Suaramuslim.net – Dalam beberapa literatur, terdapat berbagai macam definisi kepemimpinan. Salah satunya menurut Daft (2012), disebutkan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan untuk memengaruhi orang lain sehingga tercapai tujuan yang telah ditetapkan.
Menurut Koontz (1990), kepemimpinan sebagai pengaruh, seni, atau proses memengaruhi orang-orang sehingga mereka akan berusaha dalam mencapai tujuan kelompok dengan kemauan dan antusias. Dari definisi tersebut, terdapat unsur-unsur utama yang mendasari definisi kepemimpinan, yaitu kemampuan untuk memengaruhi orang lain serta adanya unsur kerja sama untuk mencapai tujuan yang diinginkan atau yang telah ditentukan sebelumnya.
Jika memerhatikan teori-teori tentang fungsi dan peran seorang pemimpin yang digagas dan dilontarkan oleh pemikir-pemikir dari dunia Barat, maka hanya dapat dikatakan bahwa aspek kepemimpinan merupakan sebuah konsep interaksi, relasi, proses otoritas dan kegiatan yang memengaruhi, mengarahkan, dan mengoordinasi aktivitas dan sumber daya secara horisontal dan vertikal antar manusia semata.
Dalam konsep Islam, kepemimpinan merupakan sebuah konsep interaksi, relasi, proses otoritas, dan kegiatan yang memengaruhi, mengarahkan, dan mengoordinasi aktivitas dan sumber daya secara horisontal maupun vertikal, dan juga transendental yang berhubungan dengan Tuhan. Hal ini mengingat peran imam dalam memimpin sholat jama’ah yaitu memimpin makmum untuk bersama-sama menuju kepada Tuhan.
Lebih lanjut, Sholat jama’ah mengajarkan beberapa hal yang berkaitan dengan kepemimpinan (leadership) dan pengikut (followership), antara lain:
Syarat pemimpin
Seorang pemimpin harus memiliki kompetensi yang relevan untuk memimpin pengikutnya. Ketika di depan menjadi panutan dan ketika di belakang mendorong sekaligus mengikuti kehendak dan arah yang dituju oleh yang dipimpinnya. Kompetensi yang dimaksud sangat kasuistik dan situasional untuk organisasi atau institusi yang berbeda.
Untuk sholat jama’ah, kompetensi yang dibutuhkan tentunya adalah kemampuan dalam bacaan dan pengetahuan teknis tentang tata cara sholat. Adapun masalah umur atau senioritas adalah faktor terakhir yang dipertimbangkan. Hal tersebut tersirat dalam aturan memilih imam sholat jama’ah dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Muslim berikut ini.
Hadits riwayat dari Uqbah bin Amr ra. berkata, “Rasulullah saw. telah bersabda, ‘yang menjadi imam di antara kamu ialah mereka yang terbaik bacaannya. Kalau mereka sama bacaannya, maka yang terpandai dalam sunnah; kalau kepandaiaan mereka sama dalam sunnah, maka dilihat yang lebih dahulu berhijrah (ke Madinah); kalau bersamaan pula,maka dilihat yang lebih tua’”. (HR. Ahmad dan Muslim)
Dari hadits di atas, tampak kompetensi dan pemahaman teknis merupakan kriteria yang terpenting untuk didahulukan. Untuk sholat jama’ah, maka kompetensi yang dilihat adalah kemampuannya dalam membaca bacaan sholat dengan baik dan benar yang juga diikuti dengan kemampuannya dalam memahami aturan main (sunnah).
Baru kemudian bila dari kriteria di atas, sama baiknya, maka masalah senioritas dan pengalaman yang diperhitungkan (dari segi lama dan umur). Senioritas dapat dilihat bukan hanya dari segi umur terlebih dahulu, namun dari senioritasnya dalam menduduki posisi tertentu di organisasi (terlihat dari kalimat ‘… maka dilihat yang lebih dahulu berhijrah ke Madinah; kalau bersamaan pula, dilihat yang lebih tua’).
Pada intinya, seorang pemimpin harus memiliki kelebihan (baik kelebihan pengetahuan, pengalaman, maupun senioritas) dari makmumnya sehingga ia dapat memiliki kekuatan sebagai ahli (expert power).
Hal lain yang berkaitan dengan syarat imam adalah pemimpin yang memahami pengikutnya (interpersonal skill). Dengan memiliki kemampuan memahami interpersonal yang baik dengan orang lain, maka seorang pemimpin akan dicintai oleh pengikutnya. Berikut beberapa hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang menunjukkan keharusan pemimpin untuk memahami pengikutnya.
Hadist riwayat dari Abu Mas’ud Al-Anshari ra., ia berkata: “Seorang lelaki datang menemui Rasulullah saw. dan berkata: ‘Saya terlambat karena si fulan memperlambat sholatnya saat mengimami kami. Kemudian aku belum pernah melihat Nabi saw. marah dalam memberikan nasihat seperti marahnya beliau (memberikan nasihat) pada hari itu.’ Beliau bersabda: ‘Wahai manusia, sesungguhnya di antara engkau ada yang membuat orang lari (jera). Barang siapa di antara kalian menjadi imam, maka hendaklah ia meringkas, sebab di belakangnya ada orang tua, orang lemah, dan orang yang punya keperluan’”. (HR.Muslim)
Hadist riwayat dari Abu Hurairah ra.: “Bahwa Nabi saw. bersabda: ‘Apabila salah seorang dari kalian menjadi imam, maka hendaknya ia memperingankansholatnya, karena di antara mereka ada anak kecil, orang tua, orang lemah dan orang sakit. Bila sholat sendirian, maka sholatlah sekehendak hatinya’.”(HR. Muslim)
Hadist riwayat dari Anas ra.: “Bahwa Nabi saw. meringkas (bacaan) sholat dan menyempurnakannya”. (HR. Muslim)
Hadist riwayat dari Anas ra., ia berkata:“Rasulullah saw. pernah mendengar tangis anak kecil bersama ibunya ketika sedang sholat. Maka beliau membaca surat yang ringan atau surat yang pendek.” (HR. Muslim)
Dalam Islam, aturan sholat berjama’ah ternyata juga menunjukkan bahwa hubungan emosional harus terbangun antara pimpinan dan bawahannya. Kemampuan berempati pimpinan menjadi suatu hal yang patut menjadi salah satu penilaian sebagai pemimpin.
Rasa benci dari pengikut akan melahirkan aktivitas-aktivitas yang melemahkan organisasi. Sebaliknya rasa cinta akan mengakibatkan dukungan dari pengikut terhadap pemimpinnya. Dengan demikian salah satu kriteria penting sebagai pemimpin untuk memimpin organisasi yang sukses adalah ia disukai oleh orang yang dipimpinnya. Hal ini tampak dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Ibnu Majah berikut ini.
Hadits dari Abdullah bin Umar, “Rasulullah saw. telah bersabda: ‘ALLAH SWT tidak menerima sholat orang yang menjadi imam di antara satu kaum, sedangkan mereka benci kepadanya’.”(HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)
Bahkan lebih lanjut, imam yang baik akan selalu memikirkan bawahannya dan tidak memikirkan dirinya sendiri, sekalipun ketika ia berdoa. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Aththusi dan Abu Daud.
‘Barangsiapa mengimami suatu kaum lalu mengkhususkan doa untuk dirinya, maka dia telah mengkhianati mereka’.” (HR. Aththusi dan Abu Daud)
Hal ini menjadi bahan instropeksi bagi setiap pemimpin, apakah selama ini pernah mendoakan orang-orang yang dipimpinnya? Pemimpin yang seperti ini tentunya akan jauh dari aktivitas korupsi untuk memperkaya dirinya sendiri. Salah satu doa yang dapat digunakan adalah doa yang biasanya diperuntukkan untuk mendapat anak yang sholeh, namun pada dasarnya dalam doa tersebut terlihat hal lain yakni mendoakan orang-orang yang dipimpin menjadi orang bertakwa.
وَٱلَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبۡ لَنَا مِنۡ أَزۡوَٰجِنَا وَذُرِّيَّٰتِنَا قُرَّةَ أَعۡيُنٖ وَٱجۡعَلۡنَا لِلۡمُتَّقِينَ إِمَامًا ٧٤
Artinya: “Wahai Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS Al Furqan:74).
Dari pembahasan ini, maka pada dasarnya imam tidak hanya dipilih karena faktor sifat (traits), namun juga karena perilaku (behavioral) dan keahlian (baik technical skills, dan interpersonal skills, maupun conceptual skills). Konsep-konsep tersebut telah dibangun oleh Nabi Muhammad saw. dalam aktivitas sholat jama’ah.
Imam juga diharapkan merupakan orang dari kalangan kelompok yang dipimpinnya, kecuali ada hal lain. Hal ini bertujuan untuk menghindari penolakan dari jama’ah, menghindari kebencian, dan dengan harapan adanya pemahaman budaya yang berlaku dalam sebuah jama’ah yang lebih kuat. Dalam suatu jama’ah di masjid tertentu boleh jadi tidak ada qunut ketika shubuh; boleh jadi tidak ada doa bersama setelah sholat jama’ah, dan lainnya. Dalam hal ini, seorang imam harus sudah memahami kebiasaan dari aktivitas sholat jama’ah di tempat/masjid tertentu. Hal ini tersirat dalam hadits oleh Imam Ahmad dan Muslim berikut ini.
Hadits dari Abu Mas’ud ‘Uqbah ibn ‘Amr, “Nabi saw. bersabda: ‘Janganlah seseorang menjadi imam bagi orang lain di lingkungan kekuasaannya kecuali dengan seizinnya’”. (HR. Ahmad dan Muslim)
Dengan demikian, pemimpin harus orang yang sudah memahami budaya suatu kelompok/organisasi yang akan dipimpinnya. Kecuali bila akan dilakukan proses perubahan organisasi yang memerlukan perubahan budaya, maka pemimpin dapat saja diambil dari orang di luar kelompok organisasi untuk membuat perubahan tersebut.
Dengan demikian, Islam mengajarkan bahwa dari tiga kompetensi yang harus dimiliki oleh pemimpin, (kompetensi teknis manajerial, kemampuan interpersonal dan konseptual), kompetensi teknis dan konseptual menjadi landasan dasar kriteria, kemudian masalah senioritas dan interpersonal menjadi penentu utamanya.
Kesiapan menjadi pemimpin
Aturan sholat jama’ah membolehkan seseorang untuk mengajukan dirinya sebagai imam. Terutama bila dirinya menyadari telah memiliki kemampuan yang memadai untuk menjalankannya. Hal ini juga terjadi dalam sebuah kisah Nabi Yusuf as. yang mengajukan diri sebagai bendahara kerajaan sebagaimana yang dijelaskan dalam QS. Yusuf: 55.
قَالَ ٱجۡعَلۡنِي عَلَىٰ خَزَآئِنِ ٱلۡأَرۡضِۖ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٞ ٥٥
Artinya: Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” (QS. Yusuf 12: 55)
Niat sebagai imam dalam sholat berjama’ah merupakan konteks diperbolehkannya seseorang mengajukan dirinya sebagai pemimpin. Tapi sholat jama’ah juga mengajarkan bahwa setiap orang harus siap untuk ditunjuk sebagai pemimpin. Ketika ia sholat bersendirian, dan tiba-tiba disampingnya diikuti seseorang untuk bermakmum, maka ia harus segera mengubah niatnya menjadi imam (menurut imam Syafi’i dan Imam Maliki).
Dari Ibnu Abbas ra. berkata,”Aku bermalam di rumah bibiku, Maimunah ra. Nabi saw shalat sunnah malam dan mengambil wudhu dari qirbah, berdiri dan mulai mengerjakan shalat. Aku pun bangun ketika melihat beliau saw. melakukannya, aku pun ikut berwudhu dari qirbah dan berdiri pada sisi kiri beliau saw. Beliau saw. menarik tanganku dari balik punggungnya dan menyeret aku agar pindah ke sisi kanan beliau. (HR. Bukhari)
Bagi seseorang yang ingin menjadi makmum dan berjamaah, dapat langsung mengambil posisi di samping kanan orang yang akan dijadikannya imam (tanpa perlu menepuk bahu).
Dengan demikian Islam membuka kesempatan bagi seseorang untuk mengajukan dirinya sebagai pemimpin atau juga diusulkan oleh orang lain untuk menjadi pemimpinnya. Setiap orang yang telah memenuhi persyaratan harus sudah siap untuk ditunjuk menjadi pemimpin.
Makmum harus mengikuti imam
Pada bagian awal telah dijelaskan bahwa kepemimpinan adalah proses dan kemampuan memengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya (Robbins, 2001). Selain aspek kepemimpinan (leader), aspek penting lain dalam organisasi adalah pengikut (follower).
Sholat jama’ahmengindikasikan bahwa pengikut harus menaati pemimpin. Hal ini tercermin dalam sholat berjama’ah, di mana makmum harus mengikuti imam.Hal tersebut tampak dalam beberapa hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim berikut ini:
Hadist riwayat dari Anas bin Malik ra. dia berkata: “Nabi saw. pernah jatuh dari kuda sehingga lambung kanan beliau robek. Kami datang menjenguk. Saat tiba waktu sholat, beliau sholat bersama kami dengan duduk dan kami pun sholat di belakang beliau dengan duduk. Usai sholat beliau bersabda: ‘Sesungguhnya seseorang dijadikan imam untuk diikuti. Jadi, apabila dia bertakbir, bertakbirlah. Bila dia sujud, sujudlah. Bila ia bangun, bangunlah. Bila ia membaca ‘sami`Allaahu liman hamidah’, bacalah ‘rabbanaa lakal hamdu’ dan bila ia sholat dengan duduk, sholatlah dengan duduk pula’.”(HR. Muslim)
Hadist riwayat dari Aisyah ra., ia berkata: “Rasulullah saw. pernah sakit. Para sahabat datang menjenguk beliau. Kemudian beliau sholat dengan duduk. Para sahabat bermakmum pada beliau dengan berdiri. Beliau memberi isyarat kepada mereka agar duduk, maka mereka pun duduk. Selesai sholat beliau bersabda: ‘Sesungguhnya seseorang dijadikan imam hanyalah untuk diikuti. Jadi apabila ia ruku’, maka ruku’lah kalian, bila ia bangun, maka bangunlah kalian dan bila ia sholat sambil duduk, maka sholatlah kalian sambil duduk’”. (HR. Muslim)
Hadist riwayat dari Abu Hurairah ra.: “Rasulullah saw. bersabda: ‘Sesungguhnya imam itu untuk diikuti. Karena itu, maka janganlah kalian menyalahinya. Apabila ia bertakbir, maka bertakbirlah kalian, bila ia ruku’, maka ruku’lah kalian, bila ia membaca “sami`Allaahu liman hamidah”, maka bacalah “Allaahumma rabbanaa lakal hamdu”, bila ia sujud, maka sujudlah dan bila ia sholat sambil duduk, maka sholatlah kalian sambil duduk’”. (HR. Muslim)
Hadist riwayat dari Abu Hurairah ra., ia berkata: “Muhammad saw. pernah bersabda: ‘Apakah orang yang mengangkat kepalanya sebelum imam, tidak takut kepalanya diganti oleh ALLAH SWT dengan kepala keledai’”. (HR. Muslim)
Proses taat kepada imam secara penuh (compliment) ini sesuai dengan ajaran manajemen dari strategi perang yang disampaikan oleh Jenderal George Patton, yang terkenal dengan quotenya “Lead, follow, or get out of the way” (Robbins, 2001). Kepatuhan terjadi bukanlah karena rasa takut, namun karena kedewasaan makmum yang menjadikan adanya self-management (Robbins, 2001). Bagaimanapun baiknya makmum bila dibandingkan dengan imam, maka makmum harus memiliki ketaatan pada imam yang telah dipilih sesuai aturan yang berlaku. Namun, tugas mengikuti imam harus disertai dengan tugas keaktifan untuk mengingatkan imam bila imam salah, yang dijelaskan kemudian.
Makmum yang datang belakangan harus segera mampu menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada. Makmum tersebut kemudian harus dapat mengejar ketertinggalannya dengan makmum lain tanpa mengganggu organisasi yang telah berjalan. Hal ini dalam sholat jama’ah terisyaratkan dalam aturan makmum masbuq.
‘Apabila seseorang di antara kamu datang untuk sholat sewaktu bersujud, maka hendaklah kamu sujud, dan janganlah kamu hitung itu satu roka’at. Dan barangsiapa yang mendapat ruku’ beserta imam, maka ia telah mendapat satu roka’at’”. (HR. Abu Daud)
‘Bagaimana keadaan imam ketika kamu dapati, hendaklah kamu ikuti, dan apa yang ketinggalan olehmu, hendaklah kamu sempurnakan’.” (HR. Bukhari-Muslim).
Dalam organisasi, pengikut diharapkan dapat segera menyesuaikan diri dengan diberlakukannya pelatihan di luar jam kerja dan aktivitas magang pada jam kerja.
