adalah perkataan bohong atau tanpa berdasarkan kebenaran yang disebarkan dengan maksud menjelekkan orang, seperti menodai nama baik dan merugikan kehormatan.
Berasal dari bahasa Arab, “fatana” (فتن), yang artinya membakar emas untuk menguji kualitas dan keasliannya. Dalam Al-Qur’an, perbuatan syirik, perbuatan zalim, menolak Al Quran, pengusiran dan penyiksaan yang menimpa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat disebut “fitnah” (الفتنة) yang berslogan populer lebih kejam dan lebih besar dosanya dari pembunuhan. Hal itu karena semua perlakukan yang tidak manusiawi akan menguji dan membuktikan kualitas iman, kualitas perjuangan, dan kualitas hidup yang dijalani di jalan kebenaran.
Term bahasa Arab yang digunakan untuk melukiskan fitnah dengan pengertian dalam bahasa Indonesia di atas adalah kata “buhtan” (البهتان). Surah al Hujurat ayat 11 dan 12 melarang rangkaian perbuatan yang membawa pada fitnah, yaitu:
1. Menghina dengan bahasa tubuh (merendahkan)
2. Menghina dengan kata-kata (mencela)
3. Memanggil dengan panggilan yang tidak baik
4. Berburuk sangka
5. Memata-matai (mencari-cari kesalahan)
6. Membicarakan aib dan keburukan (ghibah)
Hal-hal di atas diharamkan meski semuanya berdasarkan fakta. Yakni, dengan kata lain, meski aib dan keburukan yang menjadi bahan hinaan tersebut benar-benar ada padanya. Meskipun terkesan sepele, tapi azabnya tak sepele.
Tidak tanggung-tanggung, Allah timpakan “al-Wail” (وَيْلٌ) kepada pelakunya. Yaitu penderitaan yang melampaui batas. Ada yang menafsirkan, “al-Wail” adalah jurang di dalam Jahanam. Para penghuninya menyesal dan putus asa di dalamnya. Ada surah yang seluruhnya menceritakan azab para pencela dan pengumpat. Yaitu surah Al Humazah. Bahkan ada neraka khusus untuk mereka yang disebut “Huthamah”. Yaitu api Allah yang dinyalakan dengan kuat yang panasnya menembus hati. Yakni, bukan hanya azab fisik saja, tapi juga azab batin.
Ini, sekali lagi, apabila yang menjadi bahan celaan dan hinaan itu fakta. Jika bukan fakta, melainkan bohong, maka itulah yang disebut “fitnah” (al-Buhtan). Azabnya tentu lebih menyakitkan lagi. Ngerinya tak terlukiskan kata-kata. Keharaman melakukannya pun sudah sangat jelas petunjuknya meski tanpa dijelaskan lagi larangannya.
Jika fitnah beserta rangkaiannya menjadi alasan kehancuran bagi pelakunya maka ia akan menjadi alasan kemuliaan bagi korbannya. Hal ini disebabkan melalui fitnah itu, Allah akan mengampuni dosa-dosanya, mengabulkan doanya, dan meninggikan derajatnya. Tapi selama dihadapi dengan iman.
Fitnah Menjadi Sebab Kemuliaan
Al Quran menggariskan dua macam cara agar sebuah fitnah menjadi sebab kemuliaan bagi korbannya. Yaitu setelah mengklarifikasi:
1. Melaporkan ke pihak yang berwajib agar diberikan hukuman yang sesuai dengan kezalimannya. Sesuai dengan ayat,
“dan balasan satu keburukan adalah satu keburukan yang serupa”. (QS. As Syura: 40)
2. Memaafkan. Ini percepatan menuju mulia. Memaafkan ada tiga tingkat seperti Allah ajarkan dalam Surah Ali Imran ayat 134, yaitu
- Menahan marah. Sehingga amarahnya tidak bocor sedikit pun. Baik dalam bentuk kata-kata buruk maupun bentuk lainnya.
- Memaafkan dengan tulus hingga tak sedikit pun tersisa rasa marah di hatinya.
- Memberikan kebaikan. Yakni bukan sekadar memaafkan. Tapi berbuat bagi pada yang zalim padanya.
Level Berbuat Baik kepada yang Zalim
1. Membalas dengan yang baik (Q.S. al-Ra’d: 13)
2. Membalas dengan yang lebih baik (Q.S. Fushshilat: 34)
Level paling tinggi yang lebih cepat menghantarkan pada kemuliaan adalah membalas fitnah dengan perbuatan yang lebih baik. Maka, fitnah menjadi alasan kemuliaan yang tiada lagi alasan selainnya. Wallahu A’lam
Oleh: Deden Muhammad Makhyaruddin*
Editor: Muhammad Nashir
*Penulis adalah Pimpinan Indonesia Murojaah Foundation