Zohri, Modric dan Masa Depan Anak-Anak Rohingya

Zohri, Modric dan Masa Depan Anak-Anak Rohingya

Potret Anak-Anak Rohingya, dipotret oleh fotografer muda berbakat asal Cox's Bazar, Minhaj Kabir (foto: Minhaj Kabir)

COX’S BAZAR (Suaramuslim.net) – Pertama saya ingin bersyukur kepada Allah ada teknologi bernama internet, euforia kemenangan sprinter asli Lombok, Lalu Mohammad Zohri di Finlandia tak hanya sampai ke Indonesia, tapi juga bisa saya rasakan dari kamp pengungsian Rohingya di distrik Ukhiya, Cox’s Bazaar, Bangladesh.

Lalu Muhammad Zohri, dengan segala keterbatasan ekonomi yang dialaminya dan keluarganya, bisa menepis dan menunjukkan pada dunia bahwa keterbatasan bukanlah halangan jika disertai niat yang kuat dan lurus, serta ikhtiar yang tak pernah putus. Tahun lalu kita masih ingat, sebagaimana diberitakan kendaripos , Zohri berangkat berkompetisi di Singapura tanpa uang saku sepeserpun bahkan harus meminjam uang untuk ongkos taksi ke Bandara.

Saat melihat rumah keluarga Zohri di Pemenang, Lombok Utara, NTB, melalui media sosial, rumahnya sedikit lebih baik dari rumah orang-orang Rohingya yang saya lihat disini. Namun sama, rumah keluarga Zohri dan keluarga Rohingya sama-sama dianyam dari bambu dan tak berkeramik. Bagi saya, prestasi Zohri di tengah keterbatasannya, memantik nyala harapan di hati saya di tengah kamp pengungsian Rohingya, dan harus segera saya tularkan pada mereka disini. Jika Zohri mampu, semoga anak-anak Rohingya juga mampu.

Euforia Zohri sang juara mungkin belum padam, namun kini euforia warganet beralih ke Rusia, ke final piala dunia. Tumpuan harapan nampaknya banyak diamanatkan pada Kroasia sebagai kuda hitam yang pertama kali lolos ke final piala dunia. Bagi saya, negara yang baru merdeka tahun 1991 ini, juga memberikan kesan di hati saya. Karena dalam sepekan kedepan masih akan bersama para pengungsi Rohingya. Kapten tim nasional Kroasia Luka Modric menghabiskan masa kecilnya sebagai pengungsi, sama seperti anak-anak Rohingya yang saya temui.

Awal tahun 1990an adalah masa yang sulit dan rumit bagi Kroasia sebagai negara yang ingin melepaskan diri dari Yugoslavia. Tentara Yugoslavia tak menghendaki Kroasia berpisah sebagai negara merdeka, pun pasukan Serbia, sehingga perang tak dapat dihindarkan. Dan Luka Modric berserta keluarga kehilangan rumahnya karena dibakar, kakeknya ditembak mati, dan ia sekeluarga harus berpindah-pindah dari satu pengungsian ke pengungsian lain selama perang berlangsung.

Cita-Cita Anak-Anak Rohingya

Kisah yang persis sekali dengan kisah hidup Luka Modric saya dengar langsung disini, di Kamp Pengungsian Rohingya. Pemuda cerdas berusia 21 tahun bernama Muhammad Zubair menceritakannya langsung pada saya. Rumahnya dibakar, dan satu orang anggota keluarganya ditembak tentara Myanmar saat mereka dalam perjalanan hendak mengungsi ke Bangladesh.

Hari-hari saya di kamp pengungsian Rohingya selain menyalurkan bantuan, melakukan reportase dan liputaan, juga saya habiskan bertemu dengan anak-anak Rohingya yang belajar di sekolah yang amat sederhana. Meski kami berbeda bahasa, saya meyakini bahwa urusan kemanusiaan tak memiliki batas. Dengan lagu-lagu, tepukan-tepukan berbahasa inggris yang dibantu diterjemahkan oleh guru mereka, saya berusaha tularkan semangat dan optimisme, begitu melihat senyum di wajah mereka, rasanya tak ternilai harganya.