Peran pengikut mengingatkan kesalahan
Dalam organisasi dapat terjadi pemimpin melakukan ‘kesalahan’. Hal ini juga sudah diakomodasi dalam aturan sholatjama’ah. Dalam Sholat berjama’ah, jika imam melakukan kesalahan, maka makmum boleh, bahkan harus mengoreksi kesalahan imam (terutama makmum terdepan). Makmum dapat mengingatkan kesalahan imam, misalnya apabila imam keliru dalam jumlah roka’at, maka makmum harus menegur imam dengan cara tertentu yang telah disepakati. Hal tersebut terdapat dalam beberapa hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di bawah ini.
Hadist riwayat dari Abu Hurairah ra., ia berkata: “Rasulullah saw. pernah bersabda: ‘Bertasbih untuk lelaki dan tepuk tangan untuk wanita’.” (HR. Muslim)
“Beliau bersabda lagi: ‘Mengapa kalian bertepuk tangan? Barang siapa yang ingin mengingatkan sesuatu di dalam sholat, hendaknya ia bertasbih, karena bila ia bertasbih, maka ia akan ditoleh. Tepuk tangan hanya untuk wanita. (HR. Muslim)
Dalam hadits tersebut dijelaskan bahwa dalam mengingatkan kesalahan imam terdapat cara-cara atau mekanisme tertentu dan tidak dilakukan dengan cara sembarangan. Hal ini dilakukan dengan alasan supaya kepemimpinan dapat tetap berjalan sebagaimana mestinya, dan sholat tetap berjalan dengan baik. Keberlanjutan (Sustainibility) dari organisasi harus tetap berjalan sehingga tidak menyebabkan kerugian keberbagai pihak. Hal ini memberikan sinyal dalam berorganisasi bahwa mengkritik dan memberikan saran adalah kewajiban bawahan, namun harus dilakukan dengan prosedur yang tepat agar tidak mengganggu proses bisnis secara keseluruhan.
Apabila imam tidak memahami kesalahannya walaupun telah dikoreksi makmum, maka hal tersebut telah menjadi tanggung jawab imam. Apabila makmum sudah menjalankan kewajibannya dalam mengingatkan, maka ia dapat terlepas dari tanggung jawab atas kesalahan yang terjadi.
Hadist riwayat dari Abu Hurairah ra., “Rasulullah saw. pernah bersabda: ‘Mereka mengerjakan sholat sebagai imam bagi kamu. Jika mereka benar, maka itu adalah keberuntunganmu dan keuntungan mereka pula. Tetapi jika mereka salah, maka mereka memikul kesalahannya sendiri, sedang kamu tetap mendapat pahala’.” (HR. Ahmad dan Bukhari)
Ketika kesalahan telah dilakukan/diperbaiki, imam melakukan sujud sahwi di akhir sholat, sebagai pertanda bahwa ia memang telah melakukan suatu kesalahan. Hal ini juga menunjukkan betapa seorang pemimpin harus dengan lapang dada dan berjiwa besar mengakui kesalahannya dan menerima kritikan dari rakyatnya untuk kemudian bertanggung jawab terhadap kesalahannya. Dan pertanggungjawaban itu dilakukan langsung kepada Tuhan.
Hadis riwayat dari Abdullah bin Masud ra., ia berkata: Rasulullah saw. sholat (dan menurut Ibrahim, beliau terlebih atau kurang jumlah roka’at). Ketika selesai salam, ada yang berkata: Wahai Rasulullah, apakah telah terjadi sesuatu ketika baginda salat. Rasulullah saw. bertanya: Apa itu? Mereka menjawab: Baginda melakukan salat begini, begini. Seketika itu Rasulullah saw. melipatkan kedua kakinya dan menghadap kiblat, melakukan sujud dua kali dan salam. Kemudian beliau berpaling kepada kami seraya bersabda: Seandainya terjadi sesuatu dalam salat, maka aku akan menerangkannya kepadamu. Tetapi aku adalah manusia biasa yang dapat lupa seperti halnya engkau. Apabila aku lupa, maka ingatkanlah aku. Apabila salah seorang engkau merasa ragu-ragu dalam salatnya, maka berusahalah mencari dan meyakini yang benar, lalu sempurnakan. Selanjutnya hendaknya ia melakukan sujud dua kali. (HR Muslim)
Dengan demikian, ketika tujuannya positif, maka tanggung jawab makmum hanya mengingatkan dengan cara yang baik dan sesuai aturan yang telah ditentukan/disepakati. Adapun selain cara-cara tersebut dapat menjadikan makmum menjadi batal dalam sholat. Makmum tidak perlu memaksakan masukkannya agar diterima imam. Islam tidak mengajarkan bertindak keras, memaksakan kehendak, bahkan anarkis untuk mengingatkan pemimpin. Apalagi anarkis yang mengganggu pihak lain, sekalipun dalam masa perang, Nabi saw. tidak mengajarkan untuk berbuat kerusakan.
Suksesi kepemimpinan
Teguran atas kesalahan yang telah dilakukan oleh imam biasanya dilakukan oleh makmum pada shaf terdepan atau makmum yang berada di dekat imam. Hal tersebut mencerminkan bahwa seorang pemimpin harus didampingi dengan orang-orang yang juga memiliki pengetahuan yang menyamai. Jika para makmum yang berada didekat imam tidak memiliki pengetahuan atau tidak cakap, maka tidak ada yang dapat mengingatkan atau mengoreksi imam apabila imam melakukan kesalahan.
Demikian pula apabila seorang imam melakukan sesuatu yang kemudian dapat membatalkan sholatnya, maka imam harus segera digantikan oleh makmum yang ada dibelakang imam. Itulah sebabnya mengapa imam harus didampingi oleh orang-orang yang memiliki pengetahuan, karena jika terjadi hal-hal yang dapat membatalkan sholat, maka proses pergantian imam dapat dilakukan dengan baik.
Orang-orang yang berada di belakang terdekat imam adalah orang-orang yang telah dipersiapkan untuk menggantikan posisinya. Proses mempersiapkan (suksesi) kader-kader atau calon pengganti dari pemimpin tercermin dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam Ahmad di bawah ini.
Hadist riwayat dari Abu Musa ra., ia berkata: “Rasulullah saw. sakit dan semakin bertambah parah. Beliau bersabda: ‘Perintahkan Abu Bakar agar mengimami sholat kaum muslimin’. Aisyah berkata: ‘Wahai Rasulullah, Abu Bakar adalah seorang yang berhati halus. Kalau ia menempati tempat baginda, ia tidak akan mampu mengimami sholat Kaum muslimin’. Beliau bersabda: ‘Perintahkan Abu Bakar agar mengimami sholat kaum muslimin. Kalian ini seperti teman-teman Yusuf (dalam berdebat)’. Abu Musa berkata: ‘Kemudian Abu Bakar mengimami sholat mereka ketika Rasulullah saw. masih hidup’”. (HR. Muslim)
Hadist riwayat dari Ibnu Mas’ud, bahwa Nabi saw bersabda: “Hendaklah berdiri di belakangku orang-orang dewasa yang pandai, lalu yang dibawah tingkatan mereka, kemudian yang berada di bawah tingkatan mereka, dan jauhilah suara ribut-ribut seperti di pasar”. (HR. Ahmad, Muslim)
Dalam sholat jama’ah, pada dasarnya barisan/shaf terdepan adalah untuk pengganti imam yang batal dalam sholatnya, hal ini menunjukkan adanya proses suksesi/regenerasi yang sudah dipersiapkan dalam organisasi. Regenerasi ini juga merupakan bagian dari succession planning, di mana perusahaan telah memiliki kader-kader yang memiliki kompetensi sehingga siap untuk menggantikan pemimpin-pemimpin perusahaan jika pemimpin perusahaan telah habis masa kerja atau mengundurkan diri dari posisinya.
Pergantian pemimpin juga diharapkan dapat terjadi sewaktu-waktu ketika terjadi sesuatu yang darurat karena persiapan telah dilakukan sejak awal. Hal ini menunjukkan bahwa sholat jama’ah mengajarkan perlunya organisasi memiliki perencanaan karir dan suksesi. Dengan demikian keberlanjutan (sustainability) organisasi dapat terjadi dengan persiapan yang sudah dipersiapkan seperti dalam sholat jama’ah sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari di bawah ini.
Hadist riwayat dari ‘Amr ibn Maimun, ia berkata: “Di pagi hari ketika Umar ra. terkena tikaman, saya berdiri sholat bersamanya. Antaraku dengannya hanya terselang Abdullah bin Abbas. Ketika ia baru membaca takbir tiba-tiba saya mendengarnya mengucapkan, “Aku dibunuh”. Ternyata Umar telah ditikam seseorang. Umar kemudian meraih Abdurrahman bin ‘Auf dan menariknya ke depan, lalu ia pun sholat bersama mereka dengan mempercepat sholatnya’. (HR. Bukhari)
Penulis: Dr. Gancar C. Premananto*
*Koordinator Program Studi Magister Manajemen FEB Universitas Airlangga Surabaya