Suaramuslim.net – Masih lekat dalam ingat saya di akhir pertemuan ke-9 mata kuliah Akhlak tasawuf (2014). Salah seorang mahasiswa di STAI Al-Yasini, (alm) M. Jumad bertanya perihal siapakah waliyullah itu?. Saya katakan kepada beliau bahwa sedikitnya ada 2 ayat yang menyinggung wali. “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong (wali) bagi sebagian yang lain.” (Surah at-Taubah ayat 71).
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa” (Surah Yunus ayat 62-63). Ayat ini sebatas menjelaskan adanya waliyullah (kekasih Allah). Hanya dijelaskan kriteria atau ciri-cirinya, tanpa menyebut nama dan model dandanannya.
Waliyullah adalah orang beriman. Cirinya orang beriman dijelaskan dalam surah Al-Mukminuun ayat 1-11, surah Al-Anfaal ayat 2-4 dan Al-Hujurat ayat 15. Selain beriman, waliyullah adalah yang bertakwa. Karakteristik orang bertakwa dijelaskan lengkap di dalam surah Ali Imran ayat 133-135.
Dalam sebuah hadis disinggung pula tentang wali, Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ia berkata, Rasûlullâh saw. bersabda, ”Sesungguhnya Allah berfirman, ’Barangsiapa memusuhi wali-Ku, sungguh Aku mengumumkan perang kepadanya. Tidaklah hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada hal-hal yang Aku wajibkan kepadanya. Hamba-Ku tidak henti-hentinya mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia meminta kepada-Ku, Aku pasti memberinya. Dan jika ia meminta perlindungan kepadaku, Aku pasti melindunginya.’” (HR. Bukhari).
Harap diingat bahwa, “Keberadaan Waliyullah hanya Allah yang tahu” ujar syaikh Ali Jaber dalam program Damai indonesiaku TV One edisi 7 Juli 2015. Tentu saya sepakat dengan argumen Syaikh Ali jaber. Hanya Allah swt yang mengetahui. Jangan gampang menggelari siapa pun dengan gelar “wali”. Khawatirnya salah alamat dan jatuh ke dalam sikap ghuluw.
Sikap ghuluw terhadap wali dipelopori kalangan Syiah. “kewalian merupakan warisan kenabian yang berasal dari Nabi menuju Ali dan lantas kepada keturunannya”. Kata Kamil Mushafa seperti dikutip M. Subkhan Anshori dalam Tasawuf dan Revolusi Sosial (Pustaka Azhar, 2011). Jadi gelar maupun derajat wali hanya bisa diraih Ahl bait. Otomatis klaim mereka berlawanan dengan surah Yunus ayat 62-63.
Lain dengan Syiah, di dunia tasawuf (versi sunni), ada beberapa tokoh digelari waliyullah, misalnya Uways al-Qarni dan Syaikh abdul Qodir Jailani. Nama syeikh Abdul Qodir selalu disebut-sebut dalam tradisi tahlilan, “Laa ilaha illallah Syaikh Abdul Qodir al-Jailani Waliyullah….”. Rabiah al-Adawiyyah juga disebut waliyullah, walau hingga akhir hayat tidak menikah.
Sementara itu di negeri kita, penyebar Islam di tanah jawa digelari wali. Mulai Maulana malik ibrahim, Sunan Kalijogo dan sunan-sunan lainnya. “Bagi orang yang punya daya berfikir ilmiah, gelar sunan untuk para wali itu merupakan hal yang ganjil dilihat dari sudut ilmu keislaman. Tampaknya, kepercayaan adanya wali songo dikarang oleh para pujangga istana dalam menulis serat-serat babad agar orang Jawa tidak usah mengkultuskan wali Arab seperti Syekh abdul Qadir Jailani. Akan tetapi perlu memuja wali-wali yang didongengkan sebagai leluhur raja-raja kejawen. Kalau jaman Budha dikenal adanya kisah sembilan Jawata, maka dalam zaman Islam ada kisah wali Songo. Itulah kecerdikan punjangga-pujangga kejawen. Bagi raja-raja Jawa, yang menjadi nomer satu bukanlah agama, melainkan kedudukan dan kekuasaan.” Tulis (alm) Prof Simuh, dalam Majalah Gatra edisi khusus Walisongo (Desember, 2001)
Selain para penyebar Islam yang tergabung dalam “Wali songo”, Syaikh Haji Abdul muhyi digelari wali oleh warga Tasikmalaya. Syaikhona Muhammad Khalil juga digelari waliyullah. KH. Abdul Hamid Basyaiban, Pasuruan digelari wali oleh warga Nahdliyin sekitar Pasuruan dan kota Malang. Kemudian KH. Muhammad zaini Abdul ghani dari Martapura.
Mantan Presiden RI ke 4, KH Abdurrahman wahid atau yang akrab disapa Gus dur pun setelah meninggal dunia digelari sebagai wali oleh pengikut fanatiknya. Padahal semasa hidupnya, beliau mewanti-wanti agar jangan gampang menggelari wali. “Kita nggak boleh gampang-gampang menganggap orang wali. Tapi kalau ada orang yang punya kelebihan-kelebihan nggak boleh kita anggap dia bukan wali” begitu nasehat Gus dur dalam video “What is a Saint” yang diunggah di laman Youtube (2/12/2015)
Masih banyak lagi yang digelari waliyullah. Tidak cukup disebut satu per satu. Saya cukupkan sampai disini perihal waliyullah. Pembaca laman Suara Muslim pasti paham intisari tulisan ini. Waliyullah itu nyata, bukan fiksi. Sekali lagi, tidak boleh sembarang orang dianggap wali. Wallahu’allam
Kontributor: Fadh Ahmad Arifan
Editor: Oki Aryono
*Penulis adalah Alumnus Fak. Syariah UIN Malang