Suaramuslim.net – Ketika kontraksi menjelang kelahiran semakin menghujam, perih semakin meringkih, para “bidan” yang menggores nggores nama tentang kelak “bayi” itu harus seperti apa.
Perdebatan menjadikan “bayi Indonesia” seperti apa kelak dimulai dengan lahirnya nama Pancasila, satu kelompok bidan menghendaki urutan nama-nama kelak Indonesia seperti disampaikan, kelompok satu yang lebih dekat pada hakikat memberikan usulan tambahan kalimat “Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluknya”.
Usulan itupun akhirnya kandas karena ada ancaman kalau usulan itu tetap dimasukkan, maka bayi Indonesia akan dibuat tak utuh, cacat karena akan ada sebagian yang rela memisahkan dari tubuh bayi Indonesia.
Karena cintanya terhadap kelahiran bayi Indonesia inilah, maka sebagian kelompok yang dekat dengan hakekat keindonesiaan ini dengan bijak merelakan usulan itu dihapus, dengan harapan janganlah bayi ini dibuat sengsara, biarlah bayi ini lahir sempurna, meski di tengah kesempurnaannya, masih dibutuhkan asupan sehat yang digunakan untuk perkembangan kesempurnaannya. Dan kontraksi kelahiran itupun bisa dilalui dengan selamat.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 bayi itu lahir di tengah kesadaran berkorban untuk menumbuhkan Indonesia yang sehat.
Kerjasama elok antara kelompok pengawal kelahiran yang beraliran nasionalis dan agama terjalin begitu apik, sehingga pada tanggal 18 Agustus 1945 melahirkan sebuah komitmen.
“Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.”
“Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”
Niat luhur itulah kemudian secara bersama menyerahkan mandat pengasuhan bayi Indonesia kepada Soekarno Hatta, dengan harapan lahirnya bayi ini diasuh dengan pondasi yang bernama Pancasila.
Ibarat pasangan suami istri, Soekarno seperti pasangan ayah dan ibu yang harmoni dan berupaya memberikan asupan gizi yang baik. Sayangnya di tengah pengasuhan yang baik itu ada rongrongan dari sebagian yang menyimpan dendam untuk merebut bayi ini dari komitmen yang sudah dibangun bersama.
Ada upaya memisahkan kelompok nasionalis dan agama dengan cara mengadu domba dan mempertentangkan ajaran agama dan budaya yang ada.
Peristiwa mempertentangkan nilai-nilai agama dan budaya inilah persis sebagaimana digambarkan Allah dalam Surat Al A’raf 73 – 79, berkaitan dengan penolakan Kaum Tsamud terhadap nilai-nilai agama dan mempertentangkan agama dan budaya.
“Wahai Saleh, kami mengenalmu sebagai orang yang cerdas dan tangkas, pikiranmu tajam, dan pendapat serta semua pertimbanganmu selalu cepat.”
“Kami melihat sifat-sifat terpuji di dalam dirimu,” puji kaum Tsamud.
“Kami mengharapkan engkau memimpin kami dalam menyelesaikan berbagai masalah yang rumit,” kata kaum Tsamud pada Nabi Saleh.
“Kami berharap engkau memberi petunjuk, apabila kami menghadapi persoalan yang sulit,” pinta kaum Tsamud pada Nabi Saleh.
“Kami juga berharap engkau dapat kami andalkan,” harap kaum Tsamud pada Nabi Saleh.
“Akan tetapi, semua harapan itu menjadi sirna dan kepercayaan kami kepadamu menjadi hilang,” kata kaum Tsamud kecewa.
“Itu semua karena perbuatanmu yang menyalahi adat istiadat kaum kita,” ucap kaum Tsamud memberi alasan penentangannya.
Potret itu hari ini ternganga lagi, ada upaya merobek merah putih di tengah harmoni bangsa yang sudah lama terjaga. Mempertentangkan agama dan budaya bahkan ada yang menistakan agama dan meninggikan budaya, padahal sejatinya antara agama dan budaya adalah dua hal yang saling mengisi dan melengkapi bagi asupan bergizi Indonesia.
Puisi Sukmawati Soekarno Putri adalah potret nyata betapa kebudayaan akan dicabut dari akar agama, sehingga seolah kebudayaan bisa jalan tanpa agama, padahal sejatinya agama adalah penopang kuatnya budaya.
Menghargai dan mengapresiasi orang adalah persoalan agama yang kemudian dijadikan sebagai sebuah budaya di masyarakat kita.
Sukma lupa bahwa ketika dia menista agama sejatinya dia telah kehilangan akar budayanya. Kehilangan akar budaya sejatinya telah kehilangan rasa kemanusiaan. Yang ada adalah libido yang tak menggunakan nurani dalam pemuasan.
Sukma kehilangan rasa kemanusiaannya, Sukma menjadi “thoghut” dalam hal mempersepsi orang dari sudut pandangnya.
Pengalaman Sukma menanam kebencian terhadap agama, membuncah ke ruang semesta, Sukma tak kuasa menyimpan angkara, sehingga ia menjelma menjadi penista berbaju budaya.
Sukma kehilangan sosok keibuannya, Sukma menjelma menjadi angkara, menebar murka. Sukma menambah deretan luka, dan Sukma telah menjelma menjadi pengoyak sang saka.
Sukma gagal mengkomunikasikan keindonesiaannya.
*Ditulis di Kampus Merah Putih, Surabaya 4 April 2018
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net