Sekolah anak-anak Rohingya disini disebut Child Care Center, menampung anak usia 3 hingga 12 tahun, tak ada grade atau kelas. Tiap mereka diajari baca tulis, berhitung, berbahasa Inggris dan belajar Al Qur’an. Anak-anak pengungsi Rohingya yang berbicara dengan bahasa lokal yang sama dengan penduduk Cox’s Bazar ini hanya diperbolehkan belajar baca tulis aksara burma atau Myanmar. Karena oleh Pemerintah mereka tak dianggap bagian dari Bangladesh meskipun secara etnis sama sekali tak ada perbedaan. Guru-guru mereka di Child Care Center mayoritas adalah orang Rohingya, kecuali guru bahasa Inggris adalah orang Bangladesh.

Namun lain dengan Zubair, pemuda cerdas ini mengajar bahasa Inggris untuk anak-anak Rohingya. Tak banyak anak-anak Rohingya seperti Zubair yang berkesempatan meraih pendidikan hingga Sekolah Menengah Atas (SMA), bahkan Zubair sempat mengambil kelas matrikulasi pra Universitas selama 1 tahun. Namun karena dia Rohingya, dia tak berkewarganegaraan, dia tak bisa melanjutkan pendidikan tinggi, baik di Myanmar, di Bangladesh dan di negara manapun.

Zubair juga lain dengan anak-anak Rohingya yang lain. Jika yang lain baik yang kecil maupun remaja ditanya cita-cita, jawabannya masih standar-standar saja, ingin jadi Guru, Dokter, Insinyur dan seterusnya. Sementara Zubair ketika ditanya, dengan mantap dan penuh keyakinan memberikan jawaban,

“Saya menyerukan pada NGO internasional dari negara manapun, bahwa anak-anak Rohingya tak hanya membutuhkan pendidikan dasar, mereka juga butuh kesempatan untuk mendapatkan pendidikan tinggi, saya bercita-cita meneruskan pendidikan di Universitas bahkan hingga jenjang yang paling tinggi, saya akan sangat berterima kasih jika ada yang memberi saya dan anak-anak Rohingya lain beasiswa pendidikan tinggi,” demikian terang Zubair.

Manusia Tanpa Bendera

Zohri, selepas menjadi yang pertama sampai di garis finish di stadion Tampere Finlandia. Nampak sejenak celingak-celinguk mencari bendera merah putih, setelah mendapatkannya ia dengan bangga mengibarkannya lalu menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Pun Modric, dengan baju tim nasional dan ban kapten kebesarannya, tiap memulai pertandingan di Piala Dunia selalu dengan penuh bangga menyanyikan lagu kebangsaan Kroasia berjudul Lijepa naša domovino atau tanah air yang indah.

Berbeda dengan Zubair, ia tak punya bendera untuk dikibarkan dan lagu kebangsaan untuk dinyanyikan. Di Myanmar ia diusir, di Bangladesh ia hidup terlunta bersama keluarga dan seluruh etnis Rohingya. Saat ditanya, identitas kebangsaan apa yang ia hendaki, Zubair mantap menjawab ingin diakui sebagai orang Rohingya.

“Saya harus kembali ke Myanmar, tanah kelahiran saya dan kami berhak atas tanah itu, kami akan menerima kewarganegaraan sebagai warga negara Myanmar namun harus tetap diakui bahwa kami adalah etnis Rohingya,” tegas Zubair.

Ya, sekali lagi tanpa kewarganegaraan, orang-orang Rohingya hanya akan terus terlunta-lunta sebagai pengungsi. Hanya mengandalkan bantuan Internasional, hidup dibawah garis kemiskinan dan tidak bisa memperbaiki masa depan. Karena di dunia dimana semua serba formalitas dilihat dari selembar dokumen dan kertas, selamanya etnis Rohingya tak akan memiliki kesempatan terkecuali mendapat kewarganegaraan. Sementara meski bantuan silih berganti dari berbagai negara datang, toh semua masih lepas tangan, tak berani radikal memberikan suaka atau kewarganegaraan.

Cox’s Bazar, 15 Juli 2018
Ahmad Jilul Qur’ani Farid

 

 

 

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